BPPPHRI bersurat ke Presiden mengenai Kebijakan Rapat

id Badan Pimpinan Pusat Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia

Pengajuan surat sudah dilakukan, tujuannya agar kebijakan itu dapat dipertimbangkan kembali karena dampaknya secara langsung sudah dirasakan oleh produk pariwisata di sejumlah daerah
Mataram,  (Antara) - Badan Pimpinan Pusat Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (BPPPHRI) telah bersurat kepada Presiden Republik Indonesia mengenai kebijakan larangan menggelar pertemuan dan rapat di hotel.

Ketua PHRI Nusa Tenggara Barat I Gusti Lanang Patra di Mataram, Senin, mengungkapkan hal tersebut terkait kondisi yang terjadi saat ini sudah berdampak kepada pemutusan hubungan kerja (PHK) di sejumlah hotel dan restoran diwilayahnya.

"Pengajuan surat sudah dilakukan, tujuannya agar kebijakan itu dapat dipertimbangkan kembali karena dampaknya secara langsung sudah dirasakan oleh produk pariwisata di sejumlah daerah," katanya.

Ia mengatakan bahwa dampak dari kebijakan itu mempengaruhi okupansi dan pendapatan produk pariwisata khususnya yang ada di wilayah NTB yang mencapai 30-40 persen dari kegiatan "meeting, incentive, convention, and exhibition" (MICE).

Hal itu dikarenakan, kegiatan MICE merupakan salah satu pendapatan yang menjadi andalan setiap produk pariwisata, sehingga kebanyakan pihak perhotelan dan restoran tidak mampu membayar gaji sebagian besar karyawannya.

"Gaji tidak mungkin diturunkan, karena sudah ada batasan yang ditetapkan oleh pemerintah," katanya.

Oleh sebab itu, sejumlah pihak perhotelan dan restoran terpaksa melakukan PHK kepada karyawannya. "Mau tidak mau, tindakan itu dilakukan. Kalau dipertahankan, perusahaan akan rugi," ujarnya.

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa dirinya juga menerima laporan dari sejumlah pihak perhotelan di wilayah NTB yang cukup merasa kecewa dengan adanya kebijakan tersebut.

"Sejak diberlakukan pada 1 Desember 2014, sejumlah unsur pemerintahan yang sudah memesan sebelumnya kemudian membatalkan rencananya untuk menggelar pertemuan di akhir tahun ini," katanya.

Padahal, kata dia, bulan Desember biasanya menjadi ajang pihak perhotelan dan restoran untuk meningkatkan okupasi dan pendapatannya. "Tutup tahun biasanya ramai, namun kebijakan itu membuat pihak perhotelan dan restoran harus lebih kerja keras lagi dalam mempertahankan pasarnya," ujar Gusti Lanang.

Terkait hal itu, ia mengharapkan agar pemerintah pusat untuk mempertimbangkan kembali dan mengevaluasi kebijakan tersebut melihat program pemerintah yang sedang gencarnya dalam meningkatkan okupasi pariwisata di Indonesia.