Pengamat: Pelemahan Rupiah belum Membahayakan Perekonomian Indonesia

id Rupiah Terkapar

Pengamat: Pelemahan Rupiah belum Membahayakan Perekonomian Indonesia

Rupiah melemah hingga level di atas Rp13.000 per dolar AS. (1)

"Posisi Rupiah yang masih berada pada level Rp13.000/Dolar AS mungkin masih belum terlalu berbahaya bagi perekonomian nasional karena fundamental ekonomi masih relatif kuat di banding 1998"
Mataram, (Antara NTB) - Pengamat ekonomi dari Universitas Mataram Dr M Firmansyah menilai pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat belum membahayakan perekonomian Indonesia, seperti yang terjadi ketika krisis moneter pada 1998.

"Posisi Rupiah yang masih berada pada level Rp13.000/Dolar AS mungkin masih belum terlalu berbahaya bagi perekonomian nasional karena fundamental ekonomi masih relatif kuat di banding 1998," katanya di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Jumat.

Menurut dia, anjloknya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS sebenarnya bukan hal yang aneh. Beberapa tahun lalu telah dijelaskan banyak analis, di mana pemicu utamanya adalah perbaikan perekonomian Amerika Serikat dan penurunan pertumbuhan ekonomi Tiongkok dan beberapa negara Eropa.

Prediksi bahwa The FED (Bank Sentral Amerika Serikat) akan menaikan suku bunga juga jauh-jauh hari sudah diingatkan.

Implikasi terbangnya investasi khususnya modal ke AS adalah hal yang sulit dihindari karena pasar akan menanggapi positif bahwa AS tengah menjadi wilayah modal yang menjanjikan dibandingkan negara "emerging market", seperti Indonesia.

Bagi Bank Indonesia (BI), kata Firmansyah, memang menjadi dilematis, satu sisi BI telah menurunkan bunga acuan dari 7,75 persen menjadi 7,5 persen untuk menggairahkan sektor riil.

"Saya kira langkah BI ini realistis mengingat sebentar lagi kita akan menghadapi pesar bebas, harapannya skala usaha di tanah air menjadi lebih luas dengan bunga pada sektor rill yang menurun," ujarnya.

Harapan lain, kata dia, perbankan menjadi lebih kompetitif mengambil alih pembiayaan sektor usaha pasar ASEAN, karena bunga perbankan di Indonesia, masih lebih tinggi dibanding rata-rata negara ASEAN.

Sisi lain, dengan menurunnya BI rate akan semakin mengusir modal asing di domestik untuk terbang ke luar, tepatnya di AS. Hal itu bisa terjadi karena pasar uang di Tanah Air dianggap kurang menguntungkan dibanding di AS.

Ketua Pusat Kajian Ekonomi Pembangunan Universitas Mataram ini juga menilai ada kecendrungan BI belum terlalu aktif untuk memperkuat Rupiah secara ekstrem.

Indikasinya, BI masih belum memutuskan kembali menaikan bunga acuan. Selain itu, ada kecenderungan Dolar AS masih mengalir kuat, sehingga cadangan devisa sebenarnya relatif cukup untuk memperkuat Rupiah, tetapi BI belum sepenuhnya melepas Dolar AS di pasaran.

"Saya pikir BI masih mengamati kecendrungan Dolar AS untuk stabil sendiri, sehingga masih terkesan adem ayem. Ketika sudah terasa liar, baru aktif mengintervensi pasar," ucap Firmansyah.

Menurut dia, yang paling mengkhawatirkan pada posisi melemahnya Rupiah yang perlu dijaga untuk tidak bergejolak adalah ketika pemerintah merespon kenaikan harga beberapa komoditas saat ini dengan impor.

Sebagian atau sepenuhnya bahan baku produk industri dalam negeri masih dibentuk dengan impor, realisasi belanja RAPBN maupun RAPBD yang masih membutuhkan produk asing, jatuh tempo bayar hutang luar negeri pemerintah dan swasta, ongkos naik haji menjadi lebih mahal dan lain-lain.

Firmansyah juga menilai yang paling diuntungkan dari kondisi melemahnya Rupiah adalah sektor jasa, khususnya jasa pariwisata.

"Dengan rendahnya kurs harusnya lebih banyak turis yang berkunjung dan berbelanja karena selisih mata uang tersebut, sehingga harusnya perlu dimanfaatkan momentum ini oleh pelaku pariwisata," katanya. (*)