Salah seorang PMI asal NTB korban TPPO di Libya terungkap buta aksara

id TPPO di NTB,TPPO Libya,TPPO,TPPO NTB,Buta aksara

Salah seorang PMI asal NTB korban TPPO di Libya terungkap buta aksara

Dua korban TPPO Libya berinisial JU dan SM (kiri) ketika hendak menjalani pemeriksaan di Polda NTB, Mataram, Senin (3/7/2023). ANTARA/Dhimas BP

Mataram (ANTARA) - Salah seorang dari dua pekerja migran Indonesia (PMI) asal Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, yang menjadi korban kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Libya terungkap buta aksara atau tidak dapat membaca dan menulis.

"Ini yang jadi agak, ternyata salah satu korban inisial JU tidak bisa baca tulis, jadi pas direkrut itu, terima beres saja," kata Mizanul Jihad, perwakilan kuasa hukum kedua PMI korban TPPO di Libya saat ditemui disela pendampingan pemeriksaan di Polda NTB, Mataram, Senin.

Dalam pendampingan hukum terhadap kedua korban TPPO di Polda NTB, Mizan mengatakan bahwa pihak kepolisian kini sedang melakukan pemeriksaan atas laporan yang baru masuk secara resmi pada hari ini.

"Jadi, laporannya masuk hari ini dan sekarang dilakukan pemeriksaan terkait laporan," ujarnya.

Lebih lanjut, Mizan menjelaskan bahwa perekrutan JU bersama rekannya berinisial SM tersebut berlangsung di Kabupaten Sumbawa pada awal tahun 2022.

"Perekrutan-nya secara perorangan, bukan melalui perusahaan," ucapnya.

Dalam proses perekrutan, keduanya diberikan uang Rp1 juta dan dijanjikan oleh perekrut bekerja di Arab Saudi. Tergiur dengan tawaran tersebut, keduanya kemudian diberangkatkan lebih dahulu ke Jakarta.

"Di Jakarta itu ditempatkan di penampungan sementara. Di sana dibuatkan paspor dan dikasih lagi uang Rp3 juta," ucap dia.

Setelah paspor terbit, keduanya kemudian diberangkatkan ke wilayah Timur Tengah. Namun, keduanya tidak tiba di Arab Saudi, melainkan ke Turki.

"Janji awal ke Arab itu batal, mereka diterbangkan ke Turki. Dari Turki oleh agensi di sana dikirim ke Libya," tutur Mizan.

Tiba di Libya, keduanya langsung diserahkan ke majikan dan bekerja di bidang domestik sebagai asisten rumah tangga (ART).

"Jadi, sekitar 7 bulan bekerja sebagai ART, mereka diberikan gaji, tetapi yang menjadi masalah adalah perlakuan majikan yang sering melakukan tindakan kekerasan fisik. Setiap ada sedikit kesalahan, korban dengan gampang dipukul," ujarnya.