RSUD Sumbawa sisakan utang Rp70,2 miliar saat Dede jabat direktur

id RSUD Sumbawa,Direktur RSUD Sumbawa,Sumbawa,Blud RSUD Sumbawa

RSUD Sumbawa sisakan utang Rp70,2 miliar saat Dede jabat direktur

Direktur RSUD Sumbawa dr. Nieta Ariyani berjalan usai memberikan keterangan sebagai saksi dalam sidang lanjutan dr. Dede Hasan Basri untuk perkara korupsi dana BLUD pada RSUD Sumbawa tahun anggaran 2022 di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Mataram, Rabu (25/10/2023). (ANTARA/Dhimas B.P.)

Mataram (ANTARA) - Rumah Sakit Umum Daerah Sumbawa, Nusa Tenggara Barat terungkap menyisakan utang Rp70,2 miliar saat dr Dede Hasan Basri menduduki jabatan direktur.

"Utang rumah sakit dua tahun terakhir Rp70,2 miliar. Itu tahun 2021 sampai 2022," kata dr. Nieta Ariyani, Direktur RSUD Sumbawa memberikan keterangan sebagai saksi dalam sidang lanjutan dr. Dede Hasan Basri untuk perkara korupsi dana BLUD pada RSUD Sumbawa tahun anggaran 2022 di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Mataram, Rabu.

Nieta menyampaikan ke hadapan majelis hakim terkait adanya utang RSUD Sumbawa tersebut menanggapi rangkaian pertanyaan dari jaksa penuntut umum.

Kepada hakim, Nieta mengaku mengetahui adanya utang saat mendapat amanah menggantikan Dede sebagai Direktur RSUD Sumbawa pada 14 Februari 2023.

"Itu (utang RSUD Sumbawa) diberikan berdasarkan hasil rekonsiliasi BPK bersama inspektorat," ujarnya.

Dalam dokumen hasil rekonsilisasi, jelas dia, utang muncul dari tunggakan pembayaran proyek pengadaan barang dan jasa kepada sejumlah pihak rekanan rumah sakit.

Untuk memulihkan anggaran, Nieta mengaku melakukan pelunasan dengan menyisihkan sebagian pendapatan RSUD Sumbawa.

"Jadi, untuk bayar utang itu kami siapkan dari 60 persen pendapatan," ucap dia.

Sejak menduduki jabatan sebagai direktur, Nieta mengungkapkan bahwa pihaknya baru bisa melunasi utang Rp17,5 miliar dari total Rp70,2 miliar.

"Masih ada sisa Rp52,7 miliar yang belum terbayar," kata Nieta.

Dia pun menyampaikan bahwa timbulnya utang pada masa kepemimpinan Dede sebagai direktur itu mengakibatkan kegiatan pengadaan barang terhambat.

"Karena dalam E-Katalog itu terbaca ada sisa utang. Jadi, pemesanan barang itu ditolak sistem," ujarnya.

Selain dari rekanan, utang juga muncul dari tunggakan pembayaran biaya pelayanan, di antaranya untuk kebutuhan jasa pelayanan kesehatan maupun obat-obatan.