Mataram (Antara NTB) - Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI) Nusa Tenggara Barat meminta pemerintah pusat mendesak Malaysia memperbaiki tata kelola rekrutmen calon tenaga kerja Indonesia karena merugikan.
Ketua APJATI NTB H Muhammadun di Mataram, Jumat, mengatakan langkah ini diperlukan untuk mencegah calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI) tidak berangkat secara ilegal dan hak-haknya dapat terlindungi pemerintah Malaysia .
Ia menjelaskan, ada tiga penyebab mengapa akhirnya para TKI akhirnya memilih jalan pintas menjadi tenaga kerja di Malaysia. Antara lain, kebijakan pemerintah Malaysia yang menerapkan pungutan liar (pungli) paspor sebesar Rp1 juta lebih.
"Karena biaya cukup besar, akhirnya TKI memilih jalan pintas untuk menyeberang ke Malaysia," katanya.
Selain harus membayar pengurusan pungli paspor, kata Muhammadun, ada juga perusahaan dari Malaysia yang akan menarik pungutan sebesar Rp420 ribu untuk pengurusan catatan hidup calon TKI secara online.
Tidak hanya itu, pemerintah Malaysia juga menerapkan imigrasi "screening system" atau pengambilan sidik jari. Yang mana semua itu sangat memberatkan TKI.
"Kita ingin pemerintah pusat dan provinsi melakukan evaluasi atas kebijakan Malaysia itu. Karena pungutan itu tidak dibebankan kepada perusahaan penempatan atau majikan melainkan ke TKI sehingga sangat membebani," tegasnya.
Menurut dia, pungutan itu awalnya akan ditarik dari majikan setelah TKI resmi bekerja di Malaysia, namun pada kenyataannya semuanya dibayarkan di Indonesia, melalui perbankan tanpa ada bukti penerimaan.
"Sehingga, apa yang terjadi dari berbagai pungutan itu, biaya penempatan calon TKI membengkak menjadi Rp7 juta, sebelumnya hanya Rp5 juta. Kalau boleh dikatakan ini, ibaratnya memeras calon TKI sebelum bekerja," imbuhnya.
Muhammadun mengutarakan, segala permasalahan pungutan tersebut, sebetulnya sudah dikoordinasikan dengan pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi NTB, namun belum juga mendapat respons positif.
Tidak itu saja, sebutnya, pemerintah Malaysia berencana di tahun 2017 akan kembali membebankan para TKI untuk pemeriksaan kesehatan dengan biaya diperkirakan mencapai Rp750 ribu dari sebelumnya hanya Rp250 ribu.
"Mestinya yang ditambah ini bukan uangnya," tegas Muhammadun.
Untuk itu, Muhammadun mendesak pemerintah pusat dan pemerintah provinsi untuk bersama-sama mengevaluasi tiga kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Malaysia tersebut.
Bila perlu, kata Muhammadun, dihapuskan karena tidak memberikan kontribusi apa-apa kepada daerah. (*)