Reality show konversi suara Pilkada

id Reality Show ,konversi,suara,pilkada Oleh Mujaddid Muhas, M.A. *)

Reality show konversi suara Pilkada

Mujaddid Muhas, M.A., Penulis Buku Nalar Pemilu dan Demokrasi (2011) (ANTARA/HO-Mujaddid Muhas)

Mataram (ANTARA) - Ibarat reality show, panggung politik demokrasi kita disesaki peristiwa-peristiwa penting. Melesat sekaligus membahana sebagai wacana yang memengaruhi trending topik publik, baik di dunia nyata maupun ranah maya. Babak per babak realita berbalas elegi dramaturgi, kemudian berkelindan menjadi hiruk pikuk publik yang belum pun berkesudahan. Bahkan, disinyalir menerus menjadi gelombang "perlawanan" dan bertalian bertautan. Sebaliknya, dilakukan penetrasi dan pelapisan agar gelombang peristiwa, berujung pada cooling down yang mereda sebagai win-win solutions. Stabilitas politik dan siklus kenegaraan, mesti tetap stabil dan berkesinambungan, tentu saja. 

Babak pertama, pada sekuel ini, konon dimulai semenjak adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 60/PUU-XXII/2024, pada 20 Agustus 2024. Menyeruak menghentak sebagai angin segar bagi kesetaraan demokrasi. Partai politik (Parpol) nonparlemen mendapatkan kesempatan yang setara untuk (dapat) mencalonkan pasangan calon (Paslon) melalui pengusungan perolehan suara, sesuai takaran yang dipersamakan dengan takaran pendaftaran calon independen atau paslon jalur perseorangan. Termasuk parpol atau gabungan parpol yang belum memenuhi ketentuan lama yang dianulir MK: 20 persen perolehan kursi atau 25 persen perolehan suara bagi parpol di parlemen. 

Rupanya, putusan inilah yang membuat hiruk pikuk. Bagi kekuatan prodemokrasi menganggap bahwa putusan MK terbilang telah kembali ke "khittah" fungsi yudikatif konstitusionalnya. Namun sebaliknya, institusi politik terutama parpol seolah melakukan perlawanan manuver.  Memaksimalkan kewenangan fungsi legislasinya, dalam bentuk memercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada). Persis sehari setelahnya, 21 Agustus 2024. 

Tak berselang waktu panjang, babak kedua sekuel peristiwa muncul. Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR) menyepakati klausula ayat-ayat dan ketentuan dalam RUU Pilkada tersebut, untuk dibawa ke Sidang Paripurna penetapan. Praktis terpaut hanya satu fraksi saja yang menolak dari seluruh fraksi yang ada. Dapat dipastikan, RUU tersebut bisa berakhir mulus, ketika paripurna (konstitusional pula). Eksesnya, gelanggang politik menjadi menghangat, sebab dinamika respons dan pernyataan sikap penolakan terjadi beruntun merebak. Bertubi-tubi dari berbagai elemen mahasiswa dan sivitas masyarakat. 

Menganggap ada kekuatan oligarki, diantara para pialang dan petualang politik yang "bermain". Sementara itu patriarki mengantre dengan para kakostokratnya. Walaupun dengan kondisi sistem politik seperti ini, dapat diakui nyaris tak ada satu pun kandidat yang tidak memerlukan oligarki, atau dengan kata lain, hampir tak ada oligarki yang tak mencengkeram para kandidat. Pertanyaan besarnya adalah oligarki itu deal apa dengan para kandidat? Itulah yang perlu diperjelas dari tuntutan publik, termasuk tampak dari sikap-sikap editorial media massa. 

Tuntutan yang selaras dengan peraturan global, iklim usaha, sistem keberimbangan, kepentingan publik serta yang tak kalah pentingnya: ekosistem alam. Diketahui bersama, gejala eksploitasi alam kian meningkat. Dari semula eksplorasi dengan menjaga alam (konservasi), kepada eksploitasi alam. Selain, tak berfungsi optimalnya kritisisme parpol sebagai penyeimbang demokrasi yang berpihak pada publik. Hal-hal inilah yang pula mengitarinya, sehingga diupayakan "perlawanan" balik melalui sinyalemen pengetatan paslon serta "penggiringan" kemenangan pada berbagai tingkatan pilkada. Diantaranya dengan memercepat RUU Pilkada, segera menjadi regulasi penuh.

Pada babak berubahnya (korting) ambang batas pencalonan berdasarkan putusan MK membuat dinamika turbulensi politik tak terhindarkan. Segarnya pemberlakuan regulasi MK terkini, tampak membuat parpol-parpol yang pesimis mencalonkan kadernya, kini lebih menggeliat. Putusan MK nomor 60/PUU-XXII/2024, mengubah konstelasi pilkada di beberapa daerah, dengan dibolehkannya parpol nonparlemen mendaftarkan paslon serta penghitungan prosentase dukungan konversi suara yang disesuaikan. Suatu inovasi konstitusional demokrasi. Kini publik beserta stakeholders pilkada menunggu PKPU baru dari KPU, terhadap Putusan MK teranyar tersebut.

Apa sesungguhnya efek potensial dari konversi suara pencalonan tersebut?  Potensi-potensi perubahan konstelasi dari Putusan MK teranyar tersebut. Diantaranya sebagai berikut: pertama, gabungan parpol parlemen dan nonparlemen yang memenuhi dukungan suara prosentase 10 persen atau 8,5 persen, 7,5 persen atau 6,5 persen dari jumlah Daftar Pemilih Tetap ditakar dengan perolehan suara sah parpol masing-masing tingkatan, pada hasil pemilu legislatif 2024. Termasuk apabila ada gabungan parpol parlemen saja atau gabungan parpol nonparlemen saja yang mengajukan paslon, sesuai ketentuan takaran prosentase putusan MK.

Kedua, penghitungan dukungan paslon disetarakan (asas keadilan) dengan prosentase dukungan calon independen atau jalur perseorangan. Tidak lagi menggunakan regulasi lama: 20 persen kursi atau 25 persen suara. Memungkinkan adanya penambahan atau pengubahan dukungan paslon atau setidaknya menggeser pendulum konstelasi yang ada sebelumnya. Ketiga, mengecilkan peluang calon tunggal dan kotak kosong yang berpotensi ada pada berbagai tingkatan dan berbagai daerah. Semisal Pilkada Daerah Khusus Jakarta dan Pilkada Banten. Kendati, pada tahun 2018 di Makassar, pilkadanya justru dimenangkan kotak kosong. 

Keempat, adanya korting ambang batas takaran prosentase suara melalui uji konstitusional, memberikan kesetaraan kesempatan bagi paslon untuk berkompetisi. Konsolidasi baru terhadap peluang pencalonan paslon yang potensial terpilih, tetapi tidak cukup usungan parpol untuk mendaftar. Membuka peluang konstelasi mengalami pergeseran kemenangan, apabila terjadi perubahan paslon atau penambahan paslon. Ndilalah, siapapun nanti pemenangnya, mesti dihormati dan diterima semua pihak.

Lantaran putusan MK berlaku sejak dibacakan (erga omnes), artinya pendaftaran paslon Pilkada se-Indonesia 27-29 Agustus 2024, berlaku putusan MK tersebut. Namun tampak terpending oleh adanya rencana penetapan Undang-Undang Pilkada yang diproduksi legislatif senayan. Manakah yang diberlakukan?  PKPU terbaru dari KPU menjadi penting, sebagai acuan turunan secara teknis operasionalnya. 

Babak demi babak dramaturgi reality show ini terus menyeruak, sembari menanti kearifan sekaligus kebijakan final negara yang nantinya diperlukan untuk mengatasi kebuntuan konstitusional. Demi penyelenggaraan pilkada yang lancar dan damai. Apapun peristiwa politik, tak elok mendistorsi stabilitas pemerintahan hingga merugikan sendi-sendi berdemokrasi. Kita menunggu kenegarawanan dan kebegawanan ulung dalam fase kuldesak demokrasi yang tampak seperti reality show, tetapi nyata empirik adanya. 


*) Penulis Buku Nalar Pemilu dan Demokrasi (2011)