Jakarta, 20/7 (ANTARA) - Ada sebuah lagu dari band kawula muda Amerika Serikat Panic at the Disco yang relevan dengan situasi sekarang, menyusul teror bom bunuh diri di Jakarta.
Judul lagu tersebut cukup panjang, yaitu "The only difference between martyrdom and suicide is the press coverage".
Lagu itu menggambarkan, hanya liputan media yang membedakan antara tindakan "jihad" dan "mati konyol bunuh diri" dalam sebuah serangan bom seperti yang meledak di JW Marriott dan Ritz Carlton baru-baru ini.
Media juga yang bisa mengangkat teroris itu sebagai pahlawan atau justeru sebaliknya menjatuhkannya menjadi makhluk biadad yang sangat terkutuk.
Lewat pemberitaannya, selama ini memang diakui, media bisa mempopulerkan kelompok atau tokoh-tokoh teroris sederajat dengan kaum selebritis. Siapa tak kenal dengan Osama bin Laden? Siapa pula yang tak kenal Noordin M Top yang benar-benar "top markotop" sebagai pelaku teror?
Media juga telah melambungkan nama organisasi teroris Al Qaeda atau Jemaah Islamiyah (JI). Setiap ada ledakan bom, laporan media selalu mengkaitkan dengan Al Qaeda atau JI.
Organisasi teroris itu digambarkan memiliki kemampuan beroperasi di seluruh penjuru dunia, sehingga siapa saja, di mana saja, akan bergidik bulu tengkuknya bila nama Al Qaeda atau JI disebut.
Secara sadar atau tidak, melalui pemberitaannya pula, media telah menjadi corong teroris untuk menyebarluaskan tindakan terornya atau mempopulerkan aktor-aktornya.
Di tangan para pemimpin redaksilah keputusan berada: apakah akan membuat tugas teroris untuk meneror menjadi lebih mudah dengan cara menyebarluaskan kekerasan dan menebar ketakutan? Atau, justeru sebaliknya memboikot pemberitaan teroris, sehingga tanpa liputan yang luas oleh media massa terorisme tidak akan berarti.
"Without media there can be no terrorism," kata Schmid & Graaf.
Tanpa liputan media diyakini tidak akan ada terorisme. Kekerasan teroris yang tidak diberitakan bisa diibaratkan dengan tumbangnya pohon di tengah hutan. Meskipun peristiwa terjadi, tidak semua orang sekampung tahu, jika tidak ada yang bercerita soal itu.
Simbiosis mutualisme
Hubungan media dan terorisme seperti simbiosis mutualisme. Masing-masing saling mengambil manfaat. Teroris memerlukan media massa untuk menyampaikan pesan dan tuntutannya, media massa memerlukan teroris untuk keperluan beritanya.
Teroris kuno sudah memperhitungkan pentingnya publikasi bagi tindakan teror yang dilakukannya. Kaum zealot yang melawan pendudukan Romawi di Palestina (66-70 M) lebih senang melakukan tindakan kekerasan pada hari libur dan di tempat keramaian dengan maksud berita mengenai teror itu bisa menyebar dengan cepat dan luas.
Di zaman modern dengan kemampuan televisi menyiarkan peristiwa secara langsung, teroris melipatgandakan kekuatan terornya dengan bantuan kamera.
Ahli terorisme Bowyer Bell mengungkapkan lelucon mengenai betapa teroris bergantung pada media. Syahdan, ketika sebuah pesawat dibajak, seorang pemimpin teroris memarahi anak buah yang berniat menghabisi sandera mereka.
"Jangan tembak, belum 'prime time'," kata si pemimpin teroris yang rupanya sedang menunggu datangnya juru kamera CNN.
Jika diamati, pemboman di JW Marriott dan Ritz Carlton juga sudah diperhitungkan betul dari segi media dan publikasinya. Siapapun pelakunya dan dari manapun kelompoknya, teroris yang menteror Jakarta itu amat memahami bahwa terorisme adalah panggung teater yang selalu menjadi pusat sorotan dan pemberitaan media.
Sebagai panggung teater, menurut pakar terorisme Brian Michael Jenkins, serangan teroris selalu dirancang untuk menarik perhatian media elektronik dan pers internasional.
Teroris selalu menyerang simbol-simbol yang bisa menjadi fokus perhatian media.
Bom di Jakarta, Jumat (17/7), meledak tepat beberapa saat sebelum kesebelasan Manchester United (MU) datang untuk bertanding dengan tim Indonesian All Stars.
Tour MU ke Asia telah menjadi agenda pemberitaan internasional dan Rooney dkk direncanakan akan menginap di hotel JW Marriott.
Akibatnya, MU membatalkan kunjungan ke Jakarta, karena mereka menganggap kota itu kurang aman.
Dari segi waktu, teroris juga memperhitungkan waktu dengan amat cermat.
Ketika semua orang memuji pelaksanaan Pemilihan Presiden Indonesia yang berlangsung aman dan lancar, ledakan bom itu mencederainya. Seolah-olah bom itu ada kaitannya dengan kekecewaan terhadap pilpres dan menjadi polemik antar-elit politik dalam menyikapinya.
Dari segi pemilihan tempat dan waktu, teroris telah berhasil mencapai sasarannya dengan bantuan publikasi media.
Yang pertama, mereka berhasil memberi kesan bahwa Indonesia (setidaknya Jakarta) adalah tidak aman, sehingga sejumlah negara mengeluarkan travel warning.
Kedua, mereka sukses membuat para elit politik terlibat dalam polemik, saling tuding, dan saling memprovokasi.
Dimanfaatkan teroris
Secara tidak sadar, media tampaknya telah dimanfaatkan teroris seperti studi Schmid & Graaf mengenai penggunaan secara aktif dan pasif media oleh teroris.
Secara aktif, menurut studi itu, teroris menggunakan media antara lain untuk mempolarisasi pendapat umum, mengiklankan diri untuk menarik simpati dan anggota baru, membangkitkan keprihatinan publik terhadap korban untuk menekan agar pemerintah melakukan kompromi atau konsesi, membangkitkan kekecewaan publik terhadap pemerintah yang terkesan tidak berdaya, atau mengalihkan perhatian publik dari isu-isu yang tidak dikehendaki dengan harapan berita teror mereka mengisi halaman depan media.
Sementara secara pasif, teroris juga memanfaatkan media untuk mempelajari teknik-teknik penanganan terbaru terhadap terorisme dari laporan media, mendapatkan informasi tentang kegiatan terkini pasukan keamanan menghadapi teror yang sedang mereka lakukan, dan menikmati laporan media yang berlebihan tentang kekuatan teroris hingga menciptakan ketakutan pihak musuh dan mencegah keberanian aparat keamanan dan polisi secara individual untuk membasmi teroris.
Jika para pemimpin redaksi dan wartawan memahami studi Schmid & Graaf tersebut, mereka tentu akan sangat hati-hati dalam melakukan liputan dan pemberitaan mengenai terorisme. Salah salah media terjebak dalam kampanye "public relations" dan "branding" teroris yang semakin pintar memanfaatkan publikasi.
Mungkin sudah saatnya media memboikot pemberitaan tindak kekerasan teroris dan tidak memberikan oksigen publikasi bagi para pelaku teror. Kekerasan politik akan menurun drastis, atau mungkin bisa hilang sama sekali, kalau media tidak terlalu bersemangat untuk memberitakan tindak kekerasan teroris.
Di tangan media lah seorang teroris dicitrakan sebagai mati syahid atau mati konyol dalam pemberitaannya.(*)