Menjaga anak, menahan kekerasan: Saatnya Negara hadir lebih awal

id anak,menjaga anak,menahan kekerasan anak,negara hadir Oleh Isa Ansori *)

Menjaga anak, menahan kekerasan: Saatnya Negara hadir lebih awal

Ketua Dewan penasehat Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Surabaya Isa Ansori (ANTARA/HO-LPA Surabaya)

Surabaya (ANTARA) - Tawuran remaja yang berujung pada hilangnya nyawa, kekerasan oleh anak kepada orang tua, hingga anak-anak yang menolak sekolah dan menjadi ancaman di lingkungannya, bukan lagi kasus insidental. Fenomena ini menjelma menjadi darurat sosial baru. Ironisnya, di tengah kondisi ini, negara kerap hadir terlalu lambat, atau bahkan tidak hadir sama sekali.

Dalam konteks perlindungan anak, negara seharusnya tidak hanya menunggu laporan, tetapi aktif membaca data. Sebagai entitas yang memiliki akses ke big data sosial—termasuk catatan kriminal, pendidikan, hingga pengaduan masyarakat—negara seharusnya bisa melakukan deteksi dini dan pencegahan.

Peristiwa tawuran remaja yang terjadi di kawasan Surabaya Utara yang sedang ditangani oleh Polres Perak Pelabuhan dan diamankan di Polsek Semampir, dimana ditemukan senjata tajam hingga busur panah, menunjukkan bahwa kekerasan yang dilakukan bukan hanya sekedar kekerasan pada umumnya, tapi sudah menjurus pada bentuk kriminal dan mengancam serta menghilangkan nyawa orang lain.

Kejadian yang diketahui pada Senin ( 7 April 2025 ) dini hari, ditengarai terjadi tawuran antara dua kelompok remaja di jalan Tenggumung Karya lor, Semampir, Surabaya dan mereka menggunakan senjata tajam yang sudah dimodifikasi dengan tujuan untuk melukai dan menghilangkan nyawa orang lain.

Kasi Humas Polres Pelabuhan Tanjung Perak, Iptu Suroso menegaskan “Kami akan tindak tegas siapapun pelaku tawuran remaja yang yang terjadi di wilayah Polres Pelabuhan Tanjung Perak, termasuk aksi yang terjadi di Semampir ini”.

Negara Berhak Mengambil Alih

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa negara, pemerintah, dan pemerintah daerah bertanggung jawab menghormati, melindungi, dan memenuhi hak anak. Termasuk, ketika anak menjadi pelaku kekerasan yang membahayakan dirinya sendiri, keluarganya, dan lingkungannya.

Dalam situasi tersebut, negara memiliki dasar hukum untuk mengambil alih pengasuhan anak. Ini bukan bentuk penghukuman, melainkan tindakan perlindungan dan pemulihan. Anak tetap harus mendapatkan haknya atas pendidikan, kesehatan, pembinaan karakter, dan kasih sayang—meskipun dalam bentuk pengasuhan alternatif yang terstruktur dan aman.

Konsep "Pemenjaraan" yang Memulihkan

Sudah saatnya kita meninggalkan paradigma pemenjaraan anak dalam bentuk tertutup dan menghukum. Sebagai gantinya, kita dapat membangun Rumah Pemulihan Anak (RPA), yaitu lembaga boarding yang berorientasi pada rehabilitasi sosial dan pendidikan alternatif.

Model ini memungkinkan anak-anak yang tidak bisa lagi dibina dalam keluarga, menolak sekolah, atau melakukan kekerasan, untuk menjalani proses pemulihan di lingkungan yang aman, terstruktur, namun tetap ramah anak. Mereka akan mendapatkan pendampingan psikologis, pelatihan keterampilan, serta pendidikan berbasis karakter dan vokasi.

RPA bisa didirikan melalui kerja sama lintas sektor: dinas sosial, pendidikan, kepolisian, dan komunitas pemerhati anak. Penempatan anak dalam lembaga ini dapat melalui rekomendasi psikolog, keputusan pengadilan, atau asesmen sosial dari pemerintah daerah.

Surabaya Bisa Menjadi Pelopor

Sebagai kota dengan predikat Kota Layak Anak, Surabaya memiliki infrastruktur sosial dan komitmen kebijakan yang memungkinkan inisiatif ini dijalankan. Keberadaan sekolah alternatif, rumah singgah, dan lembaga konseling bisa menjadi fondasi untuk membangun satu pilot project RPA yang mampu menangani anak-anak dalam kondisi rawan kekerasan dan kerentanan sosial.

Program perlindungan anak yang dilakukan di Surabaya sudah banyak, namun seringkali karena keraguan penanganan yang tegas akan dianggap sebagai kekerasan membuat hal – hal yang yang dilakukan untuk penanganan itu cenderung tidak membuat efek jerah. Sehingga sudah saatnya ketegasan perlu dilakukan bagi anak anak yang perilakunya sudah membahayakan dirinya, orang lain dan keluarganya.

Dengan hadirnya RPA, Surabaya tidak hanya fokus pada fasilitas fisik ramah anak, tetapi juga menjangkau anak-anak yang terpinggirkan dan tak terjamah sistem pendidikan dan pengasuhan konvensional.

Negara Tidak Boleh Menyerah

Anak-anak yang menjadi pelaku kekerasan seringkali lahir dari sistem pengasuhan yang gagal. Namun ketika keluarga menyerah, negara tidak boleh ikut menyerah. Negara harus hadir, bukan dengan kekerasan yang baru, melainkan dengan pelukan yang tegas, disiplin yang manusiawi, dan ruang aman untuk bertumbuh kembali.

Pengasuhan yang gagal bisa ditimbulkan oleh banyak hal, diantaranya ketidakmampuan keluarga melakukan pengasuhan karena tuntutan ekonomi yang berat, sehangga anak anak terabaikan, pengaruh lingkungan yang tidak baik yang menyebabkan anak menjadi menikmati kekejaman lingkungan membiarkan perilaku penyimpangan yang dilakukan, anak anak menjadi putus sekolah dan diasuh oleh lingkungan yang tidak baik, melawan orang tua, guru dan lain lain yang merupakan patologi sosial.

Menahan kekerasan sejak dini adalah bentuk perlindungan. Menjaga anak dari lingkungan yang membentuknya menjadi pelaku adalah bentuk kasih sayang. Dan memulihkan mereka, adalah tugas kita bersama sebagai bangsa.

Karena sejatinya, tak ada anak yang lahir jahat. Yang ada adalah anak-anak yang terlalu lama dibiarkan hidup dalam kegelapan tanpa pendampingan.

Surabaya, 10 April 2025

*) Penulis adalah Pengurus LPA Jawa Timur dan Pemerhati Kebijakan Sosial