Radio 2045 positioning : The last trusted voice in the city (Bagian 3)

id Radio 2045 positioning,The last trusted voice in the city,masa depan radio,AI Oleh Eddy Prastyo *)

Radio 2045 positioning : The last trusted voice in the city (Bagian 3)

Masa depan radio di Indonesia (ANTARA/HO - Gemini)

Surabaya (ANTARA) - Sepulang dari cafe setelah menulis tentang oposisi biner mesin dan manusia sebagai penyiar, otak saya kembali meregang dalam satu pertanyaan kunci :

“Dalam 20–30 tahun ke depan… ketika media sudah berubah menjadi ekosistem atensi, di mana posisi radio?”

Bukan sebagai romantisme masa lalu… bukan sebagai nostalgia frekuensi…
Tapi sebagai pilihan strategis yang rasional… relevan… dan sustain.

Bukan Lagi Tentang “Apakah Radio Akan Bertahan?” Tapi Tentang “Dalam Bentuk Apa Radio Akan Bertahan?”

Saya sudah terlalu sering mendengar diskusi klise:

“Apakah radio akan punah?”
“Apakah radio bisa bersaing dengan digital?”
“Apakah generasi Z dan Alpha masih mau dengar radio?”

Buat saya… pertanyaannya sudah bukan itu lagi.

Radio akan tetap ada, bukan sebagai medium yang kita kenal sekarang, tapi sebagai ruang interaksi sosial berbasis suara. Sedangkan teks dan visual sejatinya adalah unsur pemanis. Bukan sebagai hidangan utama.

Kemudian, yang berubah dari radio hanyalah: bentuknya, distribusinya, skalanya, dan cara konsumsinya.

Soal ini, saya yakin mereka yang berdarah "R" sudah ngelontok.

Diferensiasi Utama: Human Proximity dan Real-Time Local Trust

Di tengah gempuran media digital yang serba algoritmik dan globalized, Radio punya kekuatan mendasar yang tak dimiliki media lain:

- Kedekatan lokal (hyperlocal trust)
- Real-time emotional engagement (intimacy & personal)
- Sense of community

Di saat YouTube sibuk dengan clickbait. Di saat TikTok sibuk dengan visual noise, Radio tetap bisa menjadi suara yang hadir saat krisis, saat banjir, saat listrik padam, atau bahkan... saat seseorang merasa kesepian di jam 3 pagi.

Kelemahan radio?
Ya… skalanya kecil, reach-nya terbatas, capital return-nya rendah jika pakai logika konvensional. Tapi justru di situlah kekuatannya:

Personal. Dekat. Tidak massal tapi signifikan secara emosional.

Size Organisasi: Kecil, Lincah, dan Multiplatform Native

Radio 20–30 tahun ke depan tidak boleh lagi pakai struktur gemuk ala media konvensional.

- Tim redaksi ramping, agile, multitasking.
- Produksi konten bersifat cross-platform native sejak dari hulu.
- Tidak ada lagi pemisahan tegas antara orang on-air, orang digital, orang event. Semua adalah “content ecosystem agent”.

Radio masa depan lebih mirip start-up content hub, daripada lembaga siaran tradisional.

Lalu bagaimana dengan radio yang sudah kadung berdiri tidak dengan karakter itu? Ibarat kolam yang diisi sebuah ikan besar sendirian, tiba-tiba masuk ribuan ikan kecil yang lebih gesit. Pilihannya dua, ikan besar memakan para ikan kecil, atau ikan besar mengecil atau bahkan mati karena makanan yang terbatas habis dimakan para ikan kecil.

Masalahnya, makanan dalam kolam itu secara konsisten semakin sedikit, yang membuat ikan besar pada akhirnya tetap mengecil meskipun sudah memakan para ikan kecil. Tidak ada jaminan pula di kemudian hari ikan itu bertahan meskipun hidup sendirian.

Hingga akhirnya ada satu pilihan terakhir :
mengecil bersama para ikan kecil tapi memiliki resiliensi berdasarkan visi dan pengalamannya. Inilah yang membedakannya dengan ribuan ikan yang belakangan masuk. Mengecil, tapi tetap hidup, dalam lingkungan yang semakin minim sumber.

Adopsi Teknologi: Cloud-Based, AI-Augmented, Data-Driven

- Produksi audio berbasis cloud
Ruang penyimpanan hukan lagi dalam bentuk hardisk yang diletakkan di gudang atau server-server in house. Risikonya terlalu besar untuk corrupt, pun dengan effort maintenancenya.
- Penyiar dibantu AI untuk analisis mood audiens secara real-time
Sebagai "emotional anchor", penyiar memandu orkestra batin dibantu AI sebagai "backbone operator".
- Distribusi multi-outlet: dari live streaming, podcast, social snippets, hingga smart speaker content feed
Beragam channel distribusi akan memperluas kemungkinan jangkauan konten ke penggunanya.
- AI Content Curation untuk segmentasi audiens mikro
Dalam interaksi sosial yang menjadikan radio sebagai hubnya, AI dilibatkan untuk mengurasi relevansi. Outputnya bisa jadi sederhana, tapi menggema...karena menyentuh sisi batin pengguna.

Tidak cukup lagi sekadar siaran di frekuensi. Harus masuk ke setiap ruang konsumsi audio: mulai dari dashboard mobil, earphone saat jogging, hingga notifikasi push dari smart home assistant.

Perilaku Konsumen: On-Demand, Personal, dan Episodik

Konsumen radio masa depan adalah:

- Pendengar yang tak lagi mau duduk diam 1 jam hanya untuk mendengarkan satu talkshow penuh.
- Audience yang maunya bite-sized content, segmented, dan berbasis mood.
- Generasi yang lebih percaya rekomendasi AI daripada jadwal program tetap.

Radio masa depan bukan soal “jam berapa program ini tayang”, tapi soal “kapan audiens ingin mendengar segmen ini.”

Model Bisnis: Dari Spot Selling ke Ecosystem Monetization

- Data subscription
- Community-based membership
- Branded content storytelling
- Content-to-commerce funnel
- Partnership dengan brand lokal untuk hyperlocal activation
- B2B audience insight monetization

Pendapatan utama bukan dari spot iklan di frekuensi, tapi dari distribusi value kepada ekosistem bisnis lokal, melalui trust dan community engagement.

Sikap Mental Pemilik dan Pengelola: Dari Owner Mentality ke Ecosystem Stewardship

Ini mungkin bagian paling sulit.

Pemilik radio Indonesia selama ini seringkali berpikir seperti pemilik toko: jualan jam tayang, pasang rate card, dan berharap iklan masuk.

Padahal… radio masa depan butuh pemimpin yang berpikir seperti ecosystem builder.

- Berani berinvestasi di teknologi dan talenta kreatif.
- Menerima bahwa pendapatan awal tidak datang dari spot iklan.
- Memahami bahwa ROI datang dari membangun trust capital… bukan hanya cashflow jangka pendek.
- Berani meletakkan legacy bisnis di bawah payung community empowerment dan audience intimacy.

Capital : Lean but Smart Capital Allocation

- Tidak lagi membangun gedung mewah.
- Tidak lagi beli peralatan siaran mahal-mahal.
- Tapi berani investasi di infrastruktur digital, cloud storage, AI tool, dan talent development.

Kalau ada dana, lebih baik dipakai untuk riset audience behavior, membangun platform AI secara bertahap, atau infrastruktur data yang eskalatif. Bukan untuk ganti sofa ruang tamu tamu direktur, beli mobil yang mahal, atau bikin event yang jelas tidak menghasilkan cuan.

Dari Frekuensi Menuju Resonansi Sosial

Saya menulis ini bukan sebagai teoretisi. Bukan sebagai komentator pinggir lapangan.

Saya menulis ini sebagai orang yang sejak dua dekade lalu hidup di peralihan fase digital, deru breaking news, dashboard analytics, dan suara-suara manusia yang berusaha tetap relevan di udara.

Masa depan radio bukan soal mempertahankan masa lalu…
Bukan soal menyesali migrasi digital…
Tapi soal berani menjadi “ruang resonansi baru” di tengah dunia yang semakin sunyi meski ramai.

Dan jika saya boleh memilih satu positioning utama untuk radio Indonesia 20–30 tahun ke depan…

Maka saya akan memilih:

“The Last Trusted Voice in The City.”

Karena…
"di tengah semua noise… manusia tetap butuh satu suara… yang terasa nyata… hadir… dan berpihak pada rasa.”

*) Penulis adalah Editor in Chief | Suara Surabaya Media |

Membaca zaman. Menginterpretasi data. Membangun ruang resonansi… di antara algoritma dan hati manusia.

Baca juga: Radio masa depan: Dari ruang redaksi digital ke ekosistem resonansi publik (Bagian 1)
Baca juga: Antara algoritma dan getar suara manusia: Masa depan penyiar radio di Indonesia (Bagian 2)



COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.