Surabaya (ANTARA) - Ada malam-malam tertentu di komunal, ruang redaksi di lantai 3. Saat hanya ada detak keyboard, suhu ruang karena AC yang dimatikan, dan suara samar dari sangkar studio siaran Suara Surabaya.
Sementara di 2 lantai bawahnya, di antara hisapan rokok Gudang Garam, dan segelas kopi susu Kapal Api, kadang saya berhenti sejenak. Mendengarkan speaker tua di ujung lift lantai tempat jajanan di Suara Surabaya Center.
Bukan isi beritanya… tapi getar emosi di balik suara penyiar yang sedang on-air.
Saya bukan penyiar. Saya tumbuh di dunia pageview, traffic dashboard, bounce rate, click-through-rate, nilai berita, dan strategi redaksi.
Tapi… saya tahu betul…
Ada hal-hal yang tidak bisa dikonversi menjadi metrik.
Seperti nada gugup seorang penyiar yang panik saat playernya hang, atau tawa lepas yang tidak ada dalam brief siaran oleh para redaktur. Atau suara terbata penuh getar saat penyiar terseret gelombang emosi kebahagiaan tatkala pendengar silih berganti mengucapkan terima kasih atas dipecahkannya masalah mereka dalam kolaborasi yang cantik di udara dan ruang digital.
Teknologi Berkembang Lebih Cepat Dari Prediksi Kita
Hari ini, di ruang-ruang konferensi media global, pertanyaan besar mulai muncul:
“Apakah manusia masih dibutuhkan dalam dunia siaran, ketika AI sudah mampu bicara seperti manusia… bahkan lebih rapi, lebih konsisten, lebih bebas dari salah sebut?”
Jawabannya? Secara teknis: Bisa.
Menurut laporan Nieman Lab (2023) dan Pew Research Center, dalam 5 tahun terakhir, teknologi voice synthesis berbasis AI mengalami peningkatan naturalitas suara sebesar 78%.
Gartner bahkan memprediksi, bahwa pada 2030, lebih dari 30% media radio dan podcast global akan memanfaatkan AI voice untuk produksi konten harian.
iHeartMedia di Amerika sudah mulai meluncurkan AI DJ untuk segmen tertentu.
BBC dan NPR juga mulai bereksperimen dengan voice automation untuk pembacaan berita dan weather update.
Secara bisnis, masuk akal:
- Lebih hemat biaya operasional
- Konsistensi delivery
- Efisiensi dalam produksi multi-platform
Tapi… Di Sini, Di Kota Ini, Di Indonesia… Ada Dimensi Lain
Indonesia bukan sekadar pasar.
Ia adalah ekosistem rasa, kekerabatan sosial, dan lokalitas yang sangat pekat.
Penyiar bukan hanya pengisi waktu. Mereka adalah teman perjalanan, pemandu suasana hati, kadang pengganti kehangatan di tengah kesepian.
Ketika seruas jalan di kawasan Dukuh Kupang, Surabaya banjir... warga tidak hanya butuh info berapa kedalaman genangan. Saat jalan protokol Ahmad Yani macet total gara-gara demo truk ODOL… pengendara bukan hanya butuh rute alternatif. Semuanya seakan menyenandungkan orkestrasi kepanikan, kemarahan, dan keputus asaan. Tapi di tengah chaos seperti ini, penyiar Suara Surabaya memang secara instingtif memberikan rasa: “Tenang… kita sama-sama di sini… kita hadapi ini bareng.”
Dan itu…
Belum bisa dicapai oleh AI… setidaknya… bukan dalam dekade ini.
Hybridisasi adalah Masa Depan yang Paling Masuk Akal
Realitasnya, kita tidak bisa dan tidak perlu menolak AI.
Justru… kunci masa depan radio adalah kolaborasi manusia dan mesin. Di depan mata saya, saya bisa membayangkan model operasional newsroom-radio dalam 20–30 tahun ke depan:
1. AI sebagai “Operational Backbone”:
AI menangani auto-newsfeed, voice bot untuk info rutin, dan pengelolaan off-peak segment.
2. Manusia sebagai “Emotional Anchor”:
Prime time, breaking news, live call-in session, dan momen-momen krisis tetap dikendalikan oleh suara manusia yang otentik.
3. Predictive Analytics for Audience Mood:
Menggunakan AI untuk membaca sentimen sosial dari media sosial, traffic, dan input audience, lalu memberi insight kepada penyiar tentang topik dan tone yang paling dibutuhkan hari itu.
4. Monetization Shift:
Pendapatan bukan lagi dari spot iklan tradisional. Tapi dari:
- Data-driven ad placement
- Community-based subscription
- Hyperlocal campaign partnership
- Real-time commercial interaction during live broadcast
Emosi yang Tak Tergantikan: Data Bisa Mengukur… Tapi Tidak Bisa Menggetarkan
Sebagai jurnalis dan pemimpin redaksi, saya belajar membaca data. Tapi sebagai manusia, saya belajar membaca getar rasa.
AI bisa tahu kapan pendengar butuh lagu sedih. Tapi hanya manusia yang bisa memutuskan.
“Apakah malam ini… saya cukup kuat untuk membaca pesan ini… atau akan ikut menangis bersama pendengar di udara?”
Dan selama pertanyaan itu masih relevan…
Suara manusia akan tetap menjadi center of gravity dalam industri ini.
Narasi Pilihan Kita Bukan Antara Manusia atau AI, Tapi Bagaimana Keduanya Membentuk Resonansi Baru
Di hadapan saya, ada dua layar di HP yang terus berjalan setiap hari: satu… adalah Google Analytics dengan ribuan data real-time dan metrik internal produksi redaksi. Satu lagi… adalah aplikasi SS Mobile, dengan suara manusia yang masih bertahan, menyapa kota ini, di antara kabar baik dan kabar buruk yang silih berganti.
Dan mungkin…
Itulah definisi paling jujur tentang masa depan radio:
Bukan tentang siapa yang paling pintar bicara… tapi siapa yang paling tulus mendengarkan.
*) Penulis adalah Editor in Chief | Suara Surabaya Media |
Menghubungkan algoritma dengan emosi. Membangun resonansi… bukan hanya frekuensi.
Note :
Catatan ini dibuat di sebuah smoking room cafe kawasan Surabaya Barat, sambil menyimak perbincangan random penikmat kopi berbagai generasi
Baca juga: Radio masa depan: Dari ruang redaksi digital ke ekosistem resonansi publik (Bagian 1)
Baca juga: Radio 2045 positioning : The last trusted voice in the city (Bagian 3)