Oleh Teguh Priyanto
Jakarta (ANTARA) - Ali Alatas mengakhiri tugas sebagai menteri luar negeri pada Oktober 1999 dengan catatan buram; Timor Timur lepas dari pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, kekalahan Indonesia di Timor Timur tak pernah sedikit pun menutupi kegemilangan karir diplomatik sang "Singa Tua" selama empat kabinet.
Ali Alatas pernah menyebut, "Timor Timur adalah kerikil dalam sepatu", dan Ali lah yang membuang "kerikil" itu dari "sepatu" Indonesia. Diakui atau tidak, setelah "kerikil" Timor Timur lepas, langkah Indonesia dalam jagad diplomasi dunia menjadi lebih ringan.
Banyak tokoh menilai nama Ali Alatas layak menjadi legenda dipomatik Indonesia, seperti halnya Muchtar Kusuma Atmaja, Ruslam Abdul Gani, Adam Malik, Sutan Sjahrir, Haji Agus Salim, Muhammad Roem dan Muhammad Hatta.
Diplomat-diplomat muda juga sangat menaruh hormat padanya.
Setelah melepas jabatan Menteri Luar Negeri pun, Alex, demikian sapaan karibnya, tetap dipercaya untuk membantu perjuangan diplomasi Indonesia. Pada zaman pemerintahan Abdurrahman Wahid, Ali Alatas didaulat menjadi penasihat utama Menteri Luar Negeri Alwi Shihab.
Pada pemerintahan Megawati Soekarnoputri, ia menjadi Penasihat Presiden untuk Urusan Luar Negeri dan kerap kali menjadi utusan khusus untuk berdiplomasi mewakili pemerintah, seperti membujuk Myanmar membebaskan pejuang prodemokrasi Aun San Suu Kyi dan ke Swedia untuk mengadakan pembicaraan dengan para pejabat setempat mengenai keberadaan tokoh-tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun mendaulat Alex sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Presiden hingga penghujung hayatnya. Ali Alatas, tutup usia pada Kamis pukul 07.30 di Rumah Sakit Mount Elizabeth Singapura dalam usia 76 tahun.
Kecemerlangan diplomasi Ali Alatas tidak saja diakui para diplomat Tanah Air, tapi juga di kawasan Asia Tenggara bahkan Dunia. Perdana Menteri Malaysia Abdullah Badawi menyatakan upaya Ali Alatas untuk membina persaudaraan antar bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) tidak bisa dibilang kecil.
"Ali Alatas lah selalu mendorong upaya-upaya negara ASEAN, khususnya, pimpinan Indonesia dan Malaysia untuk terus membina persaudaraan, ikatan baik kedua negara, untuk menambah keakraban, mendalami dan meluaskan kerjasama kedua negara sehingga melahirkan kekuatan baik secara bilateral maupun regional," katanya.
Rakyat Palestina juga tak akan pernah mengecilkan perjuangan Ali Alatas. Ali adalah salah satu diplomat Indonesia yang sangat gigih memperjuangkan perdamaian di Timur Tengah, khususnya Palestina, di fora internasional.
"Oleh karena itu, rakyat Indonesia dan Palestina pasti merasa kehilangan atas meninggalnya diplomat kawakan Indonesia itu," kata Kuasa Usaha Ad Interim (KUAI) Kedutaan Besar Palestina di Jakarta, Tahir Hamad, kepada ANTARA, Kamis.
Ali Alatas memiliki peran penting dalam perjuangan Palestina Merdeka, dengan tetap tidak membuka hubungan diplomatik dengan negara Zionis Israel.
Dalam kancah diplomasi Internasional Alex pernah dinominasikan menjadi Sekjen PBB oleh sejumlah negara Asia pada 1996. "Ini merupakan bukti kehandalannya mewakili Indonesia di pelbagai meja perundingan dan jalur diplomatik."
Naluri diplomasi Alatas memang terasah dalam rentang masa yang panjang. Ia meniti karier sebagai diplomat sejak berusia 22 tahun, selepas rampung menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 1956.
Ia mengawali tugas diplomatnya sebagai Sekretaris Kedua di Kedutaan Besar RI Bangkok (1956-1960), sesaat setelah ia menikah.
Sebelumnya, ia sempat berkecimpung dalam dunia jurnalistik sebagai korektor Harian Niewsgierf (1952-1952) dan redaktur Kantor Berita Aneta (1953-1954).
Ia juga dipercaya mejalankan misi diplomat sebagai Wakil Tetap RI di PBB, Jenewa pada 1976-1978 dan New York pada 1983-1987. Selepas itu, ia pun dipercaya menjabat Menteri Luar Negeri (1987-1999) dalam empat kabinet masa pemeritahan Soeharto dan Habibie.
Saat menjabat Wakil Tetap Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ia harus menghadapi berbagai kritikan mengenai masalah Timor Timur.
Ia terbukti mampu meredam kemarahan dunia saat pecah insiden Santa Cruz yang menewaskan puluhan orang pada 12 November 1991.
"Diplomasi itu seperti bermain kartu. Jangan tunjukkan semua kartu kepada orang lain. Dan jatuhkan kartu itu satu per satu," katanya.
Saat mendapati Timor Timur lepas dari pangkuan NKRI, mata Alex berkaca-kaca tanda kesedihannya. Tapi banyak diplomat berpendapat, kekalahan itu bukan kesalahannya.
(*)