JANGAN UBAH SISTEM PENDIDIKAN JADI PROSES INSTAN
Artini
Jakarta (ANTARA) - Sampai pada peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei tahun ini, dunia pendidikan kita agaknya masih menyimpan galau yang memilukan hati.
Setelah kelulusan Ujian Nasional sekolah menengah tingkat atas diumumkan Senin lalu (26/4), potret pendidikan negeri ini makin membuat hati terenyuh, terlebih bagi anak yang mangalami pahitnya tidak lulus Ujian Nasional.
Di 267 sekolah, bahkan seluruh siswanya tidak lulus Ujian Nasional.
Masya Allah, apa yang terjadi dengan negeri ini? Ini belum pernah terjadi dalam sejarah Indonesia!
Yang ironis dan amat mencemaskan adalah pelajar yang sudah terdaftar lulus di PTN, ternyata tidak lulus UN. Orangtua jelas cemas sekaligus masygul melihat kenyataan ini.
Mereka menangis, bahkan ada yang memarahi anaknya. Sia-sialah segala usaha yang dilakukan mereka dalam menyiapkan anaknya menghadapi ujian akhir. Meski akan ada Ujian Nasional ulang awal Mei mendatang, anak-anak dan orangtua kadung kecewa.
Berbagai langkah perbaikan didengungkan sejumlah pihak berwenang, khususnya Kementerian Pendidikan Nasional sebagai bentuk pertanggungjawabannya terhadap kondisi yang terjadi.
Namun, ibarat kaki sudah tersandung batu, meski sudah dibalur berbagai macam krim pelembut, rasa ngilu tetap tidak hilang. Itu yang dirasakan orangtua dan anak-anak tidak lulus UN.
Lantas, siapa sebenarnya yang paling bertanggungjawab dalam ketidakkelulusan ini?
Karena ini adalah buah dari sistem, maka tentu saja semua struktur, termasuk orangtua dan guru, ikut berperan.
UN bukan takdir, bukan pula cobaan bagi anak dan orangtua, karena untuk menghadapinya, segala persiapan sudah dilakukan, termasuk mengikuti bimbingan belajar, bahkan dengan bimbingan berasrama segala.
Semuanya dengan satu target, lulus UN dan lolos PTN. Artinya, anak-anak yang sudah mati-matian belajar pun, bisa saja tidak lulus UN. Yang tidak lulus ini pun, bisa jadi anak-anak pintar di sekolah dan sangat bersungguh-sungguh menyiapkan diri.
Sekolah-sekolah pun tidak tanggung-tanggung menyiapkan anak didiknya menghadapi UN, seperti mengundang lembaga bimbingan belajar masuk sekolah, memanggil alumni yang pintar-pintar, ditambah pendalaman materi setiap hari, dengan mengerjakan soal-soal UN tahun-tahun sebelumnya.
Terus, apa yang kurang? Apa soal-soal UN terlalu berat? Guru kurang berkualitas? Sekolah dan fasilitas kurang mendukung? Kalau memang terlalu berat, siapa sebenarnya yang membuat soal ujian?
Ujian Nasional seharusnya bukan momok yang menakutkan, karena apa yang diuji adalah materi yang sudah disampaikan dalam keseharian siswa di sekolah.
Soal-soalnya pun diambil dari bank soal yang merupakan kumpulan soal yang dibuat guru-guru juga. Rumus kelulusan pun sudah diatur dan dibuat Pemerintah dengan kriteria yang diniatkan tidak memberatkan anak. Artinya, sekolah sudah menawarkan peluang lulus kepada siswanya.
Harus peka
Dari sisi guru, menurut seorang guru di SMU di Jakarta Timur, semua tugas belajar mengajar di kelas juga sangat dijaga sesuai dengan tujuan instruksional, dengan terus memantau apakah target pembelajaran sudah mencapai sasaran.
Orangtua pun sudah maksimal, termasuk memenuhi apa pun permintaan anak dan sekolah, meski harus dengan menguras air mata dan menghisap dana. Orangtua sangat berharap, sekolahlah yang harus serius menyiapkan anak-anak bertarung menghadapi UN.
Namun, yang terjadi kemudian adalah pengumuman UN tahun ini sangat mengejutkan semua pihak, karena jumlah anak yang tidak lulus malah kian besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Ada mata rantai yang hilang dalam menyiapkan anak ke pintu gerbang UN. Semua yang tampak beres, seperti pendalaman materi pelajaran atau kesiapan mental anak atau lainnya, ternyata belum memadai.
Rantai yang hilang itu adalah kepekaan atau rethorical sensitivity yakni kepekaan pada berbagai situasi termasuk pada anak didik sendiri, pada kondisi yang ada, lingkungan sekolah dan masyarakat, serta kepekaan kepada peraturan dan kebijakan Pemerintah.
Artinya, ambisi orangtua dan guru juga hendaknya selaras dengan ambisi anak didik.
Kedua pihak, sama-sama ingin lulus UN dan PTN. Di sini, anak ada dalam kondisi sensitif. Sedikit saja terluka karena tertekan, kena marah, sakit perut atau terlibat masalah dengan teman dan lainnya, maka emosi anak terpengaruh.
Kepekaan yang perlu dikembangkan dalam kondisi ini adalah dukungan bersama agar anak-anak merasa aman dan nyaman, sehingga apa pun yang terjadi --- misal tidak lulus — dia sudah siap menghadapinya.
Guru-guru yang memberi pendalaman materi juga perlu peka pada keterbatasan murid. Meski guru berambisi memberi materi sebanyak-banyaknya. Ibarat diberi makan dua mangkok, anak ternyata hanya mampu satu mangkok, sehingga satu mangkok lagi mesti diberikan bertahap. Inilah namanya kepekaan terhadap kondisi anak.
Begitu juga dengan orangtua yang biasanya egois memaksakan ambisinya kepada anak, maka sekarang mulailah mengerti dan peka terhadap kebutuhan anak. Kalau dia ingin menjadi pemain biola, maka hadiahilah anak Anda biola, yang pada waktunya nanti akan membawanya menjadi pemain biola dunia. Yang penting, luluslah dulu, agar anak aman dan tenang menghadapi UN.
Sebaliknya anak perlu dilatih mengasah kepekaannya, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Pelajar yang peka terhadap dirinya, sesuai konsep rethorical sensitivity (Rod Hart & Don Burks, 1972), akan menyadari keterbatasan dan kelebihannya serta mampu mengungkapkan isi hatinya dalam konteks apa pun.
Dari sisi pembuat kebijakan, pemerintah juga perlu peka memperhatikan kondisi dan situasi pendidikan yang ada, tanpa harus memaksakan suatu kehendak.
Niat meningkatkan mutu pendidikan pada dasarnya adalah keharusan, namun harus memperhatikan anak-anak yang belajar di sekolah-sekolah terpencil, dengan tenaga pengajar yang pas-pasan, orangtua yang terbatas kemampuan finansialnya. Intinya, niat itu harus dikaji ulang.
Jangan instan
Belajar dari pengalaman 267 sekolah menengah sekolah yang 100 persen siswanya tidak lulus, UN tidak boleh lagi menjadi kegiatan instan.
Jika Pemerintah menghendaki syarat kelulusan dengan nilai tertentu, ditambah kriteria moral, kejujuran dan sebagainya, maka tolok ukur keberhasilan belajar tak bisa dipakai ditakar dalam tiga atau empat hari Ujian Nasional.
Apa gunanya nilai ulangan harian, ulangan umum, ujian tengah semester, ujian kelas? Belum lagi try out ujian, pendalaman materi yang harus dijalani anak dengan stres?
Untuk apa pula hasil pengamatan, bimbingan, komunikasi interaktif guru dan murid di sekolah, yang seluruhnya adalah bagian pendidikan anak?
Bagaimana pula nasib laporan guru Bimbingan dan Konseling di sekolah mengenai prestasi ektrakurikuler, komunikasi yang baik, kesantunan anak?
Banyak sekali variabel yang sebenarnya harus diperhitungkan untuk kelulusan seorang siswa.
Itu sebabnya masyarakat syok ketika mendengar ratusan sekolah tidak berhasil meluluskan seorang pun siswanya.
Dalam kerangka itulah, kepekaan mesti dibangun sejak dini pada lini apa pun, khususnya pemerintah. Pengambil kebijakan harus mendengar keluhan masyarakat, apalagi kalau mereka menilai pemerintah tidak adil.
Dalam perkara UN ini, masyarakat merasa pemerintah tidak adil karena memberlakukan UN sama rata dan sama rasa, padahal ada kesenjangan mutu, fasilitas dan kompetensi guru dalam sistem pendidikan kita.
Di masa mendatang, kita harus memperhitungkan Ujian Nasional sebagai akumulasi nilai yang diperoleh melalui rangkaian proses, bukan proses instan dua, tiga hari.
(DR. Artini, dosen STIKOM LSPR –Jakarta)