100 TAHUN SUTAN SJAHRIR: SEJARAH YANG TERLUPAKAN

id

Oleh Arief Mujayatno

Jakarta (ANTARA) - Popularitas Sutan Sjahrir, satu dari tokoh "Tiga Serangkai" pergerakan nasional, memang kalah dibanding dua tokoh lainnya; Soekarno dan Mohammad Hatta, yang dikenal sebagai Dwi Tunggal Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia.

Padahal, sumbangsih Sutan Sjahrir dalam pergerakan dan perjuangan kemerdekaan RI sangat besar. Pahlawan nasional yang lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat, 5 Maret 1909, itu merupakan seorang politikus dan perdana menteri pertama Indonesia.

Sutan Sjahrir menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia sejak 14 November 1945 hingga 20 Juni 1947. Sjahrir juga merupakan pendiri Partai Sosialis Indonesia pada 1948.

Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir, tokoh "Tiga Serangkai" itu pada masa pergerakan hingga awal kemerdekaan begitu dikenal dan dekat dengan hati rakyat.

Namun, perjalanan sejarah bangsa selanjutnya seolah "menutupi" dan hampir melupakan perjuangan yang pernah dilakukan Sutan Sjahrir.

Karena itulah, sejumlah tokoh, akademisi, sejarawan, dan keluarga Sjahrir, berinisiatif menggagas peringatan "100 Tahun Sutan Sjahrir" di tahun politik 2009 ini.

Puteri Sutan Sjahrir, Siti Rabyah Parvati Sjahrir, yang akrab disapa Upik, mengatakan, tanggal 5 Maret 2009 merupakan 100 tahun kelahiran ayahnya.

Namun, kebanyakan orang Indonesia sekarang, khususnya generasi muda, para tokoh sipil dan militer serta guru sejarah, tidak banyak mengetahui tentang pahlawan nasional Sutan Sjahrir.

Padahal, lanjut Upik, nilai-nilai, sikap hidup dan moralitas Sjahrir menawarkan sebuah keteladanan tentang kepemimpinan nasional bagi bangsa Indonesia, terutama pada 2009 yang akan mengelar pemilihan umum.

Selain Upik, sejumlah tokoh yang ikut menggagas peringatan tersebut antara lain kakak lelakinya, Kriya Arsyah Sjahrir, kerabat dekat Sjahrir, Nugroho Wisnumurti, Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, pengamat politik Daniel Dhakidae, sejarawan Des Alwi, sosiolog Imam Prasojo, aktivis 66 Rahman Tolleng, serta tokoh pers Aristides Katoppo dan Sabam Siagian.

Peringatan "100 Tahun Sutan Sjahrir" sepanjang tahun 2009 akan diisi dengan sejumlah rangkaian acara yang dimulai dengan pameran foto di Gedung Joang Jakarta Pusat, mulai 28 Februari hingga 28 Maret.

Selanjutnya, pada 2 Maret di Jakarta juga telah dilakukan diskusi bertema "Relevansi Pemikiran Sjahrir".

Rencananya, pada 5 Maret mulai pukul 08.00 WIB, proses peringatan "100 tahun Sutan Sjahrir" akan dimulai dengan acara ziarah dan tabur bunga di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Pada malam harinya, peringatan 100 Tahun Sjahrir akan dilaksanakan di Balai Agung DKI Jakarta. Dalam acara itu juga akan diluncurkan "website" khusus tentang Sutan Sjahrir serta pemutaran film dokumenter tentang Sjahrir karya sejarawan Des Alwi.

Pada hari yang sama, di Bukittinggi, Sumatera Barat, juga akan digelar peringatan serupa oleh Perhimpunan Seniman Indonesia Sumbar, Masyarakat Sosialis Indonesia Sumbar, serta Gerakan Ekonomi dan Budaya Minang (Gebu Minang).

Sedangkan di Solo, pada 7 Maret akan berlangsung seminar 100 Tahun Sjahrir dengan tema "Renungan Intelektual Sjahrir".

Selain itu, pada 10 Maret di Jakarta akan digelar "Annual Lecture" bertema "Mengenang 100 Tahun Sutan Sjahrir: Pemikiran Sutan Sjahrir sebagai Inspirasi untuk Menghadapi Tantangan Global".

Pada bulan Juni juga akan digelar diskusi di FISIP UI Depok Jabar dan pada akhir tahun akan ada pementasan teater tentang Sutan Sjahrir yang akan dimainkan Teater Garasi.

Menurut Upik, rangkaian peringatan 100 Tahun Sutan Sjahrir dilakukan bukan untuk menjadikan Sjahrir sebagai subyek kultus individu dan bukan pula untuk sekadar bernostalgia, melainkan untuk memperkaya rujukan bangsa tentang salah seorang pejuang dan tokoh pemimpin bangsa.

"Kita ingin memperkenalkan kembali peran penting Sutan Sjahrir secara lebih utuh sebagai tokoh yang ikut menghantarkan terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia," kata Upik.

Ia menuturkan, selain sebagai tokoh nasional yang gigih memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia, ayahnya juga selalu memberikan keteladanan, baik bagi keluarga maupun masyarakat.

"Meski dalam keadaan sedih, beliau selalu membawa keceriaan. Beliau mengajarkan kepada kami agar selalu berbesar hati, itulah yang dicontohkan ayah," ujarnya.

Sedangkan kakak Upik, Kriya Arsjah, mengungkapkan tentang semangat dan komitmen terhadap negara dan bangsa yang selalu ditunjukkannya sang ayah.

Bahkan, kata Buyung, panggilan akrab Kriya Arsjah, ibunya, Siti Wahyunah, seakan menjadi "isteri kedua" Sutan Sjahrir setelah negara dan bangsa.

"Isteri nomor satunya adalah negara dan rakyat Indonesia. Ibu saya adalah isteri keduanya. Ini menunjukkan betapa cintanya beliau kepada bangsa dan negara," katanya.

Untuk mengenang sepak terjang perjuangan Sutan Sjahrir agar bisa diketahui khalayak luas di seluruh Tanah Air, sejarawan sekaligus pelaku sejarah Des Alwi membuat film dokumenter tentang Sutan Sjahrir.

Menurut Des Alwi, film dokumenter itu berisi riwayat hidup dan perjuangan Sutan Sjahrir, mulai dari lahir hingga wafatnya.

Ia menuturkan, dirinya mengenal Sutan Sjahrir ketika Sjahrir bersama Bung Hatta diasingkan oleh Belanda ke Banda Neira, Maluku, yang juga tempat kelahiran Des Alwi.

Film dokumenter itu, lanjutnya, akan bercerita mulai dari lahirnya Sutan Sjahrir, lalu ikut ayahnya yang bertugas sebagai jaksa di Bandung.

Des menuturkan, sejak kecil Sutan Sjahrir tidak suka pemberontakan, namun ketika diajak mendengarkan pidato dr Cipto Mangunkusumo di Bandung, barulah ia menjadi seorang nasionalis.

Selanjutnya, katanya, Sutan Sjahrir dikirim ayahnya untuk bersekolah di Belanda dan sekembalinya ke Tanah Air bergabung dengan Bung Karno dan Bung Hatta memperjuangkan kemerdekaan RI.

Film dokumenter itu, katanya, juga berisi perjuangan Sjahrir hingga masuk penjara, lalu dibuang ke Digul, Irian Jaya, selama setahun bersama Bung Hatta, sebelum diasingkan lagi ke Banda Neira, Maluku.

"Nanti akan kita putar pada 5 Maret. Kalau sudah menonton film ini, pasti akan lebih mengetahui sejarah nasional, khususnya tentang Sutan Sjahrir," kata Des Alwi.


Perjuangan Sjahrir

Sutan Sjahrir lahir di Padang Panjang, Sumbar, 5 Maret 1909. Ia dikaruniai dua orang anak, yakni Kriya Arsyah dan Siti Rabyah Parvati, dari pernikahannya dengan Siti Wahyunah, pada 1951.

Sutan Sjahrir pernah menjabat Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) merangkap Ketua Badan Pekerja KNIP pada 16 Oktober-28 November 1945.

Sjahrir merupakan Perdana Menteri pertama RI yang dijabatnya hingga tiga kali saat memimpin kabinet parlementer pada 15 November 1945 sampai 27 Juni 1947.

Pada 30 Juni 1947 hingga akhir Januari 1950, Sutan Sjahrir menjabat sebagai penasihat presiden. Ia juga pernah menjadi Duta Besar Keliling RI pada 1947.

Sjahrir mengenyam sekolah dasar (ELS) dan sekolah menengah (MULO) terbaik di Medan. Pada 1926, ia selesai dari MULO dan masuk sekolah lanjutan atas (AMS) di Bandung, sekolah termahal di Hindia Belanda saat itu.

Di kalangan siswa sekolah menengah (AMS) Bandung, Sjahrir dikenal sebagai siswa yang sering menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas sosial, yang kemudian menjurus menjadi politis.

Seperti dikutip dari laman wikipedia, pada 20 Februari 1927, Sjahrir termasuk dalam sepuluh orang penggagas pendirian himpunan pemuda nasionalis, Jong Indonesie.

Perhimpunan itu kemudian berubah nama jadi Pemuda Indonesia yang menjadi motor penyelenggaraan Kongres Pemuda Indonesia yang mencetuskan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.

Syahrir kemudian melanjutkan pendidikan ke negeri Belanda di Fakultas Hukum, Universitas Amsterdam, Leiden. Di sana, Syahrir mendalami sosialisme secara sungguh-sungguh dan berkutat dengan teori-teori sosialisme.

Selain menceburkan diri dalam sosialisme, Syahrir juga aktif dalam Perhimpunan Indonesia (PI) yang ketika itu dipimpin oleh Mohammad Hatta.

Di awal 1930, pemerintah Hindia Belanda kian bengis terhadap organisasi pergerakan nasional, dengan aksi razia dan memenjarakan pemimpin pergerakan di tanah air, yang berbuntut pembubaran Partai Nasional Indonesia (PNI) oleh aktivis PNI sendiri.

Sjahrir juga terjun dalam pergerakan buruh dan pada Mei 1933, didaulat menjadi Ketua Kongres Kaum Buruh Indonesia. Bersama Bung Hatta, pada Agustus 1932, Sjahrir memimpin PNI Baru sebagai sebagai organisasi pencetak kader-kader pergerakan.

Berdasarkan analisis pemerintahan kolonial Belanda, gerakan politik Hatta dan Sjahrir dalam PNI Baru justru lebih radikal ketimbang Soekarno dengan PNI-nya yang mengandalkan mobilisasi massa.

Karena takut akan potensi revolusioner PNI Baru, pada Februari 1934, pemerintah kolonial Belanda menangkap, memenjarakan, dan mengasingkan Sjahrir, Hatta, dan beberapa pemimpin PNI Baru ke Boven Digul.

Hampir setahun dalam kawasan malaria di Papua itu, Hatta dan Sjahrir kemudian dipindahkan ke Banda Neira untuk menjalani masa pembuangan selama enam tahun.

Pada masa pendudukan Jepang, sementara Soekarno-Hatta menjalin "kerja sama" dengan Jepang, Sjahrir membangun jaringan gerakan bawah tanah anti-fasis karena yakin Jepang tak mungkin memenangkan perang, sehingga kaum pergerakan mesti menyiapkan diri untuk merebut kemerdekaan di saat yang tepat.

Perjuangan mereka membuahkan hasil dengan diproklamasikannya Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta.

Pada November 1945, Syahrir didukung kalangan pemuda dan ditunjuk Soekarno menjadi formatur kabinet parlementer. Pada usia 36 tahun, mulailah lakon Sjahrir dalam panggung memperjuangkan kedaulatan Republik Indonesia, sebagai Perdana Menteri termuda di dunia, merangkap Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri.

Kabinet Sjahrir I, Kabinet Sjahrir II sampai dengan Kabinet Sjahrir III (1945 hingga 1947) konsisten memperjuangkan kedaulatan RI lewat jalur diplomasi.

Diplomasinya kemudian berbuah kemenangan sementara. Inggris sebagai komando tentara sekutu untuk wilayah Asia Tenggara mendesak Belanda untuk duduk berunding dengan pemerintah republik.

Secara politik, hal ini berarti secara de facto sekutu mengakui eksistensi pemerintah RI. Jalan berliku diplomasi diperkeruh dengan gempuran aksi militer Belanda pada 21 Juli 1947.

Aksi Belanda tersebut justru mengantarkan Indonesia ke forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Setelah tidak lagi menjabat Perdana Menteri (Kabinet Sjahrir III), Sjahrir diutus menjadi perwakilan Indonesia di PBB.

Berhadapan dengan para wakil bangsa-bangsa sedunia, Syahrir mengurai Indonesia sebagai sebuah bangsa yang berabad-abad berperadaban aksara lantas dieksploitasi oleh kaum kolonial.

Kemudian, secara piawai Syahrir mematahkan satu per satu argumen yang sudah disampaikan wakil Belanda, Van Kleffens. Dengan itu, Indonesia berhasil merebut kedudukan sebagai sebuah bangsa yang memperjuangan kedaulatannya di gelanggang internasional.

PBB pun turut campur, sehingga Belanda gagal mempertahankan upayanya untuk menjadikan pertikaian Indonesia-Belanda sebagai persoalan yang semata-mata urusan dalam negerinya.

Van Kleffens dianggap gagal membawa kepentingan Belanda dalam sidang Dewan Keamanan PBB, suatu kekalahan seorang diplomat ulung yang berpengalaman di gelanggang internasional dengan seorang diplomat muda dari negeri yang baru saja lahir. Sjahrir pun dijuluki "The Smiling Diplomat".

Sejak akhir Januari 1950, Sutan Sjahrir tidak lagi memegang suatu jabatan negara.

Pada tahun 1955, Partai Sosialis Indonesia yang dipimpin Sjahrir gagal mengumpulkan suara dalam pemilihan umum pertama di Indonesia.

Setelah kasus PRRI dan PSI tahun 1958, hubungan Sutan Sjahrir dengan Presiden Soekarno semakin memburuk sampai akhirnya PSI dibubarkan tahun 1960.

Bahkan, tahun 1962, Syahrir ditangkap dan dipenjarakan tanpa diadili, hingga pada 1965 Sjahrir menderita penyakit "stroke". Setelah itu, Sjahrir diijinkan untuk berobat ke Zurich, Swiss, hingga meninggal dunia di sana pada tanggal 9 April 1966 pada usia 57 tahun.

Sutan Sjahrir wafat dalam pengasingan sebagai tawanan politik dan kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.(*)