Perkara korupsi proyek dermaga di Gili Air masuk meja hijau

id kasus korupsi,dermaga gili air,proyek fisik,pendaftaran perkara,pengadilan mataram,kejari mataram

Perkara korupsi proyek dermaga di Gili Air masuk meja hijau

Perwakilan tim jaksa penuntut umum ketika mendaftarkan perkara milik lima terdakwa korupsi proyek pembangunan dermaga di kawasan Gili Air tahun anggaran 2017, di Pengadilan Negeri Mataram, NTB, Kamis (3/2/2022). (ANTARA/Dhimas B.P.)

Mataram (ANTARA) - Perkara korupsi proyek pembangunan dermaga tahun anggaran 2017 di kawasan wisata Gili Air, Kabupaten Lombok Utara, kini telah resmi masuk ke meja persidangan Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Juru Bicara Pengadilan Negeri Tipikor Mataram Fadhli Hanra di Mataram, Kamis, mengonfirmasi kebenaran perihal pendaftaran perkara korupsi tersebut dari pihak kejaksaan.

"Iya, hari ini kita terima pendaftaran perkara korupsi Dermaga Gili Air dari pihak kejaksaan dan itu sudah teregister di Pengadilan Mataram," kata Fadhli.

Dia menyampaikan hal itu sesuai dengan data yang teregister di Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Mataram.

Dalam penelusuran data, terdapat lima terdakwa untuk perkara kasus korupsi proyek di salah satu kawasan wisata andalan NTB ini teregister pada Pengadilan Negeri Tipikor Mataram dengan nomor perkara berurutan.

Perihal susunan majelis hakim yang akan menyidangkan lima terdakwa tersebut, Fadhli mengatakan bahwa tahapan tersebut belum ada penetapan. Begitu juga dengan agenda sidang perdana para terdakwa.

"Karena baru hari ini kita terima pendaftaran, jadi belum ada penetapan (susunan majelis hakim dan agenda perdana)," ujarnya.

Senada dengan yang disampaikan dari pihak pengadilan, Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Mataram Heru Sandika Triyana membenarkan bahwa tim jaksa penuntut umum telah mendaftarkan perkara korupsi proyek Dermaga Gili Air ke Pengadilan Negeri Mataram.

"Iya, siang tadi tim mendaftarkan perkaranya ke pengadilan," kata Heru.

Dari lima nomor register perkara, pihak kejaksaan mengutus tim jaksa penuntut umum yang beranggotakan 13 orang jaksa pidana khusus.

Mereka adalah Ema Muliawati, Budi Tridadi Wibawa, I Made Sutapa, Hasan Basri, Fajar Alamsyah Malo, Elisa Nindiantika, Sri Haryati, Iman Firmansyah, I. A. K. Yustika Dewi, Bayu Novrian Dinata, I Wayan Suryawan, Mila Meilinda, dan I Ketut Yogi Sukmana.

Adapun lima terdakwa dalam perkara ini berinisial AA, yang berperan sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek; SU, pemilik perusahaan pelaksana proyek; ES, pelaksana proyek, dan dua terdakwa dari konsultan pengawas berinisial LH dan SW.

Dalam perkara yang berasal dari Polda NTB ini, empat dari lima terdakwa menjalani penahanan kejaksaan. Pihak jaksa menitipkan empat terdakwa di Ruang Tahanan Gedung Direktorat Tahanan dan Barang Bukti (Dittahti) Polda NTB.

Sedangkan untuk satu terdakwa lagi, berinisial ES, dititipkan sebagai tahanan kejaksaan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Mataram, di Kuripan, Kabupaten Lombok Barat.

Terdakwa ES menjalani penahanan di lapas karena statusnya kini sedang menjalani masa pidana untuk kasus korupsi berbeda di wilayah Jawa Timur.

Pengerjaan proyek fisik ini berasal dari alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun 2017. Dalam proses lelang, pemerintah melepas proyek tersebut dengan pagu anggaran Rp 6,7 miliar.

Pemenangnya adalah perusahaan milik terdakwa SU. Namun untuk pengerjaan proyek, dikendalikan terdakwa ES dengan nilai kontrak Rp6,28 miliar.

Namun dalam progres pekerjaannya, muncul hambatan di tengah jalan karena alasan cuaca dan transportasi material menuju lokasi. Hal tersebut membuat pekerjaan molor hingga dilakukan adenddum.

Sampai pada akhirnya proyek tersebut dinyatakan selesai pada 29 Desember 2017. Namun kembali muncul masalah. Spesifikasi dan volume pekerjaan tidak sesuai dengan perencanaan dalam kontrak.

Meskipun demikian, pemerintah telah meresmikan pembangunannya di awal tahun 2018. Pekerjaan yang telah dibayar penuh itu selanjutnya menjadi salah satu item temuan audit yang dinyatakan sebagai kelebihan pembayaran.

Karena itu, dalam kasus ini auditor dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan NTB menemukan potensi kerugian negara yang perkiraan nilainya mencapai Rp782 juta.