Jakarta (ANTARA) - Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti meminta pemerintah agar membuat data valid terkait jumlah masyarakat miskin yang akan menerima bantuan guna mencegah praktik korupsi penyaluran bantuan sosial.
"Saya bilang pemerintah belum siap. Hal itu dapat dilihat dari segi data dan metode dalam memberikan bantuan sosial," kata Bivitri Susanti pada webinar bertajuk "Polemik Pengelolaan Dana Filantropi" yang dipantau di kanal YouTube di Jakarta, Sabtu.
Salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) itu mengatakan ketidaksiapan tersebut dapat dilihat dari kasus korupsi yang terjadi di Kementerian Sosial dengan pelaku Menteri Sosial Juliari Peter Batubara.
Baca juga: Akademisi katakan lima poin DOB Papua sejahterakan masyarakat
Baca juga: Akademisi ingatkan masyarakat pegang tetap nilai Pancasila di dunia maya
Belakangan, sambung dia, cukup banyak kritik terkait data yang kurang valid mengenai jumlah masyarakat miskin yang wajib dibantu. Ia mengatakan sarden tidak layak konsumsi yang merupakan bantuan sosial COVID-19 dan disalurkan Kementerian Sosial adalah contoh dari ketidaksiapan tersebut. Pada akhirnya, kata dia, uang negara yang digelontorkan dalam jumlah besar sia-sia. Bahkan, dikorupsi beberapa orang termasuk Menteri Sosial pada saat itu..
Selain menyoroti data yang kurang valid serta metode yang masih dinilai kurang tepat, Bivitri menilai birokrasi di Tanah Air kurang cepat menanggapi masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, bencana alam, dan lain sebagainya.
Bahkan, papar dia, berbagai lembaga kemanusiaan atau filantropi lebih sigap menanggapi masalah sosial yang terjadi di tengah masyarakat. "Sebelum peristiwa ACT meledak, kita melihat kecepatan dari filantropi ini termasuk Dompet Dhuafa, Palang Merah Indonesia (PMI) dan lainnya lebih cepat beraksi membantu masyarakat," ujarnya.
Kecepatan dari lembaga-lembaga kemanusiaan tersebut karena tidak adanya birokrasi yang panjang sebagaimana di instansi pemerintah, papar dia. Bivitri menyebut panjangnya birokrasi di pemerintah tidak lepas dari keharusan karena adanya kekhawatiran temuan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) jika tidak hati-hati. "Itu benar. Tapi kan birokrasi fleksibel untuk menghadapi persoalan-persoalan yang sifatnya darurat," katanya.
Berita Terkait
Pakar Hukum sebut MK hitung selisih suara bukan penyaluran bansos
Minggu, 31 Maret 2024 19:16
Pakar mengingatkan Menko Polhukam Hadi perhatikan saran Tim Percepatan Reformasi Hukum
Sabtu, 24 Februari 2024 7:08
Pakar: Terpidana berstatus tahanan kota tetap harus dieksekusi
Jumat, 23 Februari 2024 16:54
Pakar Hukum mendorong Kejagung usut keterlibatan korporasi dalam kasus BTS
Rabu, 24 Januari 2024 6:09
Pakar hukum Yusril mengingatkan soal bukti kasus pemerasan Firli Bahuri
Senin, 15 Januari 2024 17:29
Pakar hukum: Polisi tidak bisa terapkan pidana terhadap member FEC
Senin, 25 September 2023 13:41
Penutupan tempat usaha di Gili Trawangan dampak wanprestasi WNA
Sabtu, 23 September 2023 13:31
Pakar hukum tata negara menyarankan Prabowo pilih sosok cawapres teknokrat
Jumat, 22 September 2023 7:31