CSR PERUSAHAAN TAMBANG UNTUK MEMBANGUN NTB Oleh Anwar Maga

id

Mataram, 23/2 (ANTARA) - Ruslan Turmudji, politisi PDI Perjuangan menyatakan kegembiraannya karena Nusa Tenggara Barat menjadi provinsi pertama di Indonesia yang merampungkan perda pengelolaan tambang pascapemberlakuan Undang Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

"Alhamdulillah, NTB sudah punya perda pengelolaan tambang minerba. Ini sejarah karena menjadi provinsi pertama di Indonesia yang merampungkan perda pengelolaan tambang," kata Ruslan Turmudji saat keluar dari ruang sidang paripurna DPRD Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

Politisi dari PDI Perjuangan itu mengekspresikan kegembiraannya dengan menyalami hampir semua orang yang berada di depannya

Ketua Pantia Khusus Rancangan Perda Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) DPRD NTB itu mengaku puas setelah pimpinan DPRD NTB mengetuk palu menetapkan raperda itu menjadi perda.

Sebelum perda itu ditetapkan 20 Februari 2012, Pansus DPRD NTB itu terlebih dahulu menyampaikan pandangan akhirnya, setelah sebelumnya melakukan studi komparatif di Provinsi Sumatera Utara, yang dilanjutkan dengan konsultasi akhir di kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), di Jakarta, 12-15 Februari 2012.

Penggodokan regulasi yang mengatur tentang pengelolaan tambang minerba yang merupakan hak inisiatif DPRD NTB itu, dimulai sejak awal 2011, dan telah berkali-kali berkonsultasi dengan pejabat dari kementerian terkait dan pemangku kepentingan lainnya.

Perda berisi 16 bab, 60 pasal dan 132 ayat itu diharapkan mampu mengakomodir 19 kewenangan pemerintah provinsi dan menjawab 12 isu strategis.

Kewenangan pemerintah provinsi di bidang pertambangan sesuai Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba, antara lain pembinaan dan pengawasan, pengaduan masyarakat, pengaturan jasa usaha lokal dan ketentuan lainnya seperti tata cara penutupan tambang.

Dalam undang undang minerba itu, pemerintah provinsi juga berperan dalam pengusahaan pertambangan minerba yakni pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), pemberian UIP, dan pengaturan seluruh kegiatan pengelolaan pertambangan.

Wewenang itu dapat berupa kegiatan penyelidikan, pengelolaan dan pengusahaannya dengan cakupan kegiatan usaha pertambangan mulai dari penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.

Sementara isu-isu strategis di bidang pertambangan minerba yang patut disikapi pemerintah provinsi antara lain, optimalisasi potensi usaha pertambangan lokal, penyelesaian konflik tambang, dan keterbukaan informasi publik atau jaminan transparansi.

"Memang agak lama pembahasannya hingga penetapannya, karena ada banyak yang hal yang disempurnakan, dan butuh referensi tambahan dari berbagai pihak. Apalagi ini perda pertama di Indonesia pascapemberlakuan UU Nomor 4 Tahun 2009," ujarnya.

DPRD dan Pemprov NTB memastikan perda itu yang pertama, setelah melakukan studi komparatif di sejumlah provinsi dan berkonsultasi dengan kementerian terkait di Jakarta.

Salah satu hal pokok yang membutuhkan referensi tambahan yakni pengaturan kewenangan pemerintah provinsi dalam pengawasan lingkungan tambang dan keberlanjutan usaha penambangan, dan kewenangan pemerintah provinsi dalam pemberdayaan warga miskin di lingkar tambang, serta kewenangan pengawasan dana tanggungjawab sosial (CSR) perusahaan tambang.

"Harus ada pengaturannya, karena selama ini terkesan dana CSR perusahaan tambang dimanfaatkan semau-maunya, sehingga ada kesan politik di sana," ujar Ruslan.

Bukan cuma Ruslan dan anggota Pansus Raperda Pengelolaan Tambang Minerba DPRD NTB lainnya yang boleh bertepuk dada karena telah merampungkan penyusunan regulasi terbaru soal tambang itu. Wakil Gubernur NTB H Badrul Munir pun ikut berbangga.

Badrul mengapresiasi tim Pemprov NTB dan Pansus DPRD NTB yang telah berjuang mendapatkan berbagai referensi hingga perda itu dapat ditetapkan.

Namun, ia berharap perda itu tidak dimentahkan Kementerian Dalam Negeri saat regulasi daerah itu diajukan untuk mendapat pengesahan.

"Patut disyukuri dan mudah-mudahan semuanya berjalan lancar, dengan adanya perda ini maka ada ruang pendapatan daerah karena juga mengatur tentang pemanfaatan dana CSR perusahaan tambang," ujarnya.



Pendapatan daerah

Upaya pemerintah daerah baik eksekutif maupun legislatif di DPRD NTB menyusun perda pengelolaan tambang minerba yang berorientasi pendapatan daerah itu, bukan tanpa dasar.

Undang Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba beserta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba itu, tidak secara jelas mengatur pemanfaatan dana CSR perusahaan tambang.

Memang UU Minerba itu juga mengatur pemanfaatan dana CSR perusahaan tambang, sebagaimana diatur dalam Pasal 108 yakni pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) skala kecil maupun besar, wajib menyusun program tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) yang dikonsultasikan dengan "stakeholders" lain.

Hanya saja, regulasi itu tidak secara jelas mengatur pemanfaatan dana CSR perusahaan tambang. Boleh jadi, karena diasumsikan telah diatur dalam Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Undang Undang Perseroan Terbatas (UUPT) itu menyatakan tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan kewajiban perusahaan yang harus dianggarkan.

Pasal 74 UUPT itu menyatakan, perusahaan tambang wajib menyisihkan dana untuk CSR yang dapat diperhitungkan sebagai biaya.

Kendati demikian, mencuat beragam penafsiran oleh berbagai pihak, tak terkecuali para pekerja media massa, sehingga mencuat rekomendasi yang ditujukan kepada pemerintah.

Pada acara "Journalist Conference on CSR" yang berlangsung di Hotel Aryaduta Lippo Village, Tangerang, 18¿19 Juni 2011, perwakilan wartawan Ariseno Ridhwan (Metro TV) membacakan rekomendasi yang pada intinya mendesak Presiden agar segera menerbitkan PP mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan.

PP itu dimaksudkan sebagai penjelasan pelaksanaan Pasal 74 UU PT itu agar kekeliruan penafsiran tidak berkembang lebih parah.

Mencuatnya beragam penafsiran soal CSR perusahaan tambang itu itulah, kemudian NTB terdorong untuk menggodok regulasi di tingkat daerah.

Pemprov NTB juga mempedomani UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Bab IV UU 33 itu mengatur tentang sumber penerimaan daerah.

Pasal 5 ayat (1) UU 33 itu menyatakan bahwa dalam pelaksanaan desentralisasi, penerimaan daerah terdiri atas pendapatan daerah dan pembiayaan. Sedangkan dalam ayat (2) dinyatakan bahwa pendapatan daerah yang dimaksud ayat (1) bersumber dari pendapatan asli daerah (PAD), dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan.

Lain-lain pendapatan yang dimaksud terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan dana darurat, yang merupakan bantuan yang tidak mengikat namun harus dituangkan dalam suatu naskah perjanjian antara pemerintah daerah dan pemberi hibah.

Hal itu berarti pemerintahan daerah boleh mengambil sumber pendapatan lain selama sumber pendapatan tersebut tidak termasuk sumber pendapatan pemerintah pusat yang diatur di dalam undang-undang. Salah satu sumber pendapatan hibah itu yakni dana CSR.

Wakil Gubernur NTB Badrul Munir mengatakan, pemerintah daerah merasa perlu mengatur pemanfaatan dana CSR perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah NTB, agar pemanfaatannya terarah dan komprehensif.

Selama ini, pemanfaatan dana CSR belum diatur sehingga peruntukkannya sesuai keinginan perusahaan tersebut, dan seringkali tidak sejalan dengan harapan pemerintah daerah.

"Padahal, dalam perundangan-undangan, dana pembangunan bukan hanya bersumber dari anggaran pemerintah, tetapi juga sektor swasta," ujarnya.

Badrul mencontohkan, pentingnya program pemberdayaan masyarakat miskin yang bermukim di permukiman kumuh, yang diimplementasikan melalui kegiatan bedah rumah, yang sudah direalisasikan sejak 2010.

Sejauh ini, belum banyak program CSR perusahaan yang dipadukan dengan program bedah rumah, padahal hal itu yang diharapkan pemerintah dan masyarakat NTB.

Hasil pengamatan Pemprov NTB, sejauh ini masih banyak perusahaan yang belum merealisasikan dana CSR secara rutin setiap tahun anggaran.

"Makanya pemanfaatan dana CSR akan diatur dengan perda, dan diharapkan sesuai harapan pemerintah daerah dan masyarakat luas," ujarnya.



CSR Newmont

Satu-satunya perusahaan tambang di wilayah NTB yang sudah mengimplementasikan program CSR secara berkelanjutan yakni PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT). Karenanya, PTNNT berkali-kali mendapat penghargaan dari pemerintah, antara lain Pandu Daya Masyarakat (Padma) atas kinerja Comdev di bidang peningkatan hasil pertanian dengan penerapan System of Rice Intensification (SRI).

Penghargaan serupa juga diterima PT NNT dengan indikator penilaian utama program unggulan pengembangan masyarakat yang didasarkan pada manfaat keberlanjutan dan partisipasi masyarakat.

Semenjak memulai aktivitas penambangan emas dan tembaga di Pulau Sumbawa, pada 2000, PTNNT telah banyak berkontribusi kepada Pemerintah Indonesia di bidang ekonomi.

Presiden Direktur Newmont Pacifik Nusantara, Martiono Hadiyanto, dalam suatu kesempatan mengatakan, PTNNT memulai aktivitas penambangan (tahapan produksi) dengan nilai investasi dua miliar dolar AS dan setiap tahun memberi kontribusi ekonomi lebih dari 800 juta dolar AS.

Kontribusi ekonomi itu tersalurkan melalui gaji karyawan nasional, pajak pemerintah dan royalti, barang dan jasa nasional serta proyek kemasyarakatan.

Selain itu, PTNNT juga melaksanakan program CSR yang diperuntukkan kepada tiga pemerintah daerah di NTB yakni Pemprov NTB, Pemkab Sumbawa dan Sumbawa Barat.

Sebagian dana CSR Newmont itu digunakan untuk mendukung kelancaran pembangunan Rumah Sakit (RS) Rujukan Pemerintah Provinsi NTB di Pulau Sumbawa. Juga untuk mendukung pembangunan pusat pendidikan keislaman (Islamic Center) di Mataram, Pulau Lombok.

Dana CSR Newmont lainnya dipergunakan untuk pembangunan industri makan ternak (pakan) guna mendukung kesuksesan program NTB Bumi Sejuta Sapi (BSS).

PTNTT juga mengimplementasikan program pengembangan kesehatan masyarakat seperti pengendalian malaria hingga berhasil menurunkan jumlah kasus penderita malaria, penyediaan air bersih dan sanitasi, penambahan jumlah posyandu dan bantuan alat medis untuk puskemas, pelatihan paramedis serta pelatihan kader kesehatan masyarakat.

Di bidang pendidikan, PTNNT antara lain membangun gedung Sekolah Dasar dan Taman Kanak-kanak di Kecamatan Tatar dan Jereweh, SLTP di Kecamatan Sekongkang dan Jereweh serta gedung SMA di Jereweh dan Sekongkang.

Sedangkan program pengembangan di bidang ekonomi antara lain pembangunan los pasar di Maluk dan Jereweh, dana pembangunan dan penataan infrastruktur di Pantai Maluk dan Benete, serta perbaikan rumah penduduk dan bantuan kemanusiaan lainnya.

PTNNT juga membangun gedung serba guna di Sekongkang Bawah yang diberi nama "Bacong Rungau" dan mendidik serta memberi penguatan modal kepada kelompok usaha "Paving Block" menuju kemandirian.

Di bidang pertanian, perusahaan tambang itu juga telah membangun bendung di Tabiung, Bendung Senutuk, Embung Puja, Embung Batu Bangkong, Bendung Plampok dan Bendung Tiu Sepit.

Program CRS Newmont lainnya yakni pembangunan gedung puskesmas di Kecamatan Moyo Utara dan Rokang, Kabupaten Sumbawa. Kedua puskesmas itu dilengkapi ruang rawat inap, ruang gawat darurat, apotik, poli gigi, poli kesehatan ibu dan anak (KIA), poli gizi, poli umum dan ruang pimpinan.

Program lainnya yang dilaksanakan PTNNT secara berkelanjutan yakni jalinan kerjasama dengan pemerintah daerah dan masyarakat dalam penanganan masalah lingkungan.

Newmont menyediakan dan memberikan informasi mengenai pengelolaan sumber daya alam secara bertanggung jawab dan meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai program pemantauan dan pengelolaan lingkungan.

Program lingkungan lainnya yakni pantai bersih dan rehabilitasi serta perlindungan terumbu karang yang melibatkan masyarakat setempat.

PTNNT mengalokasikan dana CSR yang diimplementasi dalam bentuk program atau pendanaan kegiatan, antara lain mencakup bidang pendidikan dan kesehatan, pengembangan ekonomi pedesaan, pengembangan fasilitas strategis dan pengembangan sumber daya manusia.

Program kemasyarakatan itu bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat sekitar tambang melalui pembangunan ekonomi berkelanjutan, pengembangan sumber daya manusia dan diupayakan mengurangi dampak sosial negatif.

Bagi manajemen PTNNT, program pemberdayaan masyarakat itu pun harus didasarkan pada prinsip berkelanjutan, kemitraan, teknologi tepat guna, penggalangan dana dan praktik terbaik serta adanya kontribusi masyarakat.

"PTNNT percaya bahwa masyarakat sekitar tambang harus memperoleh keuntungan ekonomi termasuk di bidang kesempatan kerja dan kegiatan lain yang berkembang melalui keberadaan tambang," ujar Martiono.

Meskipun perusahaan tambang itu sudah banyak mengiplementasikan program CSR, namun eksekutif dan legislatif di Pemerintahan Provinsi NTB masih ingin mengaturnya, baik dana maupun kegiatannya.

Mungkinkan pemanfaatan dana CSR perusahaan tambang itu sinkron dengan program pemerintah daerah, setelah ada regulasi yang mengaturnya?.(*)