Mataram, 15/6 (ANTARA) - Wajah Nuripah (50) terlihat merah dan cucuran keringat membasahi dahinya. Pria itu baru saja memberi makan sapi peliharaannya ketika ditemui di lokasi pengembangbiakan sapi di Desa Serimbung, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.
"Makanannya harus selalu diperhatikan agar cepat besar, sebentar lagi sudah bisa menghasilkan uang dan anak saya bisa terus sekolah," ujarnya sambil mengelus-elus punggung sapi peliharaannya.
Nuripah mengaku harus giat mencari bahan makanan ternak (pakan) untuk tiga ekor sapinya agar pendapatan keluarga terus berlanjut.
Ia menaruh harapan besar dari usaha penggemukan sapi itu untuk menyekolahkan ketiga orang anaknya, minimal sampai tingkat SMA. Seorang dari tiga anaknya sudah di bangku SMA, dua anak lainnya masih di SD dan SMP.
Lelaki itu makin bersemangat mencari nafkah dari usaha penggembangbiakan sapi karena hasilnya mulai terlihat. Selain menyekolahkan anak, dalam tiga tahun terakhir ini ia mampu membeli dua unit sepeda motor.
Fungsi sepeda motor itu pun bukan hanya sebagai sarana transportasi keluarganya, tetapi juga untuk mengangkut pakan sapinya. Sebelum memiliki sepeda motor, Nuripah harus memikul keranjang berisi rumput dalam jarak sekitar 300 meter hingga satu kilometer.
Nuripah merupakan satu dari 87 orang anggota Kelompok Tani Ternak Patuh Angen, binaan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTB, terkait program Bumi Sejuta Sapi (BSS).
Kelompok tani ternak itu sedang memelihara 240 ekor sapi lokal atau Sapi Bali (Bos Sondaicus), yang terdiri dari 160 ekor betina dan pedet (anak), dan 80 ekor jantan.
Kelompok tani ternak yang dikoordinisasi Ali Syahid itu pun merupakan bagian dari ratusan kelompok tani ternak yang terus mendapat binaan terkait program NTB-BSS yang dicanangkan sejak 2008.
Selain Nuripah, anggota Kelompok Tani Patuh Angen juga mampu menyekolahkan anak-anaknya secara berkelanjutan, dan dapat membeli sepeda motor untuk kelancaran transportasi keluarga dan angkutan bahan makanan ternak.
Mereka tidak hanya menggembangbiakan sapi, tetapi juga menggemukan sapi agar lebih cepat menghasilkan uang. Sambil menunggu sapi hasil pengembangbiakan yang membutuhkan waktu setahun, mereka juga menggemukkan sapi dalam rentang waktu 3-4 bulan kemudian dijual.
Bahkan, ada yang memilih meninggalkan status Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi dan menekuni usaha pengembangbiakan sapi, seperti Andi (35), yang baru empat bulan menekuni usaha itu.
Eks TKI yang memiliki seorang anak yang masih di bangku sekolah dasar itu, merasa lebih menguntungkan beternak sapi daripada berprofesi sopir di Arab Saudi. Baru dua bulan menggemukan sapinya, ia sudah mengantongi dua juta rupiah. Lebih baik dari upah sopir di Arab Saudi sebesar 800 real perbulan dengan risiko tinggi.
"Lebih bagus begini, baru dua bulan sudah dapat Rp2 juta, mudah-mudahan sapi-sapi ini terus menghasilkan berkah," ujarnya sambil mengelus kepala sapi peliharaannya.
Andi mengaku sapi peliharaannya dijual dengan harga Rp7-8 juta/ekor betina dan Rp5-6 juta/ekor jantan.
NTB-BSS itu merupakan salah satu program unggulan Gubernur NTB TGH M Zainul Majdi dan Wakil Gubernur NTB H Badrul Munir, dengan pencapaian target satu juta ekor sapi di akhir masa jabatan mereka di 2013. Itu berarti program tersebut sudah lebih dari setengah jalan implementasinya.
Kedua pemimpin daerah NTB itu memilih pengembangan sapi sebagai salah satu program unggulan sekaligus menjadi program pendukung swasembada daging nasional di tahun 2014.
BSS itu merupakan program percepatan yang diawali dari program reguler sebagai pembanding dengan indikasi dan asumsi populasi sapi pada tahun 2008 sebanyak 546.114 ekor, dengan jumlah induk sebanyak 37,36 persen dari populasi.
Indikator dan asumsi keberhasilan program tersebut yakni angka kelahiran mencapai 66,7 persen dari jumlah induk sapi, dan angka kematian anak sapi mencapai 20 persen dari jumlah ternak sapi yang lahir.
Dengan penerapan program NTB-BSS, diharapkan terjadi peningkatan jumlah induk sapi sebesar 38-42 persen dari populasi, peningkatan kelahiran pedet sebesar 75-85 persen dari jumlah induk.
Indikator lainnya yakni penurunan angka kematian pedet sebanyak 18-10 persen dari jumlah sapi yang lahir, penurunan pemotongan sapi betina produktif hingga 15-8 persen dari jumlah pemotongan tercatat dan pertumbuhan populasi sapi sebesar 10-15 persen per tahun.
Diharapkan, indikator keberhasilan program BSS itu terlihat dari jumlah kelahiran sapi/pedet setiap tahunnya yakni satu induk satu anak setiap tahun.
Populasi sapi
Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTB Hery Erpan Rayes mengatakan semenjak program BSS diluncurkan 17 Desember 2008, populasi ternak sapi di daerah itu terus bertambah hingga mencapai 784.019 ekor sampai akhir 2011.
"Populasi sapi sampai akhir 2011 mencapai 784.019 ekor atau bertambah sebanyak 237.905 ekor dari angka awal penerapan NTB-BSS yakni 546.114 ekor," ujarnya.
Erpan meyakini, target program BSS sebanyak satu juta ekor sapi akan terpenuhi di akhir 2013 karena berbagai usaha percepatan yang inovatif terhadap program BSS terus dilakukan secara terarah dan komprehensif.
Untuk menyukseskan program BSS itu, Pemerintah Provinsi NTB telah menerbitkan sejumlah regulasi antara lain mengatur tata niaga ternak antar pulau, pengendalian pemotongan sapi betina produktif dan pembibitan sapi berbasis masyarakat. Regulasi tersebut dikeluarkan dalam bentuk peraturan Gubernur NTB.
Selain itu, sejak 2009 telah disalurkan program pemberdayaan masyarakat kepada 252 kelompok peternak dengan nilai Rp30,308 miliar lebih, yang dimanfaatkan petani peternak untuk pengadaan ternak sapi sebanyak 4.351 ekor.
Dana miliaran rupiah itu juga untuk stimulan kandang kelompok, rekruitmen Sarjana Membangun Desa (SMD) peternakan, dan pengembangan unit lokasi Inseminasi Buatan (IB). Dana pemberdayaan peternak terkait program NTB-BSS itu terus berlanjut hingga target pencapaian BSS terealisasi di 2013.
Erpan juga meyakini Pemerintah Provinsi NTB akan mampu memberikan kontribusi daging nasional di tahun 2013 sebanyak 16.400 ton yang dicapai dari keberhasilan menerapkan program BSS.
Menurut dia, pada gilirannya nanti program BSS akan memberikan multiplayer efek seperti kontribusi daging nasional yang ditargetkan sebesar 16.400 ton, produksi kulit sebanyak 60.250 lembar dan keuntungan lainnya.
Selain itu, jika penerapan program NTB-BSS sesuai harapan maka penyerapkan tenaga kerja diperkirakan mencapai 344 ribu orang dan penyediaan potensi bahan baku pupuk organik sebesar 5,02 juta ton.
Sementara keuntungan yang memungkinkan diraih peternak dalam program NTB-BSS itu dapat mencapai Rp1,1 triliun dan keuntungan finansial dapat mencapai Rp5,5 triliun.
Nilai keuntungan itu diprediksi dari konversi nilai jual ternak dari populasi ternak yang ada, terdiri dari nilai produksi ternak besar yang diperkirakan mencapai Rp539 miliar lebih, ternak kecil Rp135,4 miliar lebih dan ternak unggas yang mencapai Rp495,5 miliar.
Revitalisasi RPH
Arah minat masyarakat NTB untuk terus mengembangbiakan sapi juga harus diantisipasi di tingkat pemasaran. Minimal, selalu ada pihak yang menampung hasil produksi peternak binaan program BSS itu.
Pemprov NTB kemudian memprogramkan revitalisasi Rumah Potong Hewan (RPH) dengan harapan hasil produksi ternak sapi itu dapat diakomodir. Program itu didukung Ditjen Peternakan Kementerian Pertanian.
Sampai akhir 2011 sudah empat RPH yang tersentuh program revitalisasi, yakni RPH Benyumulek (Lombok Barat), RPH Bangkong (Sumbawa), RPH Pototano (Sumbawa Barat) dan RPH Majeluk (Kota Mataram).
"Sedang diperjuangkan dukungan anggaran untuk revitalisasi empat RPH lagi di 2013, dan upaya ini diyakni akan semakin menyukseskan program BSS, karena peternak juga semakin termotivasi," ujar Erpan.
RPH yang menjadi target revitalisasi itu berlokasi di Kabupaten Lombok Timur, Dompu, Lombok Utara, dan Kota Mataram (peningkatan kualitas RPH Majeluk).
Program revitalisasi RPH Banyumulek misalnya, dipercayakan kepada perusahaan daerah PT Gerbang NTB Emas (GNE) yang kemudian menjalin kerja sama dengan PT Ajinomoto untuk memfungsikan RPH Banyumulek, guna memberikan kontribusi positif terhadap kemajuan perekonomi daerah.
Direktur Utama PT GNE Zainul Aidi mengatakan, tahap awal pengoperasian RPH Banyumulek itu, diupayakan tiap hari ada pemotongan 5-10 ekor sapi dan dagingnya dipasarkan di wilayah NTB.
Semula RPH itu dipersiapkan untuk pemotongan hewan hingga lebih dari 50 ekor per hari dengan produksi hygienis. RPH serupa hanya ada 10 unit di Indonesia termasuk di NTB.
"Kami juga telah memproduksi daging beku untuk dipasarkan ke luar daerah, karena sudah ada mesin pendingin dan fasilitas pendukung lainnya," ujarnya.
Kini NTB telah memiliki daging produk lokal yang diberi nama Sasambo Beef. Nama itu mencirikan asal sapi yakni dari Pulau Sumbawa dan Lombok. Samawa merupakan akronim dari Sasak (suku Lombok) Samawa (suku Sumbawa) dan Mbojo (suku Bima dan Dompu).
RPH Banyumulek itu, semula dikelola perusahaan swasta PT Citra Agro Lombok dengan durasi kerja sama selama 20 tahun terhitung 2001, namun dilanda kebangkrutan sehingga dilihkan ke perusahaan swasta lainnya, dan kini diambilalih PT GNE.
Selain aktivitas pemotongan sapi, manajemen RPH Banyumulek juga mengembangkan industri olahan. Dari daging "Sasambo Beef" juga telah dihasilkan bakso "co-meat" tanpa penyedap dan bahan pengawet, yang telah dilegitimasi oleh Kementerian Kesehatan RI Nomor: P.IRT Nomor 20152710127.
Dengan demikian, kreasi dalam program percepatan disertai sentuhan inovasi untuk menghasilkan nilai tambah dalam pengembangan BSS, diyakini akan mampu menjadikan NTB gudang ternak dan suplai daging nasional.
Hanya saja, perhatian dan kerja sama pemerintah, peternak dan pengusaha selaku komunitas aktor dalam kemajuan NTB-BSS, harus terus berkelanjutan.(*)