NTB BERHARAP GARUDA BUKA RUTE PENERBANGAN LOMBOK-PERTH

id

Mataram, 13/8 (ANTARA) - Para wakil rakyat di DPRD Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) berharap Garuda Indonesia membuka rute penerbangan internasional dari Perth, Australia Barat, ke Lombok, NTB.
"Harapan itu sudah disampaikan secara langsung kepada para direksi PT Garuda Indonesia, dalam pertemuan dengan DPRD NTB di Jakarta, awal Agustus lalu," kata Anggota Komisi II DPRD NTB Misbach Mulyadi, di Mataram, Senin.
Misbach mengaku juga ikut dalam petemuan koordinasi DPRD NTB dengan para direksi Garuda Indonesia itu, yang antara lain membahas kemungkinan rute penerbangan Perth-Lombok.
Perth merupakan ibukota negara bagian Australia Barat, negara bagian terbesar di Australia atau kota terbesar keempat di Australia. Daerah Metropolitan Perth memiliki populasi sekitar 1.507.900 jiwa.
Ia mengatakan, NTB menghendaki dibuka rute Perth-Lombok yang dilayani Garuda Indonesia, agar semakin banyak wisatawan Australia yang berkunjung ke Pulau Lombok, dan wilayah NTB lainnya.
Namun, manajemen Garuda tidak langsung menanggapi keinginan NTB itu, yang antara lain masih mengkhawatirkan ancaman kerugian untuk rute baru itu.
"Mungkin mereka masih ragu atau takut rugi, dan kalau itu masalahnya pemerintah daerah NTB bisa bantu dana subsidi, dan DPRD NTB akan mendukungnya," ujarnya.
Misbach merasa perlu menginfomasikan harapan dibukanya rute penerbangan Perth-Lombok itu kepada publik secara luas agar ada dukungan politis dalam penganggarannya.
"Karena ini jalur penerbangan baru namun potensi mendongkrak perekonomian bangsa dan daerah, maka patut disubsidi. Kalau ada peluang memajukan negara dan daerah, mengapa takut untuk alokasikan subsidi," ujarnya.
Menurut Misbach, subsdi penerbangan lokal dalam wilayah NTB sudah dihentikan sehingga bisa dialihkan ke subsidi penerbangan internasial pada rute Perth-Lombok.
Pemerintah Provinsi NTB menghentikan subsidi penerbangan lokal rute Mataram-Bima, karena rute itu telah menjadi jalur komersial dan tingkat keterisian kursi pesawat (load factor) pada rute tersebut sudah lebih dari 70 persen.
Selain Trigana Air, Merpati Nusantara Airlines juga beroperasi pada rute itu. Demikian pula "load factor" untuk rute penerbangan Mataram-Sumbawa yang juga sudah lebih dari 60 persen sehingga dana subsidi tidak dibutuhkan lagi.
Semula Pemerintah Provinsi NTB menyiapkan anggaran sebesar Rp5 miliar untuk subsidi penerbangan lokal dari dari Pulau Lombok ke Pulau Sumbawa yang dijadwalkan setiap hari, selama 2011.
Dengan demikian, dari Rp5 miliar dana subsidi penerbangan lokal yang dialokasikan, hanya Rp3 miliar yang digunakan, sehingga Rp2 miliar lainnya dikembalikan ke Biro Keuangan Setda NTB.
Pemprov NTB mengalokasikan dana subsidi tarif angkutan udara untuk penerbangan lokal dari Pulau Lombok ke Pulau Sumbawa (Bima dan Sumbawa) sejak tahun 2007, yang diawali dengan nilai subsidinya sebesar Rp2,23 miliar dan frekwensi penerbangan tiga kali seminggu, yakni setiap Selasa, Kamis dan Minggu.
Rute penerbangan Mataram (Pulau Lombok) ke Sumbawa, Bima dan Dompu (Pulau Sumbawa) tiga kali seminggu itu menggunakan pesawat ATR/42-3000 milik maskapai penerbangan Trigana Air dalam pengelolaan PT Transnusa Air Service.
Kebijakan subsidi tarif angkutan udara itu, ditempuh karena rute penerbangan Mataram-Sumbawa-Bima itu sempat terhenti cukup lama karena tidak ada maskapai penerbangan yang berminat.
Pemprov NTB kemudian menambah alokasi dana subsidi tarif angkutan udara itu menjadi Rp7 miliar agar frekwensi penerbangan juga bertambah dari tiga kali seminggu menjadi tujuh kali atau setiap hari.
Peningkatan dana subsidi yang berdampak langsung pada penambahan frekwensi penerbangan lokal di wilayah NTB itu dimaksudkan untuk memberi kemudahan kepada pengguna jasa transportasi udara agar 'seat' terisi penuh setiap trip penerbangan.
Juga, untuk mempercepat mobilitas pembangunan ekonomi lokal dan regional karena Pulau Sumbawa merupakan pintu mobilitas barang dan jasa ke dan dari wilayah timur seperti Nusa Tenggara Timur (NTT).
Dana subsidi penerbangan lokal itu juga dikucurkan selama 2010 meski berkurang menjadi Rp5 miliar dan angka itu bertahan di 2011 meskipun hanya Rp3 miliar yang digunakan. Tahun 2012 subsidi itu dihentikan. (*)