Mataram, 20/9 (ANTARA) - Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) melibatkan 260 orang mandor atau pengawas hutan dari kalangan warga setempat, untuk menangani kasus pembabatan hutan secara ilegal (illegal logging).
"Sudah 260 orang mandor yang saya kukuhkan secara resmi (disertai surat keputusan), tugas mereka menjaga kawasan hutan lindung dari ancaman 'illegal logging' yang masih saja marak," kata Kepala Dinas Kehutanan Provinsi NTB H Abdul Hakim, di sela-sela "workshop" sistem MRV (Measurable, Reporting and Verification) atau pengukuran, pendataan dan verifikasi karbon, yang digelar di Mataram, Kamis.
"Workshop" sistem MRV karbon itu diselenggarakan oleh Pusat Perubahan Iklim dan Kebijakan (Puspijak) Kementerian Kehutanan (Kemhut) bekerja sama dengan Dinas Kehutanan Provinsi NTB.
Hakim mengatakan, tidak bisa dipungkiri kalau laju deforestasi dan degradasi hutan tidak sebanding dengan upaya rehabilitasi atau penanaman kembali lahan hutan yang gundul, karena ulah kelompok masyarakat tertentu.
Sementara pemerintah kekurangan anggaran untuk kegiatan pengawasan seluruh kawasan hutan lindung, sehingga dibutuhkan partisipasi aktif masyarakat sekitar kawasan hutan tersebut.
"Maka munculah kebijakan pemerintah, yakni pengangkatan mandor sebagai bagian dari Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dengan mekanisme kemitraan dengan pemerintah," ujarnya.
Hakim mengaku telah mengangkat sebanyak 260 orang mandor yang ditugaskan mengawasi kawasan hutan lindung, disertai kewenangan menangkap dan menghukum para pelaku pembabatan hutan secara ilegal, namun dalam batas kewajaran.
Para mandor anggota KPH itu juga diberi kewenangan memanfaatkan kawasan hutan lindung itu untuk kelanjutan hidup keluarganya, sepanjang tidak ada penebangan kayu secara sepihak.
"Jadi, mereka bisa menanam tanaman apa pun yang bernilai ekonomis, juga memanfaatkan hasiul hutan bukan kayu, tetapi berkewajiban menjaga kawasan hutan lindung itu dari ancaman 'illegal logging'," ujarnya.
Menurut Hakim, semenjak mandor pengawas hutan lindung dibentuk, sudah banyak pelaku "illegal logging" yang ditangkap dan diserahkan kepada penyidik untuk diproses sesuai koridor hukum.
Keterlibatan masyarakat dalam menangkap pelaku "illegal logging" itu, berdampak positif pada perlindungan kawasan hutan lindung.
"Kasus 'illegal logging' berkurang cukup signifikan. Bahkan, ada kawasan yang marak 'illegal logging' menjadi nyaris tidak ada kasus lagi. Saya sering temui para mandor itu, dan saya katakan, begitu anda (mandor) sudah punya SK maka silahkan tangkap para pelaku 'illegal logging' itu," ujarnya.
Versi Dinas Kehutanan NTB, sebanyak 64 ribu hektare lahan kering dari total 1.807.463 hektare atau 84,19 persen dari total luas lahan pertanian di wilayah NTB, telah terdegradasi atau mengalami penurunan fungsi.
Lahan kering yang mengalami degradasi itu merupakan bagian dari lahan kritis seluas 527.800 hektar atau sekitar 26 persen dari luas daratan NTB, yang terdiri atas hutan kritis seluas 159.000 hektar dan lahan kritis nonhutan seluas 368.800 hektar, terutama di kawasan hutan Lombok Tengah bagian selatan dan sebagian besar Sumbawa.
Selain itu, sekitar 480 ribu hektare hutan lindung, 419 ribu hektare hutan produksi, 170 ribu hektare non produksi termasuk 41 ribu hektare di dalam kawasan Balai taman Nasional Gunung Rinjani dan 128 ribu hektare kawasan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (SDA) juga mengalami degradasi 50 ribu hektare setiap tahun.
Sementara Data versi Balai Wilayah Sungai (BWS) NTB, wilayah NTB telah kehilangan sedikitnya 300 unit sumber air akibat kerusakan Daerah AliranSungai (DAS) yang dipicu oleh berbagai persoalan seperti praktek pembabatan hutan secara liar (illegal logging) dan eksploitasi bahan tambang secara berlebihan.
Mata air (sumber air) di wilayah NTB yang dulunya mencapai 500 titik kini tinggal 120-an titik saja karena terjadi defisit air permukaan akibat kerusakan DAS. (*)