Ada perbedaan secara biologis antara perempuan dan laki-laki namun kebudayaan menafsirkan perbedaan biologis ini menjadi seperangkat tuntutan sosial tentang kepantasan dalam berperilaku, dan pada gilirannya hak-hak, sumber daya, dan kuasa. Kendati tuntutan ini bervariasi di setiap masyarakat, tapi terdapat beberapa kemiripan yang mencolok.
Misalnya, hampir semua kelompok masyarakat menyerahkan tanggung jawab perawatan anak pada perempuan, sedangkan tugas kemiliteran diberikan pada laki-laki. Sebagaimana halnya ras, etnik, dan kelas, gender adalah sebuah kategori sosial yang sangat menentukan jalan hidup seseorang dan partisipasinya dalam masyarakat dan ekonomi.
Tidak semua masyarakat mengalami diskriminasi berdasarkan ras atau etnis, namun semua masyarakat mengalami diskriminasi berdasarkan gender-dalam bentuk kesenjangan dan perbedaan-dalam tingkatan yang berbeda-beda. Seringkali dibutuhkan waktu cukup lama untuk mengubah ketidakadilan ini. Suasana ketidakadilan ini terkadang bisa berubah secara drastis karena kebijakan dan perubahan sosial-ekonomi.
Pengertian kesetaraan gender merujuk kepada suatu keadaan setara antara laki-laki dan perempuan dalam pemenuhan hak dan kewajiban. Diskriminasi berdasarkan gender masih terjadi pada seluruh aspek kehidupan, di seluruh dunia. Ini adalah fakta meskipun ada kemajuan yang cukup pesat dalam kesetaraan gender dewasa ini. Sifat dan tingkat diskriminasi sangat bervariasi di berbagai negara atau wilayah.
Tidak ada satu wilayah pun di negara dunia ketiga di mana perempuan telah menikmati kesetaraan dalam hak-hak hukum, sosial dan ekonomi. Kesenjangan gender dalam kesempatan dan kendali atas sumber daya, ekonomi, kekuasaan, dan partisipasi politik terjadi di mana-mana. Perempuan dan anak perempuan menanggung beban paling berat akibat ketidaksetaraan yang terjadi, namun pada dasarnya ketidaksetaraan itu merugikan semua orang.
Oleh sebab itu, kesetaraan gender merupakan persoalan pokok suatu tujuan pembangunan yang memiliki nilai tersendiri. Kesetaraan gender akan memperkuat kemampuan negara untuk berkembang, mengurangi kemiskinan, dan memerintah secara efektif. Dengan demikian mempromosikan kesetaraan gender adalah bagian utama dari strategi pembangunan dalam rangka untuk memberdayakan masyarakat (semua orang)-perempuan dan laki-laki- untuk mengentaskan diri dari kemiskinan dan meningkatkan taraf hidup mereka.
Pembangunan ekonomi membuka banyak jalan untuk meningkatkan kesetaraan gender dalam jangka panjang. Agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan memiliki makna yang penting karena setelah diadopsi maka akan dijadikan acuan secara global dan nasional sehingga agenda pembangunan menjadi lebih fokus. Setiap butir tujuan tersebut menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) dan untuk mencapai kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, baik tua mau-pun muda.
Secara kultur atau sosial, budaya patriarki yang masih kental di Indonesia membuat perempuan dituntut untuk diam di rumah dan mengasuh anak. Hal ini membuat kesempatan perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi menjadi terbatas, sehingga berdampak pada aspek institusional seperti batasan tingkat pendidikan dan pengalaman kerja.
Konsep laki-laki yang wajib mencari nafkah dan perempuan mengurus rumah tangga, merupakan salah satu penyebab masih sangat rendahnya rasio TPAK (Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja) perempuan Indonesia yaitu di bawah 1 dan lebih rendah dari TPAK laki-laki. Dari nilai rasio TPAK tersebut dapat menunjukkan masih belum tercapainya kesetaraan gender di bidang ketenagakerjaan antara laki-laki dan perempuan.
Meskipun demikian perempuan bekerja yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi terus meningkat walaupun proporsinya masih lebih kecil dibandingkan laki-laki. Perempuan terdorong untuk lebih dapat mengekspresikan dirinya dengan berpartisipasi di pasar kerja agar dapat membantu suami mendapatkan penghasilan tambahan (Dwi, 2017).
Secara global TPAK perempuan dari 1990 sampai 2010 mengalami stagnasi, dengan kondisi TPAK perempuan lebih rendah daripada TPAK laki-laki. Di mana hanya 50 persen dari jumlah perempuan didunia yang menjadi tenaga kerja mendapat upah, sedangkan pada laki-laki lebih dari 75 persen. Kondisi tersebut diduga adanya permintaan akan pekerja berketerampilan rendah berdampak pada TPAK secara umum (Schifman et al., 2019).
Kondisi di Indonesia menunjukkan hal yang sama, selama dua dekade rata-rata TPAK laki-laki berada di sekitar 84 persen, sementara perempuan sekitar 50 persen. Pada 2018 menunjukkan 83 dari 100 laki-laki menjadi angkatan kerja, sementara perempuan hanya 52 dari 100 (KPPPA,2019).
Perempuan yang menjadi pekerja rumah tangga dan tidak berbayar memberi peran signifikan terhadap rendahnya TPAK perempuan, karena mereka keluar dari angkatan kerja dan tidak termasuk dalam pengukuran TPAK (Schifman et al., 2019). Schaner & Das, (2016) menemukan bahwa perempuan yang usia muda di daerah perkotaan mengalami peningkatan partisipasi angkatan kerja mereka dalam beberapa tahun terakhir, sebagian besar melalui pekerjaan berupah, sementara di daerah pedesaan telah mengurangi partisipasi angkatan kerja mereka, sebagian besar dengan memilih keluar dari pekerjaan informal yang tidak dibayar.
Isu kesetaraan gender bahkan terus berkembang, data dari United Nation Development Programme pada tahun 2013 tentang Gender Equality Index, yakni kesetaraan gender pada bidang kesehatan, sosial, ekonomi, dan politik di negara-negara Asia-Pasifik masih tergolong rendah, yakni di kisaran 0,494.
Bentuk diskriminasi yang masih berkembang di masyarakat adalah anggapan bahwa perempuan yang bekerja dalam bidang “maskulin” masih dianggap lemah baik secara fisik maupun psikologis. Padahal ketika seorang wanita bekerja dia mempunyai peran ganda yang belum tentu mampu dikerjakan oleh banyak orang, disisi seorang wanita melakukan pekerjaan kantor seorang wanita (jika ia sudah berumah tangga) dia juga harus mampu mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Selain itu faktor pendidikan juga mampu mempengaruhi kesetaraan gender dalam dunia kerja, kebanyakan anggapan tersebut menyangkut pada jenjang karir. Budaya bangsa Indonesia masih menarik-narik “perempuan”, menjadikan perempuan termarjinalisasi dan menjadikan perempuan sebagai subordinat. Pekerja perempuan dianggap warga kelas 2 karena budaya patriarkhi dalam kehidupan budaya bangsa Indonesia masih kental.
Namun pemikiran-pemikiran mengenai kesetaraan peran sudah mulai dikumandangkan dan semangat ini sudah terbakar untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan, misalnya dalam masalah pekerjaan. Pemerintah terus mendorong untuk mewujudkan kesetaraan gender melalui berbagai program maupun mengeluarkan produk-produk hukum dan melakukan ratifikasi terhadap produk hukum internasional.
Salah satu program yang terus didorong oleh pemerintah adalah Percepatan Pengarusutamaan Gender (PUG) melalui Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender (PPRG). Di tingkat Global pemerintah Indonesia juga sudah melakukan komitmen global untuk upaya mewujudkan kesetaraan gender salah satunya dengan menghadiri Pertemuan Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Perempuan IV di Beijing tahun 1995 yang dihadiri189 negara.
Konferensi tersebut menyetujui pengaplikasian Strategi PUG di Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan. Di tingkat Nasional telah dikeluarkan Instruksi Presiden No.9Tahun 2000 Tentang Keharusan Melaksanakan PUG Di Perencanaan/Penganggaran Di Semua Sektor Pembangunan. Melalui Inpres ini pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mematuhi kesepakatan internasional dalam hal melaksanakan PUG. Salah satu upaya untuk mewujudkan kesetaraan gender di bidang ketenagakerjaan adalah dengan memberikan perlindungan khusus kepada pekerja perempuan sesuai dengan kekhususan dan keistimewaan yang dimiliki oleh pekerja perempuan yang harus dipahami oleh perusahaan seperti pemberian cuti hamil dan melahirkan sesuai dengan kodrat perempuan.
Selain memiliki kekhususan pekerja perempuan juga harus dilindungi dari perlakuan diskriminasi dalam hubungan kerja, pemberian upah, tunjangan dan jaminan sosial, kesempatan untuk mengembangkan diri melalui pelatihan serta mendapatkan kesempatan untuk promosi jabatan (Aulya, 2017).
Sidang umum PBB pada tahun 1979 mencetuskan pentingnya pengakuan terhadap hak-hak perempuan dengan mengadopsi CEDAW (Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Against Women). Sidang ini membuka jalan bagi negara-negara di seluruh dunia termasuk Indonesia untuk melakukan ratifikasi terutama setelah Indonesia meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. UUD 1945 telah mengamanatkan kesamaan kedudukan setiap warga negara Indonesia dan menentang adanya diskriminasi yang tercantum pada Pasal 27.
Pasal ini yang menjadi landasan bagi UU Ketenagakerjaan untuk mencantumkan pasal-pasal larangan diskriminasi terhadap pekerja perempuan dan perlindungannya. Perlindungan hukum tindakan diskriminasi terhadap pekerja perempuan sudah tercantum dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 6 yang mengatur larangan diskriminasi dalam aspek memperoleh pekerjaan dan jabatan antara pekerja laki-laki dan perempuan.
Produk hukum lainnya yang berkaitan dengan kesetaraan gender di bidang ketenagakerjaan adalah Kepmenaker No. 224 tahun 2003 berkaitan yang mengatur Kewajiban Pengusaha Yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan Antara Pukul 23.00 Sampai Dengan Pukul 07.00, aturan yang harus dipatuhi antara lain pengusaha tidak boleh memperkerjakan perempuan yang kurang dari 18 tahun di malam hari begitu juga bagi wanita hamil. Perlindungan kesetaraan pemberian upah bagi pekerja diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2021, Tentang Pengupahan Pasal 2 ayat 2 diatur bahwa Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakukan yang sama dalam penerapan sistem pengupahan tanpa diskriminasi.
Selanjutnya pada ayat 3 mengatur bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh upah yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya. Perlindungan hukum bagi pekerja perempuan berkaitan dengan jam kerja, cuti masa haid, cuti hamil dan melahirkan serta hak menyusui anak pada waktu kerja telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 Pasal 76 Ayat (1), (2),(3) dan (4). Pemberian keringanan bagi pekerja perempuan yang tercantum dalam pasal dan ayat-ayat tersebut berdasarkan pertimbangan pentingnya peran perempuan dalam menjalankan kodratnya bereproduksi (Ngajulu, 2016).
Hak pekerja perempuan telah dijamin oleh berbagai peraturan, undang- undang maupun konvensi internasional, tetapi pada kenyataannya masih banyak hak pekerja perempuan yang belum dapat dipenuhi, hal ini disebabkan oleh faktor internal yaitu rendahnya tingkat pengetahuan dan pemahaman dari pekerja perempuan itu sendiri terhadap haknya, maupun faktor eksternal yang dapat berupa budaya patriarki, marginalisasi dalam bidang pekerjaan, konsep stereotip terhadap perempuan serta masih kurangnya sosialisasi (Sali, 2017).
Peran pemerintah juga masih belum berjalan efektif dalam melakukan implementasi peratura perundang- undangan terkait perlindungan pekerja perempuan. Hal ini di tandai dengan belum kuatnya penerapan sanksi bagi pelanggar peraturan yang dilakukan oleh perusahaan terkait perlindungan hak-hak pekerja perempuan.
Pemerintah melalui pengawas ketenagakerjaan harus melakukan usaha yang preventif dan represif, namun tindakan represif akan dilaksanakan secara tegas terhadap perusahaan yang secara sengaja melanggar atau perusahaan yang berkali-kali mendapat peringatan (Manik, 2013). Untuk dapat mengupayakan penegakan dan perlindungan hukum bagi pekerja perempuan pemerintah perlu meningkatkan kerja sama dengan pengusaha dan pekerja, serta melakukan pengawasan secara ketat terhadap pelaksanaan produk-produk hukum yang berlaku tentunya dengan tetap memperhatikan kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik dan kultur berlaku pada setiap lingkungan masyarakat.
Kesimpulan
Di era revolusi industri 4.0, kesenjangan gender khususnya di bidang ketenagakerjaan masih terjadi, baik di negara maju maupun di negara berkembang termasuk Indonesia. Terjadinya kesenjangan gender di dunia kerja dapat dipengaruhi oleh institusi pemberi kerja maupun karena dipengaruhi sosial budaya. Kesenjangan gender yang dipengaruhi oleh institusi karena masih ada anggapan bahwa tingkat pendidikan dan pengalaman kerja yang dimiliki oleh pekerja perempuan lebih rendah dari pekerja laki-laki, eksklusivitas pekerjaan tertentu yang dianggap kurang layak dimasuki oleh pekerja perempuan, serta stigma yang masih sering melekat bahwa perempuan kurang produktif dibandingkan pekerja laki-laki.
Adapun kesenjangan gender akibat kondisi kultur/sosial karena masih menganut konsep patriarki di beberapa daerah Indonesia, tuntutan kepada perempuan untuk mengasuh anak dan mengurus keluarga jauh lebih penting dibandingkan mencari nafkah, pola asuh orang tua terhadap anak perempuan, serta ekspektasi sosial untuk tidak masuk ke dunia kerja.
Pemerintah Indonesia sudah cukup memberikan upaya perlindungan tenaga kerja perempuan dan mengurangi kesenjangan gender melalui dengan melakukan ratifikasi hukum internasional dan membuat produk hukum nasional. Perlindungan yang diberikan pemerintah melingkupi keselamatan dan kesehatan kerja, kebebasan untuk berserikat dan berdemokrasi di tempat kerja, perlindungan terhadap diskriminasi dan perlindungan pemenuhan hak-hak dasar pekerja.
Ketiadaan kesepakatan antara pekerja perempuan dan pengusaha dalam pemenuhan hak-hak perempuan merupakan salah satu hambatan dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja perempuan, sehingga masih sering terjadi penyimpangan dari aturan yang berlaku. Kondisi ini semakin diperburuk dengan minimnya pemberian sanksi terhadap pelanggar peraturan perundangan. Selain itu, dari sisi pekerja perempuan tingkat kesadaran atas haknya yang masih rendah yang disebabkan karena faktor ekonomi yang lemahnya daya tawar pekerja perempuan terhadap pemberi kerja.
Upaya yang perlu dilakukan untuk mencapai kesetaraan gender di bidang ketenagakerjaan yaitu, Pertama, memprioritaskan adanya penegakan hukum yang berlaku berkaitan dengan kesetaraan gender di bidang ketenagakerjaan serta pemberian sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan perundangan yang berlaku. Kedua, meningkatkan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam rangka penegakan hukum untuk meningkatkan kesetaraan gender di bidang ketenagakerjaan.
Ketiga, memperkuat sistem pengawasan agar dengan mengupayakan meningkatkan jumlah, kapasitas maupun kompetensi tenaga pengawas agar dapat melakukan penegakan hukum dan pemberian sanksi terhadap diskriminasi. Keempat, mengupayakan perlindungan sosial yang lebih intens untuk pekerja perempuan disektor informal yang lebih rentan terhadap pelanggaran kesetaraan gender.
Kelima, meningkatkan kesadaran atas hak kesetaraan gender bagi calon pekerja perempuan secara dini sebelum memasuki pasar kerja dan bagi pekerja perempuan memperkuat pengetahuan akan hak-hak perempuan di dunia kerja.
Nama : Pagah Agustira Putra
NIM : 202010180311002
Jurusan Ekonomi Pembangunan
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Muhammadiyah Malang