Jaksa menghadirkan pejabat Setda Dompu pada sidang korupsi BPR NTB

Mataram (ANTARA) - Jaksa penuntut umum menghadirkan seorang Pejabat Sekretariat Daerah Dompu pada sidang lanjutan perkara korupsi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Nusa Tenggara Barat Cabang Rasabou.

Pejabat yang hadir sebagai saksi pada sidang lanjutan untuk terdakwa Badaruddin di Pengadilan Negeri Tipikor Mataram, Jumat, tersebut adalah Kepala Bagian Hukum Setda Dompu Momon Soeherman.

Kepada majelis hakim, Momon memberikan keterangan perihal adanya penyertaan modal pemerintah untuk BPR NTB Kabupaten Dompu.

"Total penyertaan modal pemerintah untuk BPR mencapai Rp12 miliar. Terakhir disalurkan pada tahun 2015 nilainya Rp1 miliar," kata Momon.

Usai tahun 2015, Momon menegaskan pemerintah tidak lagi menyalurkan dana segar untuk penyertaan modal kepada BPR. "Iya terakhir itu 2015, Rp1 miliar itu, tahun berikutnya tidak ada lagi," ujarnya.

Dalam perjanjian penyertaan modal dengan BPR, lanjut Momon, pemerintah mendapatkan dividen dari keuntungan setiap tahun. Namun, perihal nominal keuntungan tersebut, Momon menolak menjawab karena hal itu di luar kewenangan dirinya.

"Untuk persoalan dividen, itu bagian ekonomi yang lebih tahu," ucapnya.

Sebagai Kabag Hukum Setda Dompu, Momon menyatakan penyertaan modal pemerintah kepada BPR NTB Kabupaten Dompu sudah diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Dompu Nomor 9 Tahun 2015.

"Dalam aturan perda itu memuat penyertaan modal oleh pemerintah berakhir pada tahun 2015 dan selebihnya tidak dilakukan," kata Momon.

Jaksa penuntut umum dalam perkara ini menghadirkan Momon untuk menguatkan keyakinan hakim melihat sumber anggaran untuk operasional BPR.

Hal itu juga mengarah pada pengungkapan fakta uang pengganti dari kerugian negara yang muncul senilai Rp284 juta pada pengajuan kredit untuk 12 nasabah periode Juni hingga November 2018.

Badaruddin yang menjadi terdakwa dalam perkara ini berperan sebagai analis kredit BPR NTB Cabang Rasabou, Kabupaten Dompu.

Sesuai uraian dakwaan, jaksa menjelaskan bahwa Badaruddin telah menyalahgunakan kewenangan sebagai analis kredit. Penyalahgunaan tersebut berkaitan dengan pengajuan kredit untuk 12 nasabah, salah satu di antaranya dengan mencatut nama mantan istrinya.

Dalam kapasitas sebagai analis kredit, Badaruddin memanipulasi data pengajuan para nasabah, salah satunya mengubah plafon kredit dari nama nasabah yang kali pertama melakukan pengajuan.

Perbuatan lain yang turut dianggap bertentangan dengan aturan adalah pencairan kredit. Badaruddin mengurus secara langsung kepada bendahara tanpa ada persetujuan maupun pengetahuan dari pimpinan.

Dengan uraian dakwaan demikian, Badaruddin didakwa dengan pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 juncto pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.