HM Rofiih: Bumi Langit Warna Pendidikan

id Pondok Pesantren

HM Rofiih: Bumi Langit Warna Pendidikan

Ilustrasi bangunan pondok pesantren (Ist)

Sebenarnya, kami tidak ingin memiliki pondok pesantren dengan bangunan yang mewah atau megah. Cukup bangunan itu nyaman bagi siswa belajar, itu sudah melegakan
"Perbedaan pendidikan antara sekolah swasta dan negeri, sungguh seperti bumi dan langit. Ada warna ketidakadilan yang kami rasakan sejak dahulu," kata HM Rofiih, pendiri Pondok Pesantren Syamsul Huda.

Pondok Pesantren Syamsul Huda merupakan sebentuk bangunan sederhana di wilayah Presak, Pringgarata, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Lembaga pendidikan berbasis agama ini didirikan tahun 1984.

Perihal ketidakadilan, HM Rifiih melanjutkan, karena kesejahteraan yang diterima sekolah negeri dan swasta sangat jauh berbeda. Tidak mengherankan jika sampai kini, gedung tempat siswa menimba ilmu di Pondok Pesantren Syamsul Huda terbilang jauh dari kata penyebutan megah.

"Sebenarnya, kami tidak ingin memiliki pondok pesantren dengan bangunan yang mewah atau megah. Cukup bangunan itu nyaman bagi siswa belajar, itu sudah melegakan. Tapi kenyataannya, meski pondok belajar didirikan pada 1984, sampai sekarang nyaris tidak ada perubahan yang signifikan pada gedung," kata lelaki alumnus Universitas Al Azhar Kairo, Mesir ini.

Padahal, kata lelaki yang biasa dipanggil Amiq Bama ini, tujuan yang digagas terkait pendirian pondok pesantren adalah untuk memberantas buta huruf yang saat itu masih banyak dialami masyarakat di lingkungan masyarakat Presak dan sekitarnya.

Terdorong keinginan kuat untuk membebaskan masyarakat dari buta huruf ini, Amiq Bama berjuang sekuat tenaga mendirikan pondok pesantren, yang pada awalnya hanya mendapatkan murid sebanyak 30 anak didik. Kini anak didik itu telah berjumlah ratusan siswa.

"Selain pembekalan ilmu agama, murid juga kami bekali keterampilan ilmu pertanian. Jadi bukan semata ilmu agama, tapi lulus `mondok` murid juga diharapkan mempunyai keterampilan untuk bekal kehidupan bermasyarakat," ujarnya.

Soal pengajar, ujarnya, di pondok pesantren itu memiliki 25 orang guru, yang lebih tepatnya disebut mengabdi untuk memberikan ilmu kepada murid. Meski dengan gaji secukupnya, namun kesungguhan guru-guru dalam mengajar tidak luntur.

"Memang ada dana BOS, tapi jumlahnya tidak seberapa. Jadi untuk operasional sekolah dan kebutuhan lainnya, kami cukup-cukupkan saja. Kadang juga ada donatur, tapi tidak secara kontinyu. Memang kami jauh dari kecukupan, tapi Insya Allah di tempat lain, ada rejeki untuk kami," ucap dia.



Kitab Kuning

Membekali siswa dengan ilmu keterampilan, juga dilakukan HM Afifudin, Pendiri Pondok Pesantren Islahul I`tihad, yang terletak di Jabon, Pringgarata, Lombok Tengah.

"Saya menggabungkan ilmu tradisional dan modern dalam pondok pesantren. Dan ada 70 orang guru pondok pesantren yang siap mendampingi murid dalam proses belajar," kata lelaki alumnus Jurusan Ushuluddin Universitas Al Azhar Mesir ini.

Jika dahulu orang masuk pondok pesantren hanya untuk mendalami ilmu agama dan sehari-hari kegiatan utamanya adalah mengaji, maka HM Afifudin mencoba memberi keketerampilan lebih pada siswa-siswanya. Keterampilan itu mencakup pengajaran Bahasa Arab, Bahasa Inggris, membuat kue, menjahit dan menyediakan berbagai macam fasilitas olah raga.

Berkat pengajaran maksimal ini, siswa yang belajar di pondok pesantren tersebut pernah menjuarai lomba menghafal Al Qur`an, juara pidato Bahasa Inggris dan juara nasional membaca kitab kuning pada 2012.

"Kami tidak ingin siswa hanya piawai berdoa, tapi kami harap murid yang mondok juga bisa mandiri ketika lulus. Inilah yang membuat kami selalu menerima ide baru dalam pendidikan sepanjang bernilai positif," katanya.

Penerapan ide-ide baru, membuat siswa menjadi lebih berkembang sesuai bakat dan minat masing-masing, sehingga begitu lulus tidak canggung dengan kehidupan di masyarakat. Bahkan, berkat mendalami keterampilan sesuai bakat dan minat, siswa pondok banyak yang diterima kerja sebagai polisi, TNI, dan profesi lain sesuai pilihan siswa.

Meski demikian, HM Afifudin tidak memungkiri, ketika pertama kali menerapkan ide menggabungkan ide tradisional dan modern, tidak langsung diterima masyarakat. Tidak sedikit masyarakat yang mempertanyakan, karena selama ini belajar di pondok memang diprioritaskan untuk mendalami ilmu agama.

"Tetapi setelah melihat kemajuan siswa pondok dan berbagai prestasi yang telah diraih siswa-siswa, akhirnya kritik-kritik itu tidak ada lagi. Yang ada, kami sekarang didukung penuh," ucap dia.

Sementara itu, Sekretaris Pondok Pesantren Isahul I`tihad H Suryadi menyatakan bahwa hingga kini kemajuan diharapkan terus berlanjut untuk mencetak murid-murid unggul di bidang agama dan keterampilan.

"Meski kami akui perhatian pemerintah masih kurang untuk sekolah swasta, namun kami meyakini bahwa ini adalah pengabdian hidup kami," ujar H Suryadi.

Selain kurangnya perhatian, kendala lain yang dihadapi pondok pesantren adalah kondisi alam lingkungan yang kering kerontang, sehingga warga kesulitan mendapatkan air bersih untuk kebutuhan hidup sehari-hari.

"Tapi kami tidak berkecil hati dengan berbagai halangan ini. Kami memilih terus bertahan karena inilah garis hidup yang kami pilih. Kami percaya, setiap manusia memiliki jalan sendiri-sendiri untuk memberikan pengabdian dalam mengarungi kehidupan," ujar dia.

*) Tri Vivi Suryani adalah penulis buku dan artikel