BNI tak terdampak penutupan Silicon Valley Bank

id BNI, Silicon Valley Bank

BNI tak terdampak penutupan Silicon Valley Bank

Direktur Keuangan Bank Negara Indonesia (BNI) Novita Widya Anggraini berbicara dalam konferensi pers virtual Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) Tahun Buku 2022 BNI di Jakarta, Rabu (15/3/2023). ANTARA/Martha Herlinawati Simanjuntak

Jakarta (ANTARA) - Direktur Keuangan Bank Negara Indonesia (BNI) Novita Widya Anggraini mengatakan BNI tidak terdampak penutupan Silicon Valley Bank di Amerika Serikat. "Kita melihat bahwa perseroan saat ini tidak memiliki eksposur terhadap Silicon Valley Bank," kata Novita dalam konferensi pers virtual RUPST BNI Tahun Buku 2022 di Jakarta, Rabu.

Ia menyakini model bisnis yang dijalankan oleh manajemen BNI sangat kuat, di mana rasio kecukupan modal mencapai di atas 20 persen. Angka itu jauh di atas ketentuan minimum regulator dan juga lebih tinggi dibandingkan dengan bank-bank global lainnya.

Novita mengatakan likuiditas perseroan juga baik di atas persyaratan peraturan yang ditetapkan oleh otoritas dan lebih tinggi dibandingkan dengan bank-bank global. Selain itu, liabilitas bank tersebut didominasi oleh pendanaan yang stabil yaitu dana pihak ketiga dan hanya kurang dari 10 persen yang berasal dari pendanaan wholesale. "Kepercayaan deposan di dalam negeri juga masih kuat terhadap kondisi perseroan," ujarnya.

Kemudian, dari sisi aset, Novita mengatakan 80 persen aset BNI berupa kredit, dan hanya 20 persen berupa bond. BNI juga menjalankan bisnis dengan selalu melaksanakan mitigasi risiko dan melakukan diversifikasi aset untuk mengurangi risiko. "Memang untuk porsi obligasi komposisinya 94 persen adalah obligasi pemerintah dan kalau kita lihat tenornya merupakan tenor yang pendek sehingga risikonya relatif lebih rendah," ujarnya.

Baca juga: BNI memperkuat layanan international banking optimalkan pasar di Afrika
Baca juga: BNI miliki peluang kembangkan potensi bisnis di Benua Afrika


Menurut dia, perbankan di Indonesia secara industri memiliki kecukupan modal yang jumlahnya relatif di atas 20 persen, sehingga kondisi perbankan Indonesia cukup kuat untuk mengantisipasi risiko. "Jadi memang kondisi perbankan Indonesia rasanya cukup kuat untuk mengantisipasi atau memitigasi risiko-risiko yang kemungkinan terjadi," ujarnya.