Mataram (ANTARA) - Penyidik Kepolisian Daerah(Polda) Nusa Tenggara Barat(NTB) menetapkan seorang kepala cabang Perusahaan Pemberangkatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) yang berkantor di Majeluk, Kota Mataram sebagai salah satu dari tiga tersangka kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
"Jadi, dalam kasus ini ada tiga orang ditetapkan sebagai tersangka TPPO. Pertama, inisial RD, perempuan merupakan kepala cabang PT PSM (P3MI) yang melakukan proses penempatan CPMI secara nonprosedural ke Taiwan dengan menerima setoran dari tersangka J dan S sebagai pekerja lapangan (perekrut)," kata Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda NTB Komisaris Besar Polisi Teddy Ristiawan di Mataram, Rabu.
Dia mengatakan berdasarkan hasil gelar perkara, penyidik menetapkan ketiganya sebagai tersangka dengan sangkaan Pasal 10 dan/atau Pasal 11 juncto Pasal 4 Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan/atau Pasal 83 jo. Pasal 68 jo. Pasal 5 dan/atau Pasal 86 jo. Pasal 72 Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Terhadap ketiga tersangka, lanjut dia, penyidik telah menindaklanjuti ke proses penahanan. Namun demikian, hanya dua tersangka yang menjalani penahanan di Rutan Polda NTB.
"Untuk dua tersangka, RD dan S ditahan di Rutan Polda NTB. Untuk satu lagi, inisial J, tidak kami lakukan penahanan karena yang bersangkutan sedang menjalani pidana hukuman di Lapas Lombok Barat dengan kasus penipuan," ujarnya.
Dia menjelaskan bahwa pihaknya menangani kasus yang mengarah pada dugaan percobaan TPPO dan perekrutan PMI secara nonprosedural ini berawal dari adanya laporan 53 Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) yang merasa telah dirugikan PT PSM.
"Ke-53 CPMI merasa dirugikan oleh PT PSM karena lebih dari satu tahun tidak juga diberangkatkan ke Taiwan dan masalah ini terus berulang terhadap korban lainnya. Jadi, total korban itu ada 132 orang, tetapi yang melapor 53 orang," ucap dia.
Teddy mengatakan 53 korban berasal dari Kabupaten Lombok Utara berada di bawah perekrutan tersangka S dan perekrutan di Kota Mataram di bawah kendali tersangka J. CPMI yang direkrut S sebanyak 45 orang, kemudian dari J sebanyak delapan orang.
Dari setiap CPMI, kedua tersangka yang berperan sebagai perekrut menarik biaya paling rendah Rp40 juta dengan menjanjikan bekerja di sektor konstruksi dan pabrik di Taiwan.
Penyidik pun telah mencatat adanya kerugian dari 132 korban CPMI yang tidak juga mendapatkan kepastian kapan akan berangkat ke Taiwan. Nilai kerugian mencapai Rp2 miliar.
"Kalau ditotal dari 132 CPMI, kerugiannya Rp1,9 miliar, hampir mencapai Rp2 miliar. Tetapi, kami fokus korban yang melapor, yang dari Lombok Utara dan Mataram, itu kerugiannya Rp641 juta," kata Teddy.
Dia mengatakan bahwa uang itu telah disetorkan tersangka S dan J kepada RD sebagai Kacab PT PSM. Pihak korban yang tidak juga mendapatkan kepastian pemberangkatan mengungkapkan rasa kecewa dengan meminta pengembalian uang setoran.
Sampai saat ini para korban hanya mendapatkan janji manis dari RD.Hingga persoalan ini masuk ke kepolisian, kata Teddy belum ada satu pun korban yang mendapatkan pengembalian setoran dari RD.
"Atas dasar uang tidak juga kembali, korban ini melaporkan ke kami," ujarnya.
Lebih lanjut, katanya dari rangkaian penyidikan Teddy mengungkapkan bahwa PT PSM melakukan perekrutan tidak sesuai dengan Keputusan Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Nomor 785 Tahun 2022 Tentang Biaya Penempatan Pekerja Migran Indonesia.
"Dalam keputusan Kepala BP2MI, untuk bekerja di Taiwan memang ada biayanya, nilainya Rp22 juta. Tetapi, oleh PT PSM, memungut biaya Rp40 juta ke atas. Ini yang kami lihat tidak sesuai aturan," kata Teddy.
Selain itu, Surat Izin Perekrutan Pekerja Migran Indonesia (SIP2MI) PT PSM terungkap telah kedaluwarsa. Teddy mengungkapkan hal itu berdasarkan permintaan keterangan dari pihak BP2MI yang sudah mencabut SIP2MI milik PT PSM pada Agustus 2022.
"Jadi, PT PSM ini beroperasi tanpa didukung adanya SIP2MI yang diterbitkan BP2MI. Persoalan lain itu terkait Negara Taiwan yang juga tidak ada membuka job order untuk bekerja di sektor konstruksi dan pabrik," ujarnya.