Menurut data Dinas Pertanian dan Perkebunan NTB hampir setiap kabupaten/kota di wilayah ini menghasilkan kopi, baik kopi robusta maupun kopi arabika. Kabupaten/kota tersebut adalah Kota Mataram, Lombok Utara, Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa Barat, Sumbawa, Dompu, Bima dan Kota Bima.
Data sementara, luas panen kopi robusta di NTB pada 2022 mencapai 11.396 hektare dengan produksi mencapai 5.500 ton. Sedangkan kopi arabika lebih kecil yakni seluas 1.076 hektare dengan produksi 978 ton. Produksi kopi robusta di NTB, dan juga sebagian besar sentra produsen kopi di Indonesia, lebih besar dibandingkan kopi arabika karena dua jenis kopi ini memiliki karakteristik yang berbeda.
Kopi arabika dan robusta memiliki perbedaan dalam budi daya maupun cita rasa. Kopi robusta (Coffee Canephora) adalah varietas kopi yang lebih mudah tumbuh dan tahan terhadap penyakit serta kondisi lingkungan yang buruk. Tanaman kopi robusta tumbuh di daerah dengan ketinggian rendah, sekitar 200-800 meter di atas permukaan laut.
Sedangkan kopi arabika (Coffee Arabica) adalah varietas kopi yang lebih sulit tumbuh dan lebih rentan terhadap penyakit. Tanaman kopi arabika tumbuh di daerah dengan ketinggian yang lebih tinggi, sekitar 600-2.000 meter di atas permukaan laut.
Kandungan kafein kopi robusta lebih tinggi, sekitar 2,7-4 persen dari berat biji kopi. Hal ini membuat kopi robusta memiliki rasa yang lebih kuat dan pahit. Sementara kopi arabika memiliki kandungan kafein yang lebih rendah, sekitar 1-1,5 persen dari berat biji kopi sehingga kopi arabika memiliki rasa yang lebih lembut dan kompleks.
Pemprov NTB terus berusaha memperluas areal tanam kopi guna meningkatkan produksi dan kesejahteraan petani. Kementerian Pertanian pada tahun ini mengalokasikan anggaran untuk areal tanam kopi baru seluas 300 hektare di Pulau Sumbawa.
Upaya tersebut cukup beralasan karena sektor pertanian masih menjadi penopang terbesar perekonomian NTB. Lebih dari seperlima produk domestik regional bruto (PDRB) NTB berasal dari sektor pertanian.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021 misalnya, perekonomian NTB atas dasar harga berlaku (ADHB) mencapai Rp140,15 triliun dan dari nilai tersebut sebesar Rp31,96 triliun (22,8 persen) disumbang oleh sektor pertanian. Sumbangan dari sektor pertanian tersebut merupakan yang terbesar dibandingkan dengan sektor lainnya.
Sektor dengan nilai PDRB terbesar berikutnya adalah pertambangan dengan nilai Rp24,28 triliun (17,33 persen), diikuti sektor perdagangan besar dan eceran sebesar Rp19,6 triliun (13,98 persen), serta sektor konstruksi dengan PDRB mencapai Rp13,67 triliun.