Kala ikan semakin jauh, kisah perempuan pesisir Lombok hadapi krisis iklim

id Ikan di Lombok,Perempuan Lombok,Lombok,Nelayan

Kala ikan semakin jauh, kisah perempuan pesisir Lombok hadapi krisis iklim

Seorang ibu dan anak-anaknya sedang memadaq. Foto: Ahmad Hadi Ramdhani

Di sini hampir semua ibu-ibu pasti berhutang di mereka
Mataram (ANTARA) - Matahari kian bergerak ke ufuk barat. Burung-burung laut terbang mengitari rimbunnya hutan mangrove. Meski sore, udara pesisir Kuranji, Desa Paremas, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur terasa panas pada kamis (23/11). 

Air laut mulai menjauhi bibir pantai, bergerak ke tengah. Kondisi itu dimanfaatkan masyarakat sekitar untuk memadaq, mencari kerang, kepiting dan ikan kala air mulai surut.

Harniati (49) bersama beberapa perempuan-perempuan lainnya nampak begitu cekatan menyusuri rapatnya akar mangrove. Tatapan mereka begitu tajam, seakan tak ingin melewatkan satu inci pun dari pengamatannya. Satu persatu, kepiting bakau yang tertangkap ia masukan ke dalam ember. 

Hari kian temaram, tangkapan pun berhasil dikumpulkan. Ember yang tadinya kosong, kini berisi berbagai jenis biota laut, kebanyakan kepiting bakau.

Ketika warga lain lebih senang jika banyak mendapatkan ikan, Harniati dan teman-temannya justru senang jika banyak dapat kepiting bakau, karena cangkangnya bisa dijadikan bahan baku membuat kerupuk.

Kerupuk cangkang kepiting merupakan salah satu produk komunitas perempuan pesisir  Mele Maju yang dia dirikan beberapa tahun sebelumnya. 

Di komunitas itu, Harniati berbagi ilmu cara mengolah kepiting menjadi kerupuk. Hasil penjualan jadi tambahan penghasilan untuk keluarga mereka. 

Hutang dari rentenir

Tujuh tahun yang lalu Harniati ditinggal suaminya Sya’ban (55) untuk merantau ke Malaysia. Sya’ban meninggalkan ia dan tiga orang anaknya yang kala itu masih duduk di bangku sekolah. Harniati dan Sya’ban memiliki tiga orang anak yaitu Eli Marsana (24), Busyairi (22) dan Leli Sagita (10) yang saat itu masih berusia tiga tahun. Keputusan Sya’ban untuk merantau ke negeri jiran tersebut sebenarnya berat, karena harus meninggalkan istri dan anak-anaknya yang kala itu masih membutuhkannya.

Sya’ban dulunya nelayan. Tapi belakangan hasil tangkapan laut menurun dan tak mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Kedua anak mereka yang butuh biaya sekolah, membulatkan niat Sya’ban untuk mengadu nasib ke rantau. Di sana, Sya’ban dijanjikan bekerja di perkebunan sawit milik salah satu perusahaan negara Malaysia. Ia pun dijanjikan gaji yang menggiurkan. 

Bermodalkan uang hasil penjualan kapal dan mesin yang ia miliki saat itu, Sya’ban berangkat meninggalkan istri dan anaknya.