Kala ikan semakin jauh, kisah perempuan pesisir Lombok hadapi krisis iklim
Di sini hampir semua ibu-ibu pasti berhutang di mereka
“Beberapa tahun belakangan memang sangat terasa, terkadang hasil yang kami dapatkan tidak sesuai dengan modal yang kami keluarkan,” cerita Sudirman, salah seorang nelayan Dusun Kuranji.
Pertanian tak bisa jadi pilihan di dusun ini karena terbatasnya lahan dan tak ada irigasi.
“Jangankan untuk mengairi sawah, untuk kebutuhan sehari-hari saja sudah kesulitan,” tambah Sudirman.
Walhasil, menjadi buruh migran merupakan pilihan paling realistis yang mereka ambil.
Harniati menjadi saksi bagaimana janji-janji manis nan menggiurkan dari para agen penyalur tenaga kerja ke luar negeri itu, meluluhkan hati mereka. Mulanya dia tidak setuju jika suami mereka harus merantau ke luar negeri karena cerita pengalaman pahit dari kerabat mereka.
“Banyak yang tidak sesuai janji, bahkan tidak sedikit yang harus pulang setelah hanya beberapa bulan di sana. Sesampai di sana, mereka malah tidak ada pekerjaan,“ tambah Harniati.
Menurut Sukuryadi, fenomena banyaknya nelayan beralih menjadi buruh migran tersebut tidak hanya terjadi di Dusun Kuranji. Hampir semua daerah pesisir mengalami hal serupa. Dari pengalamannya selama mendampingi beberapa masyarakat pesisir, menjadi buruh migran merupakan pilihan terakhir para nelayan di tengah ketidakpastian dan kesulitan yang mereka alami.
“Ini hanya satu masalah dari banyak masalah yang dihadapi masyarakat pesisir selain gizi buruk, stunting, pernikahan dini dan lain-lain. Semua itu, menurut data yang saya miliki banyak terjadi di masyarakat pesisir,” ungkap Sukuryadi.
Menurutnya, pilihan menjadi buruh migran bukan hanya karena hasil tangkapan merosot.
“Hutang, kebutuhan yang semakin meningkat dan tidak adanya skill lain selain melaut. Semua itu mendorong nelayan untuk memilih sebagai buruh migran,” terang Sukur.