Jakarta (ANTARA) - Sejak KTT ASEAN Oktober 2021, ketika perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara itu diketuai Brunei Darussalam, ASEAN melarang pemimpin Myanmar Jenderal Senior Min Aung Hlaing dan jajarannya menghadiri pertemuan tingkat tinggi ASEAN.
ASEAN terpaksa mengambil keputusan itu karena junta yang mengudeta pemerintahan sipil pimpinan Aung San Suu Kyi pada 1 Februari 2021, tak punya itikad menjalankan prakarsa perdamaian Konsensus Empat Poin yang sudah mereka sepakati bersama ASEAN.
Prakarsa itu mengamanatkan junta agar menghentikan semua kekerasan dan berunding dengan melibatkan semua pihak di Myanmar.
Tapi bukan berarti ASEAN menutup pintu komunikasi dengan penguasa de facto Myanmar itu.
Sebaliknya, ASEAN membolehkan Myanmar mengirimkan wakil non politik dalam pertemuan-pertemuan ASEAN. Tapi, junta menolaknya.
Kini, saat ASEAN diketuai Laos, Myanmar mengutus seorang pejabatnya guna menghadiri pertemuan para menteri luar negeri ASEAN di Luang Prabang pada 28-29 Januari 2024.
Junta mengutus Marlar Than Htaik, yang adalah sekretaris tetap pada Kementerian Luar Negeri Myanmar.
Namun, kehadiran wakil junta dalam pertemuan besar ASEAN, bukan berarti organisasi kawasan ini mengubah sikapnya terhadap junta.
Sebaliknya, ASEAN menegaskan konsisten bersandar pada Konsensus Lima Poin dalam menyelesaikan krisis Myanmar.
Sikap ini didukung kuat oleh semua anggota ASEAN, termasuk Indonesia, yang tahun lalu mengenalkan konsep troika dalam menemukan solusi untuk krisis Myanmar.
Lewat pola yang melibatkan ketua ASEAN sebelumnya, ketua ASEAN saat ini dan ketua ASEAN tahun depan itu, tawaran solusi konflik Myanmar menjadi berkelanjutan.
Dalam upaya mempertegas komitmen ASEAN, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Retno Marsudi menegaskan tak boleh ada aksi permisif yang menghambat atau memundurkan implementasi Konsensus Lima Poin.
Lantas, mengapa junta berubah sikap?
Tak ada yang tahu pasti penyebabnya. Cuma, ada dugaan bahwa hal itu berkaitan dengan situasi-situasi sulit yang dihadapi junta belakangan ini.
Terdesak
Dalam beberapa bulan terakhir, posisi junta lagi tertekan di medan perang, bukan saja karena menghadapi sayap militer Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) yang dibentuk oposisi pimpinan Aung San Suu Kyi, tapi juga melawan kelompok-kelompok etnis bersenjata.
NUG dan kelompok-kelompok etnis bersenjata itu kini bersekutu membentuk front bersama melawan junta.
Saat yang sama, ada pergeseran sikap dari China, yang tak saja berbatasan langsung dengan Myanmar, tapi juga aktor penting dalam krisis Myanmar.
China sepertinya sudah tak sabar menunggu kehadiran sebuah rezim yang stabil di Myanmar. Mereka juga melihat penguasa yang bertambah tidak populer di mata rakyatnya.
Padahal rezim yang tidak stabil membahayakan posisi China yang berusaha mencari jalan singkat ke Samudera Hindia demi akses energi global, terutama dari Timur Tengah.
Tiga tahun setelah berkuasa lewat kudeta, junta tak kunjung bisa menstabilkan Myanmar. Ketiadaan rezim yang kuat ini membuat beberapa daerah di Myanmar menjadi rawan kriminalitas, termasuk perbatasan China-Myanmar.
Hal itu ditambah arus pengungsi dan bahkan kombatan ke dalam wilayah China, Shan yang berbatasan dengan Provinsi Yunnan di China.
Berulang kali China memperingkatkan junta Myanmar agar menjaga situasi kondusif di perbatasan kedua negara, dengan menindak para kriminal yang beroperasi di kedua sisi perbatasan. Rupanya, junta sudah tak mampu merestorasi keadaan.
Kemudian, pada akhir Oktober 2023, Aliansi Tiga Persaudaraan yang terdiri dari Tentara Arakan, Tentara Aliansi Demokrasi Nasional (MNDAA) dan Tentara Pembebasan Nasional Ta'ang, melancarkan serangan terkoordinasi yang membuat junta terdesak di Shan dan bagian barat Myanmar.
Serangan itu disebut-sebut mendapatkan restu China yang bermain di dua kaki di Myanmar, dengan membantu junta di satu sisi, tapi menjalin kontak dengan para penentang junta di sisi lain.
China berusaha memberikan tekanan lebih keras dari biasanya, kepada junta.
Alhasil, perubahan sikap China dan situasi medan perang yang tak menguntungkan itu, membuat junta dihadapkan kepada realitas yang memaksanya menoleh lagi ASEAN.
Kebetulan, tahun ini, Laos yang memiliki banyak persamaan budaya dengan Myanmar dan berbatasan langsung di bagian timur laut, menjadi ketua ASEAN.
China sendiri melihat peluang baik dari posisi Laos sebagian ketua ASEAN,sekalipun itu mungkin lebih kepada agenda Laut China Selatan.
Sejumlah kalangan di ASEAN sendiri mengkhawatirkan netralitas Laos sehingga mengancam sentralitas ASEAN dalam menyelesaikan masalah-masalah kawasan. Hal itu pernah terjadi saat ASEAN diketuai Kamboja pada 2022.
Netralitas
Kekhawatiran ini didasarkan pada ketergantungan Laos kepada China. Laos memiliki utang yang mencapai 123 persen dari total produk domestik brutonya, yang lebih dari separuh utang itu berasal dari China.
Sejak awal 1990-an, China sudah menjadi mitra pembangunan ekonomi penting bagi Laos, dan juga Kamboja. China menjadi sumber investasi asing langsung terbesar Laos di luar ASEAN.
Besarnya investasi China di Laos, termasuk untuk membangun jalur kereta api China-Laos, telah memperbesar pengaruh China di Laos, sampai negara ini disebut sebagai "satelit" China.
Ternyata, kekhawatiran itu terlalu berlebihan karena dalam urusan politik dan kebijakan luar negeri, Laos cenderung independen.
Survei yang diadakan Yusof Ishak Institute di Singapura pada 2023 menunjukkan pengaruh China memang besar di Laos tapi perlahan memudar.
Namun, menurut survei itu, China yang bertambah agresif dan persaingan China-Amerika Serikat yang kian dalam, memaksa Laos perlahan mengambil sikap netral dan mendekati negara-negara ASEAN, Uni Eropa, Australia, Jepang, dan Korea Selatan.
Laos tak mau ditarik-tarik oleh siapa pun, kendati mungkin terbelit utang menggunung dari China.
Negara yang tak memiliki lautan dan dikurung China, Myanmar, Thailand, Vietnam dan Kamboja itu, sebenarnya memiliki riwayat netral, saat Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet menyebar ke Asia Tenggara.
Sampai pemerintahan komunis berkuasa sejak Desember 1975 setelah menumbangkan monarki Laos, negara itu aktif berbaikan dengan semua tetangga, khususnya Thailand dan Vietnam.
Laos berusaha merangkul lagi netralitas, dalam rangka menjalankan amanat memimpin ASEAN selama satu tahun ke depan. Apalagi keinginan itu mendapatkan dorongan dari model troika yang diadopsi ASEAN tahun lalu di Indonesia.
Model konsultasi informal di antara ketua ASEAN saat ini (Laos), sebelumnya (Indonesia), dan mendatang (Malaysia) itu, bisa membuat Laos terkawal independen sehingga Konsensus Lima Poin tidak jalan di tempat.
Pada saat yang sama, terjadi pembalikan besar yang membuat banyak pihak optimis bahwa Konsensus Lima Poin bisa dijalankan oleh Myanmar. Pembalikan itu menyangkut junta Myanmar yang terdesak di dalam negeri dan China yang tak lagi total menyokong junta.
Kedua situasi itu bisa membuka jalan kepada ASEAN dalam mendorong junta Myanmar merangkul lagi dialog, memajukan rekonsiliasi dan melapangkan jalan demokrasi sehingga stabilitas hadir kembali di sana yang akibatnya positif bagi stabilitas kawasan.