Indef: Kenaikan tingkat masih berlanjut jelang Ramadhan

id Beras mahal, Indef, inflasi, bps

Indef: Kenaikan tingkat masih berlanjut jelang Ramadhan

Warga membawa beras yang didapatkan saat penyaluran bantuan pangan beras di Gudang Bulog Meger, Klaten, Jawa Tengah, Rabu (31/1/2024). . ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/rwa.

Jakarta (ANTARA) - Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto memproyeksikan, kenaikan tingkat inflasi masih akan berlanjut menjelang bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri.

Dia memprediksi tingkat inflasi bulan Maret ini dapat mencapai 0,6 persen yang utamanya dipengaruhi oleh tingginya permintaan disusul dengan naiknya harga kebutuhan pokok.
 
“Maret nanti saya rasa akan lebih tinggi tingkat inflasinya, karena kenaikan tidak hanya terjadi pada beras. Nanti juga akan menyusul transportasi, harga BBM non-subsidi, harga (jalan) tol dan kebutuhan pokok lainnya. Ya telur, daging, gula semua akan naik ya, karena permintaan tinggi di Ramadhan dan Lebaran,” kata Eko saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Jumat.
 
Hari ini, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan tingkat inflasi bulanan sebesar 0,37 persen pada Februari 2024 (month-to-month/mtm). Sedangkan, secara tahunan Indonesia mengalami kenaikan inflasi 2,75 persen (year-on-year/yoy), meningkat dibandingkan bulan sebelumnya yang tercatat 2,57 persen yoy.
 
 
 
Eko menilai tingkat inflasi bulan ini masih terbilang aman lantaran berada di rentang target inflasi 2024.
 
Namun, peningkatan tersebut menjadi sinyal khusus bagi pemerintah untuk segera menstabilkan harga kebutuhan pokok, khususnya beras yang memiliki andil pada inflasi bulanan sebesar 0,21 persen.
 
Tren inflasi komoditas beras pada Februari tercatat 5,32 persen. Peningkatan itu menjadikan beras sebagai penyumbang inflasi bulanan terbesar bulan ini.
 
Lebih lanjut, Eko menjelaskan bahwa ada tiga faktor utama yang mendorong naiknya harga beras di pasaran. Yang pertama, faktor produksi beras nasional yang kian berkurang. Kemarau panjang imbas dari El Nino dinilai masih menjadi penyebab utama berkurangnya produksi beras. Selain itu, estimasi panen raya baru terjadi pada bulan Maret-April 2024.
 
Berdasarkan data BPS, produksi beras nasional pada 2023 mencapai 31,10 juta ton, turun sebanyak 440 ribu ton atau 1,39 persen dibandingkan dengan 2022 di mana tercatat sebesar 31,54 juta ton.
 
 
 
Faktor kedua yang mempengaruhi inflasi beras yakni adanya keterlambatan distribusi yang disebabkan salah satunya karena program bantuan sosial (bansos) yang marak disalurkan beberapa bulan terakhir.
 
“Khususnya kemarin-kemarin ya. Kemudian karena Bulog harus melayani bansos dan harus melayani pasar tradisional. Saya rasa kapasitas yang terbatas dari mereka untuk bisa (memenuhi) secara birokrasi ya, bukan cadangannya,” jelasnya.
 
Faktor ketiga yang turut mempengaruhi adalah periode Pemilu 2024 yang meningkatkan tingkat konsumsi masyarakat. Seperti diketahui, penyelenggaraan pesta demokrasi itu turut memberikan stimulus terhadap daya beli masyarakat.
 
“Tidak ada penyebab tunggal dalam konteks inflasi beras hari ini ya, jadi faktor fundamental produksi yang memang turun karena El Nino, ada faktor distribusi karena bansos (jika) ditarik ke depan,” terang Eko.
 
Adapun Deputi Bidang Statistik Produksi BPS M. Habibullah mengatakan bahwa memang hampir seluruh provinsi mengalami inflasi beras, tepatnya sebanyak 37 provinsi yang mencatatkan kenaikan harga beras. Sementara satu provinsi lainnya mengalami penurunan inflasi beras.
 
Secara umum, komponen harga bergejolak (volatile food) mengalami inflasi sebesar 1,53 persen, memberikan andil lebih tinggi (0,25 persen) dibanding komponen lainnya yaitu inflasi inti (0,09 persen) dan inflasi harga diatur pemerintah (0,03 persen).
 
Komoditas pangan lainnya yang menjadi faktor pendorong inflasi Februari adalah cabai merah dengan andil 0,09 persen, telur ayam ras 0,04 persen, serta daging ayam ras 0,02 persen.
 
Khusus untuk komoditas cabai merah, inflasi tercatat di setiap level perdagangan, di mana inflasi pada produsen pedesaan sebesar 4,56 persen, grosir 16,01 persen, dan eceran 17,78 persen.