Menengok efektifitas program guru penggerak pascapemilu

id Guru penggerak,kabinet baru,ki hadjar dewantara,konsep pendidikan KHD,guru penggerak pasca pemilu,prabowo-gibran,mendikb,KPU,guru penggerak pascapemil Oleh Risi Grisna Yurika, S.Pd., M.TP.*)

Menengok efektifitas program guru penggerak pascapemilu

Bupati Kubu Raya Muda Mahendrawan didampingi Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setempat, M. Ayub menghadiri pengukuhan guru penggerak angkatan ke-8 di Sungai Raya, Sabtu (20/1/2024) (ANTARA/Rendra Oxtora)

Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan Presiden RI terpilih pekan lalu. Bangsa Indonesia dalam waktu dekat akan memiliki kabinet baru.

Pada sektor pendidikan, tentu Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang baru diharapkan dapat meneruskan program-program yang baik di masa ini.

Dengan demikian siapapun yang memimpin Kemendikbud, baik menteri petahana jika diangkat kembali atau menteri baru, tidak menjadi persoalan karena tidak akan mengubah kebijakan yang baik.

Salah satu program terobosan yang efektif Mendikbudristek era ini adalah program guru penggerak.

Semula program guru penggerak bertujuan untuk memberi ruang kepada guru-guru yang secara alami proaktif, kreatif, dan inovatif yang tersebar di setiap sekolah-sekolah di Indonesia tetapi tidak memiliki jabatan tertentu di sekolah tersebut.

Di setiap sekolah bahkan di institusi apapun biasanya ada insan-insan proaktif, tetapi tidak mendapat ruang untuk berkreasi karena tidak atau belum menjabat posisi tertentu yang strategis.

Menteri Nadiem Makarim justru melihat pribadi-pribadi proaktif tersebut sebagai agen perubahan di sekolah sehingga harus diberi kesempatan.

Di masa awal-awal menjabat, Nadiem meminta para kepala sekolah mengidentifkasi guru-guru proaktif tersebut di sekolahnya lalu memberi ruang mereka untuk melakukan perubahan.

Ketika tidak diberi ruang, pribadi proaktif tersebut seringkali berbenturan dengan pimpinan formal di sekolah karena seringkali inisiatif mereka dianggap di luar perintah pimpinan.

Kini guru penggerak telah menjadi program nasional yang berjalan setiap tahun. Guru penggerak juga mendapat kesempatan lebih besar untuk menjadi kepala sekolah, bahkan guru penggerak menjadi prasyarat untuk menjadi kepala sekolah.


Hal positif

Tentu harus diakui terdapat pro dan kontra terkait prasyarat tersebut karena mengubah peta jalan untuk meniti karier para guru menjadi kepala sekolah atau pengawas.

Namun, terlepas dari itu terdapat banyak hal positif dari program guru penggerak yang berjalan di era Mendikbud Nadiem Makarim.

Pertama, program guru penggerak memberi ruang para guru di setiap level mulai SD, SMP, dan SMA/SMK saling berinteraksi dan berbagi pengalaman.

Selama ini pembinaan karier para guru berjalan terpisah karena guru SD dan SMP berada dalam kewenangan dinas pendidikan kabupaten/kota, sementara guru SMA/SMK berada dalam kewenangan dinas pendidikan provinsi.

Program guru penggerak juga memungkinkan guru sekolah negeri dan guru sekolah swasta saling berinteraksi dan berbagi pengalaman.

Kedua, program guru penggerak ternyata berisi proses penggalian filosofi Pendidikan Bapak Pendidikan Indonesia yaitu Ki Hadjar Dewantara (KHD).

Tentu secara teoritis para guru merupakan alumnus dari universitas pendidikan atau fakultas Pendidikan, tetapi harus diakui kurikulum di perguruan tinggi tersebut belum secara khusus membedah filosofi pendidikan dari KHD secara mendalam.

Konsep pendidikan KHD yang diberikan pada program guru penggerak langsung mengambil dari manuskrip-manuskrip asli KHD yang kemudian dikontekstualkan dengan kondisi modern di sekolah masing-masing.

Hal ini menjadi langka dan penting karena dari diskusi dengan para guru, manuskrip asli tersebut ketika kuliah tidak dibaca secara langsung.

Paling tidak terdapat tiga manuskrip lintas masa yang dibedah yaitu Pidato KHD saat dinobatkan sebagai doctor honoris causa di Universitas Gadjah Mada (1956), Dasar-Dasar Pendidikan (1936-1937), dan Metode Montesori, Frobel dan Taman Anak (1928).

Ketiga manuskrip tersebut dibedah oleh para guru dan diselaraskan dengan pendidikan di era modern yang terjadi di sekolah masing-masing.

Para guru penggerak menjadi paham bagaimana Bangsa Indonesia sebetulnya telah memiliki konsep pendidikan yang tidak kalah luhur dari konsep pendidikan dari Barat.

Pada saat bersamaan konsep pendidikan KHD yang bersumber dari budaya masyarakat Indonesia juga tidak menutup diri dari konsep pendidikan bangsa lain tetapi terbuka pada konsep pendidikan dari segala bangsa sepanjang telah diselaraskan dengan konteks Indonesia.

Tentu harus diakui membaca manuskrip asli karya KHD memang sulit karena dua alasan. Pertama, KHD menyampaikan filosofi pendidikan yang jarang menjadi bahan diskusi di era saat ini terutama ketika pendidikan telah menjadi komoditas.

Mencerna bahasa yang filosofis tentu memerlukan energi ekstra dibanding membaca manuskrip berbahasa popular biasa.

Kedua, manuskrip yang dibuat KHD berasal dari masa puluhan tahun silam yaitu 48—78 tahun silam. Pada masa itu istilah dan diksi Bahasa Indonesia di bidang pendidikan telah berbeda jauh dengan istilah dan diksi bidang pendidikan saat ini.

Beberapa istilah Indonesia padanan katanya juga menggunakan Bahasa Belanda. Hal itu berbeda dengan saat ini yang seringkali istilah pendidikan disertakan padanan dengan Bahasa Inggris.

Namun, kesulitan tersebut pada akhirnya dapat dilewati dan diatasi dengan proses diskusi di antara guru penggerak dan mentornya.

Para guru paham bahwa Bangsa Indonesia telah memiliki instrumen pendidikan sendiri yang khas, yang tidak liberal tetapi juga tidak konservatif, karena kedua metode tersebut ternyata bermanfaat digunakan pada konteks waktu dan pribadi peserta didik yang tepat.

KHD menawarkan instrumen pendidikan yaitu memberi contoh, pembiasaan, pengajaran, perintah, paksaan, hukuman, tindakan, dan pengalaman lahir dan batin.

Keenam instrumen itu bukan untuk saling dipertentangkan bahwa instrumen yang satu lebih unggul dari yang lain seperti misalnya pada pendidikan liberal (tanpa larangan dan hukuman) dan konservatif (dengan larangan dan hukuman).

Keenam instrumen tersebut dapat digunakan secara tepat pada periode usia tertentu peserta didik dan pada pribadi anak-anak tertentu sesuai dengan kebutuhan. Pada akhirnya, para guru pun memahami bahwa bagi KHD, pendidikan sejatinya hanyalah tuntunan.

Pendidikan menuntun segala kodrat yang ada pada peserta didik untuk keselamatan, kebahagiaan setinggi-tingginya peserta didik sebagai manusia di masyarakat.

Pendidikan bukan untuk mengubah kodrat. Pendidikan memberikan kemampuan kepada peserta didik untuk menguasai diri agar kodrat baiknya terus tumbuh berkembang dan menjaga agar kodrat buruknya dapat dikendalikan agar tidak menguasai dirinya.

Pada konteks ini, Kemendikbudristek, telah berada pada jalan yang baik dengan program guru penggerak dan diharapkan dapat diteruskan di kabinet mendatang.


*) Penulis adalah Kandidat Guru Penggerak.