Lombok Barat (ANTARA) - Warga Desa Batu Putih, Sekotong, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, mengembangkan restoran terapung di perairan laut sekitar Taman Wisata Perairan (TWP) Gita Nada sebagai objek wisata dan sumber pendanaan kegiatan pengawasan.
"Restoran apung ini dibangun atas inisiasi bersama antara masyarakat pesisir dengan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) NTB, dan WildLife Conservastion Society (WCS)," kata Ketua Yayasan "Deep Blue Sea" Multazam, di Lombok Barat, Selasa.
Yayasan "Deep Blue Sea" merupakan pihak yang diberikan kewenangan untuk mengelola restoran dengan nama "Eco-Blue Resto Apung" yang diresmikan pada 7 Februari 2018.
Sebagian besar anggota "Deep Blue Sea" adalah kelompok masyarakat pengawas (pokmaswas) di dalam kawasan TWP Gita Nada.
TWP Gita Nada yang berada di Desa Sekotong Barat, Pelangan, Gili Gede, dan Batu Putih, Kecamatan Sekotong, merupakan kawasan konservasi perairan. Kawasan konservasi itu terdiri atas tiga pulau, yakni Gili Nanggu, Gili Tangkong, dan Gili Sudak, dengan luas mencapai 21.332 hektare.
Kawasan konservasi tersebut telah dicadangkan melalui Surat Keputusan Gubernur NTB Nomor: 523-505 tahun 2016 tentang Pencadangan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Multazam mengatakan pengunjung yang datang ke restoran apung tidak hanya bisa menikmati menu dari hasil laut, tetapi juga bisa belajar dan terlibat langsung pada kegiatan konservasi bersama pokmawas.
"Kami memberikan ruang bagi pengunjung dalam rangka mendukung efektivitas pengelolaan kawasan konservasi di Gita Nada. Dengan begitu, wisatawan akan bertambah wawasannya mengenai pelestarian sumber daya pesisir," ujarnya.
Kepala Bidang Pengawasan dan Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, DKP NTB, Sasi Rustandi, berharap dengan beroperasinya resto apung tersebut dapat meningkatkan kesadaran masyarakat luas tentang arti penting menjaga kelestarian sumber daya pesisir.
Selain itu, juga berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan konservasi TWP Gita Nada.
"Dan tentunya resto apung tersebut dapat menjadi ikon wisata TWP Gita Nada untuk kita promosikan pada event-event pariwisata yang ada di NTB," katanya.
Sementara itu, Program Monitoring WCS Wilayah NTB Sukmaraharja Aulia Rachman Tarigan, mengatakan pengelolaan "Eco-Blue Resto Apung" memiliki konsep konservasi dan pariwisata yang berjalan beriringan.
Keberadaan restoran apung tersebut juga diharapkan menjadi salah satu solusi atas permasalahan ketersediaan pendaanaan untuk kegiatan pengawasan yang dilakukan pokmaswas.
"Resto apung tersebut merupakan inisiatif bersama untuk pengembangan sistem pendanaan berkelanjutan untuk kegiatan patroli dan penyadartahuan di TWP Gita Nada," katanya. (*)
Warga Lombok Barat mengembangkan restoran terapung laut
Restoran apung ini dibangun atas inisiasi bersama antara masyarakat pesisir dengan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) NTB, dan WildLife Conservastion Society (WCS