Dispar NTB Bedah Buku "Lombok Beribu Masjid"

id pariwisata ntb,lombok beribu masjid

Dispar NTB Bedah Buku "Lombok Beribu Masjid"

Dinas Pariwisata NTB menggelar bedah buku berjudul "Tanah Perempuan" karya Helvy dan "Lombok Beribu Masjid" karya Taufan.

Buku dari Pak Taufan ini sangat selaras dengan pariwisata Lombok yang dikenal sebagai Pulau Seribu Masjid, dan kini beliau mengulasnya tentang mengapa begitu banyak masjid di sini
Mataram (Antaranews NTB) - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat melalui Dinas Pariwisata NTB menggelar bedah buku berjudul "Tanah Perempuan" karya Helvy dan "Lombok Beribu Masjid" karya Taufan dalam rangkaian bulan suci Ramadhan.

Kepala Dinas Pariwisata NTB Lalu Muhammad Faozal di Mataram, Senin, mengatakan kehadiran dua penulis ini merupakan momentum berharga bagi masyarakat, terutama anak-anak muda NTB dalam berkarya.

"Beliau (Helvy) luar biasa dan sangat menginspirasi melalui karya-karyanya, termasuk karya filmnya juga yang belum lama ini tayang," ujarnya.

Sementara Taufan, ia katakan, merupakan putra NTB yang sudah lama melanglang buana ke luar daerah, namun tetap peduli dan memiliki perhatian yang besar akan kampung halamannya.

"Buku dari Pak Taufan ini sangat selaras dengan pariwisata Lombok yang dikenal sebagai Pulau Seribu Masjid, dan kini beliau mengulasnya tentang mengapa begitu banyak masjid di sini," terang Faozal.

Helvy mengaku gembira bisa berbagi pengalaman kepada masyarakat yang hadir, di mana didominasi anak-anak muda. Terlebih, acara bedah buku digelar di Islamic Center NTB yang merupakan ikon wisata halal NTB. Mengenai "Tanah Perempuan", Helvy mengatakan hal itu merupakan obsesinya sejak lama untuk menulis tentang perempuan nusantara yang banyak mengisahkan tentang sosok-sosok perempuan hebat dari bumi Nanggroe Aceh Darussalam di masa lampau hingga pasca tsunami.

"Saya lihat karakter perempuan Indonesia, terutama muslimah sangat kuat," katanya.

Helvy membeberkan idenya berawal saat bencana tsunami. Hatinya tergerak untuk membantu dengan apa yang bisa ia lakukan. Dua pekan setelah tsunami, ia berangkat ke Aceh, mulai berinteraksi dengan masyarakat, dan melihat betapa hebatnya perempuan-perempuan Aceh dalam berjuang bangkit dari keterpurukan.

"Dalam buku ini saya coba ambil beberapa sosok perempuan-perempuan ini luar biasa kisah kisah di Aceh," tutur Helvy.

Helvy meyakini sosok-sosok perempuan hebat tentu tak hanya ada di Aceh, melainkan juga di daerah-daerah lain, seperti di Lombok. Produser Film 212 the Power of Love itu mengaku rindu akan kehebatan perempuan dalam bentuk karya sastra, novel, bahkan film.

"Saya yakin banyak perempuan Lombok yang juga hebat-hebat; InsyaAllah perempuan Lombok juga hebat-hebat semua," jelasnya.

Sementara, Taufan mengaku buku "Lombok Beribu Masjid" merupakan sebuah penelitian dirinya sebagai Dosen Jurusan Desain Interior Institut Teknologi Nasional Bandung.

Taufan menjelaskan, buku ini berangkat dari sebuah penelitian dia yang berjudul "Arsitektur Mesjid Sebagai Adaptasi Keberlanjutan Orientasi Ruang dan Representasi Budaya Sasak di Lombok" yang dibiayai Lembaga Penelitian & Pengabdian Masyarakat (LPPM) Institut Teknologi Nasional Bandung.

"Ide awalnya, saya sering mengajak mahasiswa jurusan arsitektur ke Lombok. Komentar dari mahasiswa, teman-teman dosen tentang masjid di Lombok sangat banyak, megah berdiri di kampung-kampung, termasuk di kampung yang kumuh," ucapnya.

Taufan berharap buku ini membantu menjawab pertanyaan mengapa di Lombok begitu banyak mesjid sehingga disebut sebagai ?Pulau Seribu Mesjid? padahal lebih dari itu, dari 518 desa didalamnya ada 9000-an mesjid.

Ia menyebutkan, pola hunian tradisional Sasak di Lombok dibentuk oleh tata nilai yang mengikat masyarakatnya dalam suatu ruang budaya dengan sistem sosial kekerabatan yang kemudian membentuk pola lingkungan khas.

Terbentuknya struktur ruang budaya Sasak karena determinasi hubungan ruang dengan kegiatan terpola dari kehidupan sehari-hari yang dijalani, dilandasi oleh cara pandang masyarakat terhadap dunia (worldview) berbasis Islam yang menjadi semacam way of life.

"Cara hidup masyarakat Sasak tidak lain adalah bentuk konkret dari nilai-nilai budayanya yang menjadikan Mesjid sebagai pusat orientasi. Pola ini membentuk kantong hunian tradisional yang khas ber-hierarki, dari ruang kekerabatan keluarga (bale langgak), kemudian dusun sampai desa yang membentuk pola hubungan terstruktur dengan mesjid," katanya.

Judul Beribu Mesjid, kata dia, ambigu dari konotasi jumlah yang tidak seribu tapi beberapa ribu, dan posisi mesjid sebagai "induk/ibu" ruang, yang harus ada sebelum lingkungan hunian (dusun) terbentuk.

Karena itu, dalam konteks wisata halal dengan magnet image "Muslim Friendly", buku ini menjelaskan secara filosofis kepada pengunjung Lombok yang menyayangkan begitu banyaknya mesjid besar berdiri megah dengan menara menjulang tetapi di tengah dusun yang sangat sederhana (konotatif terlihat sebagai dusun miskin).

Sebelum menjadi identik dengan Islam, masyarakat Sasak lama (Lebung) yang animistik menggunakan objek alam seperti gunung, mata air dan pohon besar sebagai penanda tempat (ineun tetaok) dan pusat orientasi ruang budaya yang mistis-dinamisme.

Setelah menjadi Islam masyarakat Sasak melakukan adaptasi konsep ruang dan menjadikan mesjid sebagai pusat orientasi ruang budaya "Paer" yang mistis-religius. Kemudian mesjid menjadi "ibu ruang Paer" /ineun Paer, yang sejalan dengan teologi Islam yakni konsep Paer sebagai ruang penantian (sementara) di dunia keberadaan sebelum menuju akhirat yang abadi.

Buku ini dari penelitian yang menggunakan metode deskriptif-analitis-kualitatif berbasis pendekatan budaya lingkungan dengan mempertimbangkan fenomena budaya sebagai fokus penelitian.

Hasil penelitian ini menguraikan keterkaitan arsitektur mesjid dengan lingkungan ruang hunian dan dalam kaitannya dengan kosmologi Sasak, sehingga mesjid menjadi sangat dominan berperan merepresentasikan budaya masyarakat Sasak.

"Dalam konklusinya buku ini mengusulkan arah pembangunan masyarakat desa di Lombok yang sesuai worldview dan budaya selayaknya berbasis pada mesjid juga," tandasnya. (*)