Lombok Barat (Antaranews NTB) - Seorang pelaku usaha wisata di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, yang terdampak bencana gempa kini kesulitan membayar angsuran kredit perbankan.
Stephanie Lena Allen, pemilik White Rose Homestay di Batu Layar, Kabupaten Lombok Barat, Rabu (29/8), mengaku kesulitan membayar angsuran kreditnya meskipun telah diberikan persyaratan khusus oleh perbankan.
"Pendapatan saya cuma dari penginapan ini pak, setelah gempa 5 Agustus, kondisinya sudah sepi, tidak ada tamu lagi. Jadi bagaimana bisa bayar angsuran. Saya bingung," kata Lena.
Salah seorang pelaku usaha wisata yang nafkah hidupnya dari penyewaan kamar harian ini menyatakan bencana gempa yang bertubi-tubi mengguncang Lombok, membuat roda ekonominya macet.
"Belum lagi bayar gaji karyawan. Saya tahu karyawan saya juga butuh bayar utang mereka di bank, tapi untungnya mereka mengerti, pendapatan bulan ini lagi kosong," ujarnya.
Meskipun tujuh kamar penginapannya yang berada dekat dengan objek wisata Senggigi, Kabupaten Lombok Barat, masih kokoh, namun hal tersebut tidak berarti pendapatannya tetap baik.
"Siapa yang mau menginap dalam kondisi begini, Senggigi saja sepi, apalagi wilayah sini," katanya.
Ketika bersama wartawan Antara, Lena mendapat pesan singkat dan telepon yang berisi tagihan pembayaran angsuran kredit dari pihak perbankan yang terdaftar dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Dalam pesan singkatnya, pihak perbankan mengingatkan Lena terkait pembayaran angsuran kreditnya yang telah lewat dari tenggat. Karena itu, dia diminta untuk menyiapkan dana angsuran dalam rekeningnya.
"Padahal sepekan sebelum jatuh tempo, saya sudah kabarkan pihak bank, minta keringanan, tapi kenapa masih ditagih. Seharusnya dikasih keringanan untuk kami di sini," ucap Lena.
Lena langsung menghubungi pelayanan pelanggan dari pihak perbankan.
Dari keluhan yang dia sampaikannya, pihak perbankan memberikan kelonggaran hingga 20 hari sejak jatuh tempo pembayaran angsurannya pada akhir Agustus. Namun, jika si debitur tidak juga melunasi tagihannya, maka pihak perbankan akan melakukan penyitaan.
Meskipun diberikan kelonggaran hingga 20 hari ke depan, dalam pembicaraannya dengan pihak perbankan, Lena mengaku khawatir tidak mampu melunasi angsurannya.
"Pariwisata kita lumpuh mbak, tidak tahu kondisi ini sampai kapan, bisa sampai berbulan-bulan. Untuk yang September saja banyak tamu yang `cancel`, dari mana mau dapat uang mbak," katanya kepada petugas perbankan melalui telepon seluler.
Menanggapi hal tersebut, petugas perbankan menawarkan opsi kedua, dengan pembiayaan kreditnya dialihkan ke debitur baru.
"Kondisi begini, siapa yang mau over kredit`, kalau pun ada uang, pada perbaiki rumah, mohon dibantu kami mbak, apa tidak ada toleransi, selama ini saya sudah 23 kali bayar tidak pernah menunggak," ujarnya menanggapi.
Alternatif terakhir, Lena kemudian ditawarkan untuk membuat semacam nomor ID Pelaporan. Namun dari pelaporan ini, pihak debitur harus datang ke kantor perbankan yang ada di daerah untuk melaporkan permasalahan yang menyebabkannya tidak mampu membayar kredit.
Dari pembicaraannya, pihak perbankan menyatakan catatan laporan ini nanti menjadi bahan perimbangan kebijakan pimpinan di daerah.
"Kalau begitu, untuk sementara ini ibu menggunakan ID Pelaporan terkait penundaan angsuran, tapi pertimbangannya seperti apa, akan diinformasikan kembali, semuanya tergantung dari kebijakan pimpinan cabang kami di daerah," kata Windy, petugas perbankan melalui telepon selulernya.
Sesuai dengan keterangan resmi yang disampaikan OJK pada tanggal 23 Agustus lalu, perlakuan khusus diterapkan terhadap kredit dan pembiayaan syariah dari perbankan yang dimiliki debitur maupun proyek di lokasi terdampak gempa.
Perlakuan khusus yang diberikan, mengacu pada Peraturan OJK Nomor 45/POJK/03/2017 tentang perlakukan khusus terhadap kredit atau pembiayaan bank bagi daerah tertentu di Indonesia yang terkena bencana alam.
Salah satunya berkaitan dengan kredit yang direstrukturisasi. Pihak perbankan diminta memberikan restrukturisasi dalam bentuk pemberian masa tenggang atau kelonggaran waktu (grace period) untuk membayar angsuran dan keringanan lain yang menyesuaikan kondisi debitur. (*)