Mataram (ANTARA) - Dalam sistem demokrasi yang sehat, meritokrasi merupakan prinsip fundamental dalam tata kelola pemerintahan. Konsep ini menekankan bahwa posisi jabatan publik, terutama dalam birokrasi dan perangkat daerah, semestinya diisi oleh individu yang memiliki kompetensi, kapabilitas, dan rekam jejak profesional yang teruji—bukan semata-mata karena kedekatan politik atau hubungan kekeluargaan.
Di Nusa Tenggara Barat (NTB), pasangan kepala daerah Ikbal–Dinda kini tengah menjadi sorotan. Bukan semata karena elektabilitas atau kebijakan publiknya, melainkan karena bagaimana mereka membentuk tim kerja dan pengambilan keputusan strategis di level pemerintahan. Pertanyaannya, sejauh mana komitmen pasangan ini terhadap prinsip meritokrasi, dan apakah langkah-langkah mereka sesuai dengan norma hukum yang mengatur tata kelola pemerintahan?
1. Meritokrasi dalam Perspektif Hukum Administrasi
Secara normatif, sistem kepegawaian daerah diatur dalam UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Pasal-pasal dalam undang-undang tersebut menegaskan bahwa setiap pengangkatan jabatan pimpinan tinggi harus melalui proses seleksi terbuka dan berbasis pada sistem merit. Selain itu, Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil juga memperjelas tata cara pengisian jabatan yang akuntabel dan transparan.
Apabila terjadi pengangkatan pejabat berdasarkan unsur kedekatan politik—misalnya loyalis atau kerabat politik—tanpa melalui mekanisme seleksi yang sah, maka bukan hanya nilai meritokrasi yang dikhianati, tetapi juga terjadi pelanggaran asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), seperti asas kecermatan, kepatutan, dan akuntabilitas.
2. Politik Lokal dan Praktik Nepotisme Terselubung
Salah satu tantangan terbesar dalam penerapan meritokrasi di level lokal adalah dominasi politik dinasti dan praktik patronase. Dalam konteks NTB, wacana yang beredar mengenai keterlibatan figur-figur dekat secara personal dengan Ikbal atau Dinda dalam pengisian jabatan publik menimbulkan pertanyaan etis dan yuridis.
Perlu ditegaskan bahwa hukum tidak melarang seseorang dengan hubungan personal untuk menduduki jabatan publik—selama prosesnya legal, terbuka, dan sesuai prosedur. Namun, jika proses seleksi hanya formalitas dan hasilnya telah dikondisikan, maka yang terjadi bukanlah pelanggaran administratif semata, tetapi bisa masuk dalam ranah maladministrasi bahkan korupsi kolusi dan nepotisme (KKN), yang jelas bertentangan dengan semangat reformasi birokrasi.
3. Peran Pengawasan dan Transparansi
Untuk memastikan penerapan meritokrasi, peran Komisi ASN, Ombudsman, dan masyarakat sipil sangat penting. Setiap proses pengisian jabatan harus dapat diakses publik, dan jika ditemukan indikasi pelanggaran, jalur pengaduan administratif dan hukum harus dioptimalkan. Di sisi lain, transparansi informasi publik—sebagaimana diatur dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik—harus dijadikan instrumen pengawasan partisipatif oleh warga NTB.
4. Penutup
Komitmen terhadap meritokrasi bukan sekadar janji kampanye atau jargon reformasi birokrasi, tetapi sebuah kewajiban hukum dan etika yang melekat pada setiap pemimpin daerah. Ikbal–Dinda masih memiliki waktu dan ruang untuk menunjukkan bahwa kepemimpinan mereka berpijak pada hukum, bukan pada loyalitas sempit atau pragmatisme politik.
Langkah mereka akan menjadi cermin: apakah mereka sekadar melanjutkan tradisi lama kekuasaan, atau benar-benar membawa angin baru meritokrasi di NTB.
*) Penulis adalah Praktisi dan Dosen Magister Hukum Pascasarjana Univeritas Muhammadiyah Mataram dan Majelis Hukum Dan HAM Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Mataram 2022-2027