Mataram (ANTARA) - Tulisan ini merupakan respons atas artikel opini yang ditulis oleh Budiana Irmawan yang menyoroti paradoks antara ambisi politik populis Presiden Prabowo dengan realitas fiskal yang ketat di masa awal pemerintahannya. Secara akademis, artikel tersebut mengangkat persoalan klasik dalam kajian kebijakan publik, yaitu ketegangan antara political will dan fiscal reality.
Presiden Prabowo sebagaimana dikritisi dalam tulisan Irmawan, dihadapkan pada dua sisi tekanan yang saling bertolak belakang. Di satu sisi terdapat “tuntutan politik” untuk merealisasikan janji kampanye populis seperti program makan siang gratis dan berbagai kebijakan kerakyatan lainnya. Di sisi lain, terbentang “keterbatasan fiskal” akibat tingginya beban utang jatuh tempo yang mencapai Rp 800,33 triliun, ditambah penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yang terus meningkat dan telah mencapai Rp 472,6 triliun hingga pertengahan tahun.
Melalui artikel tersebut, Irmawan mengarahkan pembacanya pada satu pertanyaan reflektif: apakah model program populis berbasis utang ini dapat berjalan secara berkelanjutan? Apalagi jika hasil kebijakan yang diusung sulit diukur secara konkret dalam jangka pendek, sementara tekanan atas Kesehatan fiskal negara terus meningkat.
Dari sudut pandang hukum tata negara, situasi tersebut memperlihatkan potensi ketegangan antara kebijakan anggaran dengan prinsip keberlanjutan fiskal (fiscal sustainability). Kebijakan fiskal yang diambil oleh pemerintah, termasuk kebijakan berbasis utang untuk membiayai program-program populis, pada hakikatnya harus tunduk pada prinsip-prinsip akuntabilitas keuangan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UUD NRI Tahun 1945 dan dioperasionalkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Dalam kerangka hukum tata negara, APBN bukan sekedar instrumen anggaran, tetapi merupakan bentuk kontrak sosial antara pemerintah dengan rakyat yang disahkan oleh DPR sebagai representasi politik rakyat. Oleh karena itu, penggunaan utang negara untuk pembiayaan program populis seharusnya tidak hanya mempertimbangkan aspek kepentingan politik jangka pendek, tetapi juga menjaga keseimbangan keuangan negara demi keberlangsungan hak-hak konstitusional rakyat di masa depan.
Lebih lanjut, ketentuan batas defisit anggaran, mekanisme pengawasan fiskal oleh DPR, dan prinsip pengelolaan keuangan negara yang transparan, efisiensi, akuntabel, dan berkelanjutan sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, sejatinya menjadi pagar hukum bagi setiap Presiden – termasuk Presiden Prabowo – dalam merumuskan kebijakan anggaran agar tidak terjebak dalam jebakan “populis sesaat” dengan mengorbankan stabilitas fiskal di masa mendatang.
Lantas bagaimana dengan analogi “Chili Paradoks” dikaitkan dengan situasi Indonesia. Chili Paradoks sendiri merujuk pada fenomena di mana pertumbuhan ekonomi dan indikator makro suatu negara menunjukkan perbaikan, tetapi ketidakpuasan rakyat tetap tinggi akibat ketimpangan, pelayanan publik yang stagnan, dan rasa ketidakadilan yang makin terasa.
Fenomena ini memuncak di Chili pada 2019, ketika protes besar meletus karena kenaikan tarif transportasi, namun sebenarnya ketidakpuasan itu sudah lama menumpuk soal akses Pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial yang tidak sebanding dengan biaya hidup dan harapan kelas menengah.
Apakah bisa terjadi di era Prabowo? Jawabannya, sangat mungkin bahkan bibitbibitnya sudah terlihat. Kelas menengah Indonesia bukan lagi segmen pasif, mereka kritis, tech-savvy, dan punya ekspektasi tinggi. Jika program-program populis seperti makan siang gratis atau bantuan sosial lebih menyasar akar rumput tanpa ada transformasi nyata dalam layanan publik (pendidikan, kesehatan, transportasi, keamanan, hukum), kelas menengah akan merasa negara tidak memihak mereka.
Bahkan, di tengah defisit APBN dan ketergantungan terhadap utang, bila pelayanan publik mandek, sedangkan pemerintah tampak lebih fokus pada program jangka pendek yang politis – ketidakpercayaan publik bisa meningkat, dan legitimasi Presiden Probowo bisa tergerus. Apalagi, dalam era digital seperti sekarang, ketidakpuasan ini mudah sekali mengkristal lewat media sosial, menciptakan efek bola salju opini publik – seperti yang juga terjadi di Chili.
Jadi benang merahnya, jika pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan perbaikan kongkret pada layanan publik, ketimpangan sosial dan ekonomi bisa memicu ketidakpuasan. Delegitimasi bisa muncul bukan karena Indonesia krisis, tetapi karena rakyat terutama kelas menengah merasa aspirasi dan hak-hak dasarnya diabaikan.
Selain itu, pemerintah yang hanya mengejar citra populis tanpa pembenahan struktur pelayanan publik akan mudah kehilangan kepercayaan, walaupun indikator ekonomi kelihatan positif.
Di Tengah ketatnya ruang fiskal dan tingginya ekspetasi publik terhadap program-program populis, kepemimpinan Presiden Prabowo dituntut untuk menemukan titik keseimbangan antara visi politik yang pro-rakyat dengan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan keuangan negara. Komitmen pada tata kelola fiskal yang konstitusional dan berbasis pada keberlanjutan jangka panjang adalah ujian nyata bagi pemerintahan Prabowo.
Jika dilema antara political will dan fiscal reality tidak diselesaikan dengan bijaksana, bukan tidak mungkin, seperti yang diingatkan Budiana Irmawan, ketidakpuasaan publik yang tertunda akan berubah menjadi krisis kepercayaan yang sulit dibendung di masa mendatang. Terlepas dari Pro kontra, artikel opini yang ditulis oleh Budiana Irmawan adalah “alarm awal” mengingatkan bahwa tanpa perencanaan fiskal yang rasional dan tanpa reformasi pajak atau pembenahan postur belanja negara, kebijakan populis bisa menjadi boomerang – menciptakan defisit yang tidak terkendali dan memperlemah daya tahan ekonomi negara.
Krirtik ini patut dicermati sebagai bagian dari proses check and balance, apalagi dalam sis presidensial kuat seperti Indonesia saat ini, di mana kekuasaan eksekutif harus selalu dikontrol oleh logika fiskal, bukan semata-mata dorongan politik elektoral.
*) Penulis adalah Dosen Pascasarjana Universitas Pamulang