Tajuk ANTARA NTB - Dari Lirboyo, kita belajar arti kebijaksanaan

id Tajuk ANTARA NTB ,ponpes lirboyo,santri,kiai,pesantren,trans7,media,kebijaksanaan Oleh Abdul Hakim

Tajuk ANTARA NTB - Dari Lirboyo, kita belajar arti kebijaksanaan

Mengaji Kitab Kuning Santri mengaji kitab kuning (kitab klasik berbahasa arab gundul) di komplek pondok pesantren (ponpes) Lirboyo, Kota Kediri, Jawa Timur, Minggu (28/5). Memasuki bulan Ramadan ratusan santri musiman dari sejumlah daerah mengaji kitab kuning di salah satu ponpes terbesar se-Jawa Timur tersebut hingga meluber ke pinggir jalan. Antara Jatim/Prasetia Fauzani/zk/17

Mataram (ANTARA) - Beberapa hari terakhir, publik diramaikan oleh tayangan televisi yang menyinggung tradisi pesantren. Di ruang digital yang gaduh, berbagai reaksi pun bermunculan mulai dari kecaman, klarifikasi, hingga permintaan maaf terbuka.

Namun di balik hiruk-pikuk itu, ada pelajaran yang lebih dalam untuk direnungkan, yakni betapa sering kita lupa memandang pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan agama, melainkan lentera peradaban yang selama lebih dari seabad menerangi jalan bangsa.

Dan di antara lentera-lentera itu, Pondok Pesantren Lirboyo di Kediri berdiri tegak sebagai simbol keilmuan, kesederhanaan, dan keteguhan moral. Didirikan pada tahun 1910 oleh K.H. Abdul Karim, pesantren ini lahir dari semangat menyalakan cahaya di tengah kegelapan sosial.

Saat itu, kawasan Kediri dikenal rawan kejahatan dan kemerosotan moral. Dari dusun kecil bernama Lirboyo, sang kiai menyalakan obor ilmu dan membangun tatanan baru berbasis nilai-nilai Islam yang rahmatan lil alamin.

Sejarah mencatat, para santri Lirboyo bukan hanya duduk di depan kitab, tapi juga turun ke medan perjuangan. Pada masa revolusi kemerdekaan, mereka ikut melucuti senjata tentara Jepang dan melawan pasukan Sekutu di Surabaya di bawah semangat Resolusi Jihad yang dikumandangkan Hadratussyaikh K.H. Hasyim Asy’ari. Ratusan santri berangkat membawa semangat jihad dan kembali dengan kepala tegak. Mereka membawa kisah iman yang berani dan pengabdian yang tulus.

Warisan perjuangan itu kini hidup dalam setiap langkah santri Lirboyo. Sejak 1925, pesantren ini sudah mengenalkan sistem kelas formal melalui Madrasah Hidayatul Mubtadiin, tanpa menanggalkan metode tradisional seperti sorogan dan bandongan. Modernisasi di Lirboyo tidak berarti meninggalkan tradisi; justru memperkaya cara belajar agar akal dan akhlak tumbuh seimbang.

Kini, puluhan ribu santri menimba ilmu di kompleks luas pesantren ini. Fasilitas modern hadir, mulai dari laboratorium bahasa hingga rumah sakit, tetapi ruhnya tetap sama, yakni keikhlasan, kesederhanaan, dan penghormatan kepada guru.

Di sinilah sering muncul kesalahpahaman bahwa sebagian media, dalam niat mengungkap fenomena, memandang pesantren hanya dari luar pagar. Apa yang tampak sederhana dianggap kolot; apa yang tampak ritual dituding irasional.

Padahal di balik itu tersimpan tatanan nilai yang rapi, yaitu penghormatan, adab, dan spiritualitas yang menuntun manusia mengenal hakikat dirinya.

Kasus tayangan yang menyinggung pesantren beberapa hari ini seharusnya menjadi pengingat bagi dunia media. Dalam etika jurnalistik, memahami konteks budaya sama pentingnya dengan menyajikan fakta.

Pesantren bukan sekadar objek berita, tetapi ekosistem nilai yang membentuk watak kebangsaan. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pernah menyebut pesantren sebagai subkultur--dunia dengan logika dan tata nilai tersendiri, yang justru melengkapi mozaik kebudayaan nasional.

Permintaan maaf terbuka dari stasiun televisi yang bersangkutan tentu layak diapresiasi. Namun yang lebih penting adalah menjadikannya pelajaran kolektif bagi seluruh pelaku media.

Dalam meliput pesantren, wartawan tidak sedang menyorot “yang asing”, melainkan menggali kembali akar kebijaksanaan bangsa. Di sisi lain, pesantren juga perlu memperkuat literasi digital dan kemampuan komunikasi publik agar nilai-nilai luhur yang dijaga bisa diterjemahkan secara jernih di ruang informasi modern.

Ketika dua dunia ini, yakni media dan pesantren bersedia saling memahami, yang lahir bukan benturan persepsi, melainkan sinergi pengetahuan dan nilai.

Selama lebih dari satu abad, Lirboyo menyalakan lentera dari ruang-ruang sederhana di Kediri hingga pelosok nusantara. Lentera itu telah menerangi banyak jalan gelap mulai dari kolonialisme, krisis moral, hingga kebodohan.

Kini, di tengah hiruk-pikuk zaman digital, lentera itu tetap menyala, seakan mengingatkan bahwa keberadaban tidak lahir dari sorotan kamera, melainkan dari kesabaran, doa, dan ilmu yang diamalkan.

Polemik boleh berlalu, tetapi makna Lirboyo tak akan pernah padam. Ia tetap berdiri sebagai rumah kebijaksanaan bangsa. Tempat di mana nilai dan akal sehat bertemu, dan setiap anak negeri belajar untuk tidak hanya pintar, tetapi juga benar.

Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - NTB di persimpangan fiskal: Saatnya mandiri dari dana pusat
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - MotoGP Mandalika: Pesta Dunia, PR bersama
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - BTT NTB: Dana darurat atau kotak hitam?
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Turide di persimpangan: Siapkah NTB menghadapi PON 2028?
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB: Profesionalisme Tim Percepatan NTB yang dipertaruhkan
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB- Di balik asap insinerator, PR sampah Mataram belum usai



COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.