PULAU LOMBOK DAERAH ENDEMIS RAWAN PANGAN

id

Mataram, 24/1 (ANTARA) - Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), HM Zainul Majdi mengatakan, prasasti di daerah Lombok Barat bagian selatan dan catatan sejarah lainnya menunjukkan bahwa pulau Lombok merupakan daerah endemis rawan pangan, sehingga dimungkinkan setiap saat terjadinya kerawanan tersebut.
Dalam sambutan tertulis dibacakan Staf Ahli Bidang Kesehatan Pemprov NTB, Soedaryanto di Mataram, Sabtu, ia mengatakan, karena itu sejak tahun 1970-an telah dicetuskan suatu pendekatan yang disebutkan Sistem Isyarat Dini dan Intervensi (SIDI) yang kemudian berkembang menjadi Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG).
"Alhamdulillah dengan sistem ini kita mampu mengantisipasi secara dini ancaman kelaparan atau rawan pangan, sehingga tidak berkembang menjadi wabah gizi buruk atau busung lapar," katanya pada acara seminar sehari 'Setengah Abad Perbaikan Gizi Anak di NTB'.
Bahkan, katanya, pada tahun 1980-an Provinsi NTB mendapat penghargaan internasional di bidang pangan dan sampai saat ini kita wajib bangga, karena daerah ini merupakan salah satu lumbung pangan nasional.
Ia mengatakan, dalam pengembangan SKPG kata kunci yang menentukan adalah komitmen dan kerjasama antara semua pelaku pembangunan, tidak hanya pemerintah, melainkan juga komitmen para tokoh masyarakat, tokoh agama dan swasta, dan ini harus dilakukan agar segala upaya yang telah dilakukan dapat berjalan lebih terkoordinasi, efektif dan sinergis.
Di awal tahun 1970-an juga dikembangkan suatu pendekatan intervensi gizi yang intensif, yang disebut Nutrition Intervention Program (NIP) bekerjasama dengan Unicef, program ini lebih mementingkan perubahan prikaku masyarakat dalam perbaikan gizi, sehingga melahirkan kegiatan kelompok timbang (Pokbang) yang kemudian berevolusi menjadi Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu).
Menurut dia, saat ini Posyandu merupakan pilihan yang efektif dalam mengatasi berbagai permasalahan kesehatan, khususnya gizi buruk, munculnya kasus gizi buruk bebera waktu lalu di Provinsi NTB dan juga provinsi lainnya telah menempatkan Posyandu sebagai "kambing hitam".
Alasannya memang logis, proses anak menjadi gizi buruk diperkiraian dua hingga tiga bulan, sehingga mestinya selama kurun waktu ini seorang Bayi Di Bawah Lima Tahun (Balita) harus terdeteksi lebih dini untuk kemudian mendapat penanganan kesehatan yang memadai.
Namun, katanya, deteksi dini akan terjadi jika Posyandu terkelola dengan baik dan para orang tua rajin membawa putra putri mereka ke Posyandu.
Kenyataanya angka kunjungan Balita ke Posyandu hanya sekitar 60 persen, denga kata lain masih ada skitar 40 persen Balita yang tidak terpantau kondisi kesehatannya setiap bulan, kondisi inilah yang kemudian berpotensi memunculkan kasus gizi buruk pada balita.
Perbaikan gizi anak di NTB semakin menggembirakan, ini ditandai dengan menurunnya kasus gizi buruk pada bayi balita dari 8,4 persen menjadi 8,1 persen dan angka gizi kurang turun dari 33,3 persen menjadi 24,8 persen, tentu saja ini merupakan percepatan yang luar biasa.
"Kita berhasil menekan masalah gizi balita dari sepertiga menjadi seperempat, hanya dalam waktu tiga tahun, akselerasi yang lebih kita harapkan dapat diwujudkan dalam program yang lebih efektif di masa-masa mendatang," katanya. (*)