Mataram (ANTARA) - Pasangan suami istri, Apip Sutardi (44) dan Mindie Melanie Schreurs (33) bisa dikatakan sebagai lentera atau pelepas dahaga bagi penyandang disabilitas di bumi Lombok yang dahulunya dikenal dengan sebutan Sunda Kecil.
Bagaimana tidak, melalui tangan dingin keduanya itu telah membuka mata masyarakat bahwa penyandang disabilitas itu tak perlu "disembunyikan" atau dianggap penyakit kutukan. Penyandang disabilitas itu bisa dilatih melalui tips tertentu hingga memiliki kepercayaan diri untuk menghadapi masa depannya dengan penuh optimistis.
Keduanya dengan penuh kesabaran melalui Yayasan Lombok Care yang dikelolanya itu melakukan "jemput bola" dengan mendatangi dari kampung ke kampung di Pulau Lombok, untuk mendapatkan informasi keberadaan penyandang disabilitas yang kemudian dibinanya.
Tentunya tak mudah dengan cara turun ke bawah itu, karena terkadang mereka menghadapi kendala seperti masih menganggap bahwa penyandang disabilitas itu harus disembunyikan. Bahkan untuk menyembuhkan, ada yang membawa anak mereka itu ke dukun.
"Seperti saya pernah mengalami ada kepala desa yang tidak mau mengaku ada warganya yang menyandang disabilitas," kata Mindie dalam acara HUT Sewindu Yayasan Lombok Care di Lombok Barat, Minggu (19/6) malam.
Hal itu, perlu kesabaran untuk memberikan informasi yang sebenar-benarnya soal penyandang disabilitas. Bahkan yang lebih parahnya lagi ada yang menggunakan kata "cacat" bagi mereka, padahal jelas-jelas saat ini dikenal dengan sebutan disabilitas.
Bahkan mereka juga pernah mendapatkan Posyandu Puskesmas di salah satu daerah di Lombok yang tidak mengetahui sama sekali ada warga yang menyandang disabilitas. "Padahal di daerah itu ada 12 penyandang disabilitas, tapi pas ditanya jawabannya tidak tahu," kata Apip pria kelahiran Ciamis itu sembari geleng-geleng kepala.
Atau ada juga yang menganggap untuk mengatasi penyandang disabilitas cukup dengan memberikan bantuan sembako. "Padahal bukan sembako yang diperlukan tapi perhatian terhadap mereka melalui pendidikan dan pembinaan," katanya.
Apa yang dialami Apip dan Mindie di atas itu merupakan secuil pengalamannya belum segudang tantangan lainnya yang mesti dilalui. Kesemuanya dijalankan dengan ketulusan dan keikhlasan dengan satu tujuan untuk membina penyandang disabilitas.
Sekaligus untuk menunjukkan bahwa penyandang disabilitas berhak untuk mendapatkan perhatian yang layak khususnya pendidikan.
Bagaimana cara Yayasan Lombok Care berdiri di Pulau Lombok pada 7 Juni 2012 itu dalam menangani penyandang disabilitas?. Dengan ketelatenannya melatih mereka yang semula tidak bisa berjalan, akhirnya bisa berjalan atau mereka yang tak bisa berbicara akhirnya bisa berbicara.
Semuanya itu melalui fisioterapi. Fisioterapi wicara, okupasi sampai perilaku. Fisioterapi itu tersedia di Yayasan Lombok Care.
Bahkan ada penyandang disabilitas yang ditolak masuk sekolah luar biasa (SLB) karena sejumlah alasan terutama soal fisik. Padahal, kata dia, tidak bisa begitu saja menolaknya kalau tanpa dibarengi dengan terapi dahulu.
"Kami menampung mereka yang tidak masuk ke SLB, tentunya melalui fisioterapi dahulu," kata Apip yang juga terkenal dengan pecipta lagu anak-anak di Pulau Lombok itu.
Intinya antara pendidikan umum di SLB dengan fisioterapi harus berjalan bersamaan, katanya seraya menyebutkan adanya murid yang semua tidak bisa berjalan jadi bisa berjalan, dirinya disebut dukun.
"Ada yang menyebut saya dukun," katanya sembari tersenyum.
Mereka yang tidak diterima ke SLB itu, ditampung melalui SLB Pelangi Lombok Care. Saat ini Yayasan Lombok Care membina sebanyak 120 penyandang disabilitas yang berasal dari sejumlah daerah di Nusa Tenggara Barat.
Seni sebagai alat terapi
Apip dan Mindie juga menggunakan kesenian sebagai alat terapi untuk, dari seni musik, seni lukis, sampai teater. "Kesenian itu penting bagi mereka, suara indah bisa menumbuh kembangkan mereka," katanya.
Salah satu kreatifitas dari penyandang disabilitas tergambarkan dalam film pendek yang berjudul Alma yang pemain perannya tak lain dari murid-murid Lombok Care.
Mereka begitu lancar dan orisinalnya memainkan film pendek, mereka tak kalah dengan anak-anak pada umumnya.
Film Alma itu menceritakan seorang gadis kecil yang ingin bercita-cita menjadi pramugari yang kemudian ingin mengikuti fashion show baju muslim.
Rekannya memberikan semangat untuk bisa mengikuti fashion show itu sembari meminta Alma untuk terus bersemangat belajar berjalan. Bahkan saat seorang putri kecantikan berkunjung ke sekolahannya di Lombok Care, semakin menambah motivasi untuk mengikuti ajang fashion show itu.
Dengan melangkah percaya diri, Alma berjalan sembari menggunakan alat bantu dia mengikuti lantai ajang model itu. Semuanya dilewatinya dengan lancar.
Film pendek Alma itu menunjukkan bahwa mereka mampu berkreatifitas sekaligus untuk melawan stereotip miring terhadap para penyandang disabilitas.
"Kesenian itu penting bagi mereka," ulang Kang Apip.
Jam tangan menunjukkan pukul 22.00 WITA, acara menyambut HUT Sewindu Yayasan Lombok Care itu pun berakhir. Alma dan rekan-rekannya pulang ke rumah masing-masing dengan senyuman yang menggambarkan optimistis dalam mengarungi kehidupan ke depannya.
Apip Sutardi dan Mindie Melanie Schreurs pun segera beristirahat dan bermimpi untuk mewujudkan mimpi-mimpinya dalam membina atau mendidik penyandang disabilitas di Pulau Lombok.
Keduanya pun layak diberi sebutan Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.