Tiga Catatan Untuk Pelabuhan Patimban

id Pelabuhan

Tiga Catatan Untuk Pelabuhan Patimban

Direktur Namarin Siswanto Rusdi (Dok. pribadi)

Mataram (ANTARA) - Pelabuhan Patimban tinggal menghitung hari saja menuju jam-H peresmiannya oleh Presiden Joko Widodo kendati belum ada kepastian waktu kapan Kepala Negara akan menggunting pita pertanda dioperasikannya pelabuhan di Kabupaten Subang, Jawa Barat itu.

Walaupun sohibul hajat, Kementerian Perhubungan, mengklaim bahwa peluncuran Pelabuhan Patimban sudah mendekati seratus persen, tetap saja masih tersisa banyak celah  teknis dan non-teknis  yang dapat ditemukan dengan mudahnya pada proyek tersebut.

Ada tiga catatan yang bisa diberikan terhadap pelabuhan yang digadang-gadang sebagai pelabuhan terbesar di Indonesia itu. Pertama, ada nuansa terburu-buru (in a hurry) dalam pengoperasiannya, padahal terburu-buru berpotensi menciptakan inefisiensi.

Semua pihak harus berkaca pada Bandara Kertajati yang disebut-sebut sebagai bandara alternatif masyarakat Jawa Barat, tapi kini justru lebih banyak menganggur.

Apa urgensi pengoperasian Pelabuhan Patimban dalam waktu dekat ini? Tidak ada kondisi yang mendesak bagi pemerintah untuk terburu-buru mengoperasikannya. Bila disebut-sebut menjadi gerbang keluar-masuk ekspor/impor, ia tidak akan terjadi dalam tiga atau empat tahun ke depan.

Aktivitas ekspor maupun impor masih cenderung turun atau stagnan karena terdampak Covid-19. Di Pelabuhan Tanjung Priok saja menunjukkan bahwa penurunan arus petikemas masih terjadi hingga kuartal ketiga tahun ini.

Infrastruktur pendukung pelabuhan belum siap untuk menjadi alternatif pintu gerbang ekspor-impor. Pengamatan langsung penulis ke lapangan, sejauh ini belum ada satu pun industri yang beroperasi di sekitarnya.

Kedua, kesiapan operator pelabuhan. Hingga saat ini, komunitas maritim nasional masih bertanya-tanya siapa yang akan menjadi operator Pelabuhan Patimban. Pemerintah belum menetapkan operator, meskipun CT Corp telah ditunjuk sebagai satu-satunya konsorsium yang lolos prakualifikasi lelang.

Korporasi ini tidak dikenal rekam jejaknya dalam kancah bisnis kepelabuhanan. Beberapa konsorsium besar yang punya nama, pengalaman dan keahlian yang juga ikut proses dimaksud malah berguguran terganjal aturan lelang yang membingungkan. Terasa sekali ada kepentingan politis di balik ini semua.

Ada yang menarik dari konsorsium CT Corp ini. Entitas ini baru beranggotakan perusahaan dari pihak Indonesia, yaitu PT Indika Logistics & Support Services, PT U Connectivity Services, dan PT Terminal Peti Kemas Surabaya.

Tidak ada mitra Jepang sama sekali. Perusahaan dari Jepang seharusnya sudah bergabung ke dalam konsorsium tersebut dengan komposisi saham seperti yang diperjanjikan antara pemerintah Indonesia dan Jepang 51:49.

Barangkali, belum bergabungnya perusahaan asal Negeri Matahari Terbit ke dalam konsorsium besutan konglomerat Chairul Tanjung tadi karena skema/bentuk legalitas kerjasama pengoperasian Pelabuhan Patimban bercorak two steps.

Maksudnya, konsorsium CT Corp memang sengaja diisi oleh perusahaan Indonesia yang akan berbagi habis jatah 51 persen saham Merah Putih di antara mereka. Mereka kemudian akan bermitra dengan perusahaan Jepang (bisa konsorsium juga atau entitas tunggal) yang memegang sisa 49 persen saham dalam sebuah usaha patungan baru.

Kemenhub dan CT Corp terutang penjelasan kepada publik terkait bentuk badan hukum yang akan menjalankan Pelabuhan Patimban selama masa konsesi 40 tahun ke depan. Apakah skemanya seperti yang diuraikan di muka atau bentuk lainnya.

Kejelasan diperlukan untuk menghindari kerugian negara karena membayar pinjaman pembangunan Pelabuhan Patimban, di mana hal ini disebabkan oleh sumirnya legalitas kerjasama para pihak dalam manajemen perusahaan operator pelabuhan itu.

Ketiga, kemampuan operator sementara. Belum keluarnya penetapan operator Pelabuhan Patimban menyebabkan Kemenhub menunjuk Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Patimban sebagai operator sementara sampai terpilihnya operator definitif; konon katanya akan berlangsung selama dua bulan saja.

Penugasan ini memiliki dua kelemahan utama, yakni sumberdaya manusia dan anggaran untuk mengelola pelabuhan/terminal yang ada di tubuh unit kerja tersebut.

Saat berkunjung ke Pelabuhan Patimban pada November lalu, selain melihat-lihat kemajuan pekerjaan teknis perkonstruksian, saya juga mengamati para staf KSOP Patimban. Sebagian dari mereka adalah anak muda yang mungkin saja tugas pertamanya di bidang kepelabuhanan diminta mengurus pelabuhan tersebut.

Di sisi lain, pengoperasian sebuah pelabuhan memerlukan pemahaman dan jam terbang yang bukan kaleng-kaleng. Pemahaman akan port operation yang cekak akan sangat memengaruhi kinerja pelabuhan/terminal. Taruhannya adalah efisiensi logistik yang digadang-gadang menjadi salah tagline Pelabuhan Patimban.

Selain itu, KSOP Patimban tidak memiliki anggaran untuk mengelola pelabuhan sebesar itu. Kantor ini tentu memerlukan anggaran tambahan untuk mengemban misi tambahan yang dibebankan oleh Kemenhub. Besar kemungkinannya tidak ada anggaran di kementerian untuk pengoperasian sementara Pelabuhan Patimban.

Masalah SDM barangkali bisa diselesaikan dengan meminjam dahulu personil dari Indonesia Kendaraan Terminal (IKT/IPCC) atau perusahaan bongkar muat yang beroperasi di IKT. Bahkan, disampaikan sendiri oleh Menteri Perhubungan ketika melakukan inspeksi persiapan launching beberapa waktu lalu, akan terlibat juga professional asing dalam pengoperasian sementara Pelabuhan Patimban.

Namun, bisa muncul komplikasi baru dari sini. Misalnya, bagaimana model kerja sama antara KSOP Pelabuhan Patimban sebagai regulator dengan IPCC/PBM sebagai entitas bisnis? Apakah jasa mereka dipakai secara gratis atau dibayar oleh regulator?

Yang terberat tentu saja masalah dana operasional pengoperasian pelabuhan, termasuk membayar pihak kedua (lokal dan asing) yang dipakai jasanya. Dari mana ia akan dicari di tengah APBN yang tersengal akibat beban berat yang dipikulnya? Singkat cerita, Pelabuhan Patimban menyimpan seribu tanya di benak penulis.

Jangan sampai proyek senilai 43 triliun rupiah itu hanya menjadi proyek mercusuar di awal-awal saja, kemudian mangkrak. Perlu diingat, pada pertengahan 2018 Inspektorat Jenderal Kemenhub mengungkap adanya temuan 33 pelabuhan yang dikelola Kemenhub di berbagai daerah dalam kondisi mangkrak.

Semoga kondisi ini tidak terulang di Pelabuhan Patimban. Karena ada duit pinjaman dari Jepang, mangkraknya pelabuhan ini bisa menyebabkan kita semua berabe; negara dan masyarakat sama-sama amsyong karena tetap harus membayar pinjamannya, sementara pelabuhannya teronggok karena sepi pengguna.

*Penulis, Siswanto Rusdi adalah Direktur The National Maritime Institute (Namarin)