Mataram (ANTARA) - Bangunan tua eks Bank Dagang Belanda (Netherlands Indische Handelsbank) masih berdiri tegak. Bangunan yang menyimpan memori akan kejayaan Pelabuhan Ampenan di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat masa lalu.
Betapa riuhnya denyut suasana perdagangan dahulu. Suara pluit kapal bersandar bercampur teriakan dan peluh para kuli angkut dan mandor. Satu persatu barang dari hasil bumi sampai hewan ternak diangkut menuju kapal yang bersandar.
Burung laut turut menemani keriuhan itu. Dari jauh terlihat Gunung Agung, Bali berdiri tegak seolah-olah ingin menyapa gunung di seberangnya, yakni, Gunung Rinjani.
Memang tidak salah, Pelabuhan Ampenan menjadi urat nadi perdagangan Pulau Lombok di abad ke-19. Ditandai dengan banyaknya bangunan tua baik pemukiman maupun eks gudang di areal tersebut. Hingga tidak salahnya, Kolonialisme Belanda pun tertarik akan menguasai pelabuhan tersebut.
Pasca kekalahannya Kerajaan Mataram-Lombok oleh Belanda pada 1894, membuat bernafsu ingin menguasai jalur perdagangan termasuk ingin menyedot kekayaan alam yang dimiliki Pulau Lombok yang dahulunya merupakan bagian dari Pulau Sunda Kecil bersama Bali. Hingga dibangunlah Pelabuhan Ampenan pada 1896.
Belanda sebenarnya sudah sejak lama ingin menguasai tanah Lombok itu, mengingat dari sejumlah catatan salah seorang Belanda yang pernah mendatangi pulau itu pada 1880-an.
"Sejak tahun 1880-an, Belanda mulai melihat kekayaan Pulau Lombok baik hasil-hasil pertanian maupun kandungan bahan tambang (timah)," kata H Sudirman dalam bukunya Studi Sejarah dan Budaya Lombok.
Pada 1883 salah seorang Belanda yang berkunjung ke Lombok, menjelaskan Lombok sangat kaya akan kandungan mineral. Termasuk juga hasil pertanian seperti beras, kopi, dan kandungan mineral seperti timah, biji besi.
Serta dugaan adanya kandungan emas serta ledokan raksasa sumber minyak bumi di bagian utara Lombok, mendorong Belanda melakukan politik kontrol secara langsung terhadap Pulau Lombok.
Dr Alfons van der Kraan menyebutkan mengenai bea-bea ekspor untuk beras, kopra, hewan, kuda, babi, kulit, tembakau, kapas, kayu, kopi, kelapa, minyak kelapa, kacang, kemiri, mengkudu, bawang dan lilin.
Apabila dikirim ke tujuan-tujuan di luar Hindia Belanda harus tunduk pada persentase "ad valorem". Ad volerem adalah pembebanan pajak impor yang berarti menurut nilai uang.
Dari yang digambarkan oleh Alfons itu, kita bisa membayangkan bagaimana sejumlah barang yang berasal dari Lombok untuk dibawa oleh kapal laut yang hilir mudik ke Pelabuhan Ampenan.
Bukan hanya mengekspor, kapal laut juga membawa barang impor dari luar Hindia Belanda terutama dari Singapura.
Michael Mc Millan menyebutkan ibu kota Mataram saat dirinya yang menceritakan perjalanannya ke Pulau Jawa dalam buku "A Journey to Java" pada awal abad 19, serta dikatakan pula soal pusat perdagangan Ampanam (Ampenan).
"Sejak tahun 1894, pulau ini (Lombok) berada di bawah pemerintahan Belanda," katanya.
Serupa dengan pandangan yang lainnya, menyebutkan bahwa produk dari Pulau Lombok adalah beras, gula, kopi dan lain sebagainya.
Ia juga menyebutkan hewan ternak yang dikembangbiakkan dan diekspor, seperti kuda dan kerbau.
"Dari Pelabuhan Ampenan berbagai barang ke luar masuk Pulau Lombok. Barang-barang hasil bumi dengan kualitas tinggi adalah ekspor andalan," kata Muhammad Shafwan dalam buku Ampenan Kota Tua.
Ramai disinggahi
Kepala Museum Negeri NTB, Bunyamin SS MM menyebutkan Ampenan merupakan pelabuhan yang ramai karena disinggahi para pedagang nusantara maupun nusantara.
"Karena Pelabuhan Ampenan berada di tengah-tengah jalur perdagangan panjang di Asia, di antara Australia-Singapura-Bengalen (India) dan jalur Australia-Manila-Cina," katanya dalam karya tulisnya "Sekilas: Sejarah Maritim Nusa Tenggara Barat".
Ia menambahkan pada 1840, Kerajaan Mataram-Lombok menjadikan Pelabuhan Ampenan sebagai pusat perdagangan di Lombok yang berorientasi ekspor dan impor.
Melalui Ampenan, beras sebagai komoditi dagang terbesar diekspor ke Manila, Cina Bourbon, Mauritius, dan daerah-daerah di Nusantara seperti Jawa, Madura, dan Makassar.
Komoditi impor berupa amunisi, senjata, candu, dan minuman keras yang didatangkan dari Singapura dan Bengalen (India), Emas dan Perak diimpor dari Mauritius dan Bourbon, sedangakn ikan, kayu cendana, teripang, dan penyu didatangkan dari Sumbawa, Bima, Timor, Makasar, dan Maluku, katanya.
Kegiatan ekspor-impor tadi mengalami penurunan ketika terjadi pemberontakan Praya (1855–1894) dan ekspedisi militer Belanda (1894).
Setelah Lombok dikuasai Belanda (1894) dan dikeluarkannya kebijakan oleh pemerintah kolonial di Batavia bahwa pelabuhan-pelabuhan di nusantara yang telah dikuasai pemerintah kolonial harus dimanfaatkan untuk kepentingan Belanda, aktivitas di Pelabuhan Ampenan menjadi ramai kembali.
Belanda membangun fasilitas dan sarana pendukung aktivitas pelabuhan Ampenan, seperti perbaikan dermaga, jaringan transportasi dari Ampenan ke seluruh penjuru Pulau Lombok (jalan, jembatan dll.), rumah gadai, Nederlandsche Indische Handelsbank, dan kantor Koninklijk Paketvaart Maatschappij (KPM).
Ramai dan strategisnya Ampenan sebagai pelabuhan dagang, menjadi daya tarik bagi para pedagang nusantara maupun mancanegara untuk mendirikan perusahaan dan tinggal menetap di Ampenan.
Goerge Peacock King, seorang pedagang asing dari Inggris dan Mads Lange dari Denmark menetap dan mendirikan kantor dagang di Ampenan. Selain itu, banyak juga pedagang dari Cina dan Arab, serta pedagang dari nusantara yang menetap di Ampenan.
Di samping itu, kata Bunyamin, kegiatan perdagangan dan perhubungan, perairan Lombok pun dimanfaatkan baik oleh masyarakat Lombok maupun nelayan dari seluruh nusantara sebagai sumber kehidupan mencari ikan.
"Di pesisir-pesisir pantai Lombok, banyak masyarakat nelayan dari suku-suku lain yang menetap, antara lain suku Bajo," katanya.
Denyut perdagangan dan naik turun barang dari kapal di Pelabuhan Ampenan telah berlangsung sejak puluhan abad lalu. Tidak heran bila dari dulu hingga kini pelabuhan Ampenan telah memberikan banyak kehidupan dan geliat ekonomi bagi masyarakat di salah satu pulau di ujung nusantara.
#GernasBBI
#BBI