NUSATENGGARA CENTER GELAR DIALOG PUBLIK DAMPAK PERTAMBANGAN ILEGAL

id

Mataram, 25/6 (ANTARA) - Yayasan Nusatenggara Center menggelar dialog publik tentang pemetaan dampak pertambangan ilegal dan konsep pengelolaan pertambangan rakyat di wilayah Nusa Tenggara Barat, di Mataram, Sabtu.

Yayasan NC merupakan lembaga yang bergerak di bidang pendidikan, penelitian dan pemberdayaan juga kerap beraktifitas sebagai bentuk kepedulian serta ikut terlibat dalam kegiatan sosial keagamaan.

Dialog publik yang diikuti 80 orang peserta dari berbagai kalangan, termasuk unsur birokrat dan pengamat pertambangan dari wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB) itu, merupakan wahana "sharing" informasi dan menyamakan pendapat terkait penanganan masalah Pertambangan Tanpa Ijin (Peti) guna menciptakan konsep penanganan yang pro-lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.

Diharapkan, upaya penanganan Peti dilakukan melalui tahapan-tahapan pemenuhan terhadap ketentuan regulasi sehingga dampak sosial, ekonomi dan lingkungan dapat dikendalikan untuk kemakmuran rakyat.

Kepala Bidang Pertambangan Umum Dinas Pertambangan Provinsi NTB Ir. M. Husni, yang mewakili Gubernur NTB, mengharapkan seluruh peserta dialog agar dapat memanfaatkan momentum tersebut dengan baik demi terciptanya pengelolaan pertambangan yang terarah.

"Perkembangan lingkungan strategis yang dinamis juga telah mempengaruhi pertambangan, sehingga pemerintah melakukan re-orientasi kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan pengembangan sumber daya mineral, batubara dan panas bumi," ujarnya.

Menurut Husni, munculnya berbagai isu penting, seperti tuntutan daerah dan masyarakat terkait dengan manfaat dan keadilan dalam pembagian hasil pertambangan, Peti, disharmoni peraturan perundang-undangan antarsektor, kepastian hukum dan penegakkan hukum, memaksa pemerintah pusat dan daerah untuki menelaah kebijakan pengelolaan pengembangan sumber daya mineral, batu bara dan panas bumi.

Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah memberikan harapan besar kepada masyarakat setempat untuk mengelola potensi sumber daya mineral yang ada di wilayahnya melalui alokasi Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR).

Di era otonomi daerah, pemerintah daerah dan masyarakat memiliki hak untuk menentukan sistem pengelolaan pengembangan sumber daya mineral, batubara dan panas bumi untuk mendapatkan sebesar-besarnya untuk mendapatkan manfaat yang besar dari pengusahaan sumber daya tersebut.

Kondisi tersebut dipahami karena masyarakat yang berada di sekitar lokasi tambang berpeluang paling besar terkena dampak dari aktifitas pengusahaan.

"Namun demikian, dalam pelaksanaannya, seluruh elemen harus mempertimbangkan prinsip-prinsip kebersamaan dalam kerangka NKRI," ujarnya.

Pada kesempatan itu, Kepala Seksi Pertambangan Dinas Pertambangan Kabupaten Lombok Barat Lalu Adi Wijaya, ST memaparkan langkah-langkah persiapan WPR yang telah dilakukan oleh Pemkab Lombok Barat.

Langkah-langkah tersebut yakni konsultasi ke pemerintah pusat terkait bina program dan bina usaha, bersurat ke Direktur Jendral Mineral dan Batu Bara perihal rekomendasi penetapan wilayah pertambangan rakyat nomor 545/59/bup/2011 pada 8 april 2011 yang hingga saat ini sedang menunggu jawabannya.

Pemkab Lombok Barat juga bersurat ke DPR perihal konsultasi mengenai penetapan WPR Nomor 544/59/bup/2011 tanggal 8 April 2011, yang juga masih menunggu jawaban dari DPR.

"Upaya lainnya yakni membuat proposal dan Peraturan Bupati penetapan WPR, pembentukan kelompok dan koperasi (14 koperasi, 32 kelompok), surat pernyataan tidak keberatan Indotan terkait dengan kegiatan WPR di wilayah Indotan, dan melakukan kajian lingkungan serta peta potensi WPR," ujarnya.

Adapun permasalahan atau kendala yang dihadapi Pemkab Lombok Barat dalam pembentukan WPR, yaitu belum ditetapkan wilayah pertambangan (WP) oleh pemerintah pusat, dokumen lingkungan, studi kelayakan, relokasi penambang, dampak sosial dan keselamatan kerja.

Selain itu, pertambangan ilegal dapat menyebabkan kurangnya keselamatan kerja, dan pemerintah tidak mengetahui jika ada kecelakaan tambang.

Adi juga memaparkan permasalahan pertambangan rakyat di Kabupaten Lombok Barat seperti adanya perebutan antara penduduk lokal, pendatang dan pegembang.

"Permasalahan tersebut harus ditangani secara terpadu dan terintegrasi dengan pertimbangan kondisi sosial, politik, budaya dan ekonomi," ujarnya. (Devi/*)