MASYARAKAT ADAT PERTANYAKAN KEPEMILIKAN LAHAN TWA BANGKO-BANGKO

id

Mataram, 24/10 (ANTARA) - Belasan orang yang mengaku sebagai bagian dari masyarakat adat Lombok, mendatangi Kantor Gubernur Nusa Tenggara Barat, Senin, guna mempertanyakan kepemilikan lahan tertentu di kawasan Taman Wisata Alam Bangko-Bangko, yang terletak di Desa Pelangan, Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat.

Kelompok masyarakat yang mengenakan pakaian adat Sasak (suku di Pulau Lombok) itu mendatangi Kantor Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), yang didampingi Ketua Lembaga Pengkajian dan Penelitian Masyarakat (LPPM) Korban Penindasan Lalu Ranggalawe dan sekretarisnya Sri Sudarjo.

Mereka diterima Sekretaris Daerah (Sekda) NTB H Muhammad Nur, yang didampingi Kepala Dinas Kehutanan Provinsi NTB Hj Hartina, dan pejabat teknis terkait.

Dalam pertemuan dialog di ruang kerja Sekda NTB itu, Ranggalawe dan Sudarjo mengklaim lahan seluas 447 hektare yang berada di dalam kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Bangko-Bangko seluas 2.610,17 hektare, merupakan tanah adat yang dikuasai oleh masyarakat adat setempat.

Karena itu, mereka menilai pengelola TWA Bangko-Bangko telah merampas tanah rakyat, kemudian menyerahkan kepada investor untuk mengelolanya.

"Permasalahan itu harus disikapi oleh Gubernur NTB, dan kami meminta Pak Gubernur menyetujui pelepasan tanah komunitas adat seluas 447 hektare itu," ujar Ranggalawe diamini Sudarjo dan perwakilan masyarakat adat itu.

Mereka juga mengungkapkan adanya intimidasi terhadap masyarakat Bangko-Bangko dan adanya praktik adu domba antarmasyarakat.

Menyikapi keluhan itu, Muhammad Nur meminta Kepala Dinas Kehutanan NTB Hj Hartina untuk menjelaskan status kepemilikan lahan yang dipermasalahan itu.

Menurut Hartina, lahan yang dipersoalkan masyarakat adat itu merupakan bagian dari kawasan hutan konservasi di Desa Pelangan, yang sudah dikelola oleh institusi kehutanan di tingkat pusat sejak 1937.

"Pengelolaan kawasan hutan konservasi itu didukung berbagai regulasi, termasuk penentuan batas wilayah hingga pengembangannya menjadi hutan produksi oleh Departemen Pertanian pada tahun 1981," ujarnya.

Selanjutnya, pada 1992 di kawasan hutan konservasi itu ditetapkan Taman Wisata Alam (TWA) Bangko-Bangko berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 664/Kpts/II/1992 tanggal 1 Juli 1992.

Topografi pada kawasan Taman Wisata Alam Bangko-bangko bervariasi dari datar, bergelombang dan berbukit dengan elevasi (0-400 m) dari permukaan laut (dpl).

Secara umum tipe vegetasi yang berada di TWA Bangko-Bangko terdiri dari dua tipe yaitu sebagian kecil merupakan vegetasi pantai dan vegetasi hutan hujan dataran rendah.

Vegetasi pantai meliputi antara lain dari famili Bruguiera, Pandanaceae, Soneratiaceae dan Rubiaceae, sedangkan vegetasi hutan hujan dataran rendah meliputi jenis-jenis antara lain Bajur (Pterospermum javanicum), Kesambi (Schleicera oleosa), Waru (Hibiscus tiliaceus).

Sementara Jenis satwa yang terdapat di TWA Bangko-bangko meliputi jenis burung antara lain Ayam Hutan (Gallus varius), Elang Bondol (Heliantus Indus) dan Koakiau (Philemon buceroides). Jenis Mamalia antara lain Kera Abu-abu (Macaca fascicularis), Trenggiling dan Babi Hutan.

"Nah, jelaslah bahwa 447 hektare lahan yang diklaim masyarakat sebagai tanah mereka itu, merupakan bagian dari kawasan TWA Bangko-Bangko seluas 2.610,17 hektare itu. Sudah ada penentuan batasnya hingga pengelolaannya diserahkan kepada BKSD Departemen Kehutanan," ujar Hartina.

Pejabat dari Kantor BKSDA NTB yang juga hadir dalam pertemuan dialog itu, memperkuat pernyataan Hartina, yang menegaskan bahwa batas wilayah TWA Bangko-Bangko sudah jelas sehingga tidak ada hak milik masyarakat di areal kawasan hutan konservasi itu.

Meskipun telah dijelaskan secara detail, namun pegiat LSM LPPM dan masyarakat adat itu tetap bersikeras agar pemerintah melakukan pengukuran ulang batas wilayah kawasan hutan itu, demi memperjuangkan lahan yang mereka inginkan dalam kawasan hutan konservasi itu.

Diskusi menjadi alot dan diwarnai pertengkaran, hingga pada akhirnya Sekda NTB menutup pertemuan dialog itu, dan mempersilahkan kelompok masyarakat yang mengklaim sebagai masyarakat adat itu untuk menempuh jalur hukum jika merasa keberatan. (*)