Distorsi harga dan ekonomi global yang kian rumit

id Inflasi,Krisis rantai pasokan,Resesi

Distorsi harga dan ekonomi global yang kian rumit

Seorang kasir menatap kotak penyimpan uang di Bouenos Aires, Argentina pada 23 Mei 2022. Mata uang peso Argentina terus terdevaluasi karena inflasi. (REUTERS)

Jakarta (ANTARA) - Nomi Prins, pengarang dan jurnalis investigatif yang pernah bekerja untuk dua bank investasi terkenal Lehman Brothers dan Chase Manhattan Bank, menyebut distorsi harga di dunia semakin besar dari masa ke masa.

Menurut dia, harga yang terbentuk di pasar keuangan dunia yang disebutnya financial world economy semakin menjauh dari perekonomian sehari-hari yang disebutnya real world economy.

Dua aspek ini seharusnya berjalan beriringan dan memang begitu dari 1948 sampai 1971. Namun sejak 1971 keduanya menjauh satu sama lain, terutama dalam dua dekade terakhir yang bahkan sejak 2020 harga di pasar keuangan sungguh tak mencerminkan ekonomi riil.

Situasi yang membuat segelintir orang semakin kaya itu diyakini Prins bakal memuncak menjadi krisis ekonomi dalam bentuk yang belum pernah terlihat sebelum ini. Memang tak perlu mengkhawatirkan asumsi Prins yang agak berbau konspiratif itu, namun situasi dunia saat ini memang terlihat kacau.

Pergerakan harga sudah demikian tak jelas, bahkan otoritas publik kadang tak mampu mengatasinya. Indonesia sempat mengalami fase ini beberapa waktu lalu ketika minyak goreng langka di pasaran.

Situasi seperti itu sering terjadi di mana-mana di dunia ini. Sebagian karena memang akibat mekanisme pasar biasa, tapi sering juga karena petualangan segelintir orang yang terlalu menguasai akses ekonomi dan sekaligus memiliki saluran bebas hambatan ke sistem kekuasaan.

Tak peduli itu negara liberal atau komunis atau bukan keduanya, memang selalu ada hubungan saling menguntungkan dan saling mempengaruhi antara penguasa politik dan penguasa modal (pengusaha).

Baca juga: Saham Inggris berakhir menguat
Baca juga: Saham Prancis kembali merosot


Di Amerika Serikat misalnya, meminjam analisis Nomi Prins, selama satu abad ini 19 presiden Amerika, mulai dari Theodore Roosevelt pada awal 1900-an sampai Barack Obama, memiliki hubungan lebih dari sekadar biasa dengan para penguasa modal di Wall Street.

Pola hubungan seperti ini acap membuat harga terdistorsi. Contohnya terjadi ketika AS diamuk Perang Vietnam dan saat bersamaan di ambang krisis keuangan pada awal 1970-an.

Presiden AS saat itu, Richard Nixon, mengambil langkah yang terkesan mendistorsi pasar dengan mendorong pemerintah membeli obligasi dalam upaya menguatkan dolar sehingga portofolio modal global masuk ke AS.

Pola ini terus terjadi sampai kini, seperti saat krisis finansial 2008 ketika bank sentral AS menyelamatkan sejumlah korporasi besar yang sebenarnya tidak hati-hati mengelola keuangannya.

600 miliar dolar AS dana talangan dipompakan bank sentral ke dalam korporasi-korporasi keuangan yang disebut "too big too fail" itu tapi sebenarnya selamat akibat koneksi kuat dengan sistem kekuasaan.

Bailout itu memompakan pasokan uang sampai senilai 1,8 triliun dolar AS yang ironisnya sebagian besar berputar di Wall Street di mana Bursa Efek New York atau NYSE dan Nasdaq berada. Di NYSE itu ada 2.400 perusahaan yang listing, termasuk 514 perusahaan asing yang kebanyakan perusahaan raksasa di negaranya dan memiliki kemampuan menulari sentimen di bursa nasionalnya.