POLDA NTB BERHARAP BUDAYA "NYONGKOL" DIDUKUNG REGULASI

id

Mataram, 30/12 (ANTARA) - Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat berharap budaya "nyongkol" di kalangan suku Sasak di Pulau Lombok, didukung regulasi yang diterbitkan pemerintah daerah, agar kelestarian budaya tetap terjaga dan stabilitas kamtibmas juga terpelihara.
"Kami mengharapkan kerja sama dengan pemerintah daerah, misalnya dibuatkan peraturan daerah yang mengatur tentang budaya 'nyongkol' agar tidak mengganggu ketertiban di jalan protokol," kata Wakil Kepala Kepolisian Daerah (Wakapolda) Nusa Tenggara Barat (NTB) Kombes Pol Martono, saat menyampaikan laporan akhir tahun.
Budaya "nyongkol" merupakan tradisi suku Sasak di Pulau Lombok, yang hingga kini masih merupakan bagian penting dari pernikahan adat Sasak, baik di Kota Mataram maupun di pelosok desa di Lombok.
Bahkan, dalam sekali perjalanan di Lombok terutama waktu-waktu tertentu, misalnya hari Sabtu dan Minggu, bisa ditemui banyak rombongan "nyongkol" di desa-desa yang dilalui, yang jumlahnya dapat mencapai ratusan orang.
Rombongan "nyongkol" terdapat kelompok musik tradisional yang memeriahkan perjalanan "ngongkol" yang berjalan kaki ratusan hingga ribuan meter.
Tradisi "nyongkol" merupakan bagian dari prosesi pernikahan adat Sasak, yakni proses mengantar mempelai perempuan dari kediaman mempelai laki-laki ke rumah orangtua mempelai perempuan, yang biasanya digelar seminggu setelah akad nikah.
Akad nikah digelar di kediaman mempelai laki-laki, dan saat itu mempelai perempuan berada di kediaman mempelai laki-laki, yang kemudian diantar kembali ke kediaman orangtuanya, sekaligus sebagai momentum publikasi bahwa keduanya telah menikah secara syah menurut agama dan pranata sosial.
Martono mengatakan, peraturan daerah (perda) tentang "ngongkol" diperlukan sebagai mediator bagi pihak-pihak terkait untuk melestarikan kebudayaan sekaligus menjaga ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat.
"Kita perlu bersinergi antara aparat keamanan, tokoh masyarakat, dan pemerintah daerah, serta pihak terkait lainnya. Jangan sampai polisi melakukan penertiban kemudian dianggap tidak menghargai budaya," ujarnya.
Menurut Martono, dalam perjalanan budaya "nyongkol" terutama di kawasan perkotaan yang melintasi jalan protokol, seringkali sebagian rombongan "nyongkol" mengkonsumsi minuman keras, sehingga mencuat pertikaian atau perkelahian antara rombongan "nyongkol" dengan pengguna jalan lainnya.
Diwaktu lalu, rombongan "nyongkol" hanya menggunakan sebagian badan jalan sehingga masih bisa dilalui pengguna jalan lainnya.
"Kini, rombongan 'nyongkol' menggunakan sebagian besar badan jalan sehingga kemacetan terjadi, makanya perlu diatur dengan regulasi daerah agar tidak memicu keributan dalam melestarikan kebudayaan," ujarnya.
Bukan rahasia lagi, kalau aktivitas "nyongkol" juga berlangsung di jalan khusus akses Bandara Internasional Lombok (BIL) yang berlokasi di Tanak Awu, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, sehingga mengganggu kenyamanan penumpang pesawat. (*)


Editor:
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.