Jakarta (ANTARA) - Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Edy Priyono menilai terkendalinya inflasi melalui stabilitas harga barang dan jasa telah menjaga konsumsi masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 5,44 persen (year on year/yoy).
Menurut Edy, dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu, inflasi dapat dikendalikan karena pemerintah meningkatkan anggaran subsidi dan kompensasi energi untuk menahan harga bahan bakar minyak (BBM), gas, dan listrik bersubsidi.
Karena itu, konsumsi masyarakat masih tumbuh cukup baik yakni sebesar 5,51 persen di kuartal II 2022. Kondisi ini, juga didukung oleh tingginya pertumbuhan ekspor akibat kenaikan harga komoditas serta momentum konsumsi tinggi saat Puasa dan Lebaran di kuartal II 2022. "Elemen-elemen itu yang menjadikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh sangat baik," kata Edy.
Edy menegaskan, dengan capaian pertumbuhan ekonomi sebesar 5,44 persen pada kuartal II 2022, ancaman resesi sangat mungkin dihindari Indonesia. Meski demikian, ia mewanti-wanti kemungkinan terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Menurutnya, penyebab yang menjadikan pertumbuhan ekonomi Indonesia berpotensi melambat berasal dari aspek fiskal dan moneter Dari sisi moneter, jelas dia, meskipun sampai saat ini Bank Indonesia belum menaikkan suku bunga acuan namun Bank Sentral telah meningkatkan giro wajib minimun (GWM).
Baca juga: Wall Street, data pekerjaan picu ketakutan kenaikan suku bunga
Baca juga: BI: Tekanan inflasi komoditas pangan strategis di NTB mereda
"Implikasinya kredit dari perbankan tidak sebesar sebelumnya," kata Edy. Sementara itu, dari sisi fiskal, kebijakan pemerintah menaikkan anggaran subsidi berpotensi menurunkan kesempatan Indonesia menggunakan windfall profit (keuntungan tak terduga) akibat kenaikan harga komoditas untuk belanja produktif.
"Apalagi mulai 2023, kita harus kembali ke defisit anggaran maksimal tiga persen. Artinya, anggaran untuk belanja semakin ketat," katanya. Edy juga mengungkapkan pemerintah terus mewaspadai potensi kenaikan inflasi terutama jika harga minyak dunia tidak bisa kembali turun dan masih di atas 100 dolar AS per barel. Sebab, dari sisi fiskal, pemberian subsidi energi semakin terbatas sehingga tidak tertutup kemungkinan, akan dilakukan penyesuaian harga.
Tantangan lainnya, sebut Edy, yakni peningkatan suku bunga yang sudah dilakukan oleh beberapa negara lain. Ia menilai, jika Indonesia tidak melakukan hal yang sama, maka risikonya akan terjadi arus modal keluar yang bisa melemahkan nilai tukar rupiah.
"Sebaliknya, jika BI juga terpaksa menaikkan suku bunga acuan, maka penyaluran kredit akan terganggu dan pada gilirannya pertumbuhan sektor riil juga akan melambat. Sekali lagi, pemerintah, BI, dan lembaga terkait lainnya tentu akan bekerja secara bersama-sama agar berbagai tantangan itu bisa kita hadapi dan lalui dengan baik," ujarnya.