MPR DORONG DPR-PRESIDEN LAKSANAKAN PEMBAHARUAN AGRARIA

id

     Lombok Barat, NTB, 10/3 (ANTARA) - Majelis Permusyawaratan Rakyat mendorong Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden sebagai pelaksana aturan, agar melaksanakan pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam.

     "MPR dengan sekuat tenaga akan menyampaikan dan mendorong bahkan melalui desakan yang kuat, agar ketetapan MPR mengenai pembaharuan agraria dapat dilaksanakan oleh pemerintah dan DPR," kata Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Thohari, usai diskusi implementasi TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang digelar di Senggigi, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), Sabtu.

     Diskusi itu merupakan bagian dari "press gathering" atau pertemuan pers yang digelar di wilayah NTB, 9-11 Maret 2012.  Peserta diskusi merupakan pimpinan dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) beserta wartawan parlemen atau wartawan yang meliput di MPR, DPR dan DPD.

     Thohari mengatakan, MPR akan berupaya meyakinkan DPR dan Presiden bahwa konflik-konflik agraria yang terjadi salama ini merupakan konflik yang terbesar di negara ini, dan berpotensi sangat besar untuk menimbulkan instabilitas nasional.

     MPR sudah menghasilkan regulasi yakni TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang semestinya dilaksanakan oleh DPR dan Presiden sesuai bunyi dalam TAP MPR tersebut.

     Ketetapan MPR itu berada pada tata urutan nomor 2 dibawah Undang Undang Dasar (UUD) 1945 atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perpu).

     Namun, pada kenyataannya aturan pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam itu belum dilaksanakan sesuai harapan.

     Padahal, kata Thohari, ketetapan MPR tersebut nyata-nyata menjadi sumber hukum formal dan masuk dalam ketentuan tata urut perundang-undangan di Indonesia.

     "Ketetapan MPR itu menjadi terabaikan, sehingga seakan-akan hanya menjadi dokumen kearifan semat-mata yang tidak memiliki budaya dan kekuatan. Makanya MPR akan mendorong eksekutif dan legislatif untuk melaksanakannya," ujarnya.

     Menurut Thohri, pada Januari lalu MPR mengkonsultasikan pentingnya pelaksanaan TAP MPR itu, dan akan kembali melakukan konsultasi lanjutan disertai desakan, yang diagendakan April mendatang.

     MPR akan terus berupaya agar TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 itu dijadikan instrumen yang sangat ampuh untuk mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan rakyat, bahkan untuk mendorong pembangunan ekonomi.

     "Kami agendakan dalam pertemuan konsultasi yang akan datang, untuk disampaikan baik kepada lembaga legislatif, yuidktaif maupun eksekutif yakni presiden, karena adanya banyak masalah agraria," ujarnya.

     Thohari mengatakan, implementasi sistam ketatanegaraan saat ini berbeda dengan penerapannya di masa lalu, antara lain sosialisasi aturan yang segera dilaksanakan departemen terkait setelah diundangkan.

      Karena itu, ia menyebut kurangnya sosialisasi TAP MPR yang menjadi kewajiban eksekutif dan legislatif sebagai kekurangan dalam pemerintahan masa kini.

      "Ini salah satu kekurangannya, sosialisasi pembaharuan agraia itu tidak tersosialisasikan secara baik. Namun, tidak dilaksanakannya ketetapan MPR sebagai hukum dasar di negara kita ini tentu akan memiliki konsekuensi-konsekuensi sebagaimana diatur dalam aturan yang ada, misalnya inkonstitusional," ujarnya. (*)