Mataram, 8/6 (ANTARA) - Badan Anggaran (Banggar) DPRD Provinsi Nusa Tenggara Barat mempertanyakan nilai nilai Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) yang seharusnya diterima provinsi dan kabupaten/kota dari PT Pertamina setiap tahun.
"Nilai PBBKB itu patut dipertanyakan karena selama ini belum jelas hitungannya, atau dasar penghitungannya," kata Sekretaris Banggar DPRD NTB HJ Wartiah, di Mataram, Jumat, ketika mengomentari upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Banggar DPRD NTB tengah mendalami laporan Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD NTB 2011, yang disampaikan Wakil Gubernur NTB H Badrul Munir, dalam sidang paripurna DPRD NTB masa persidangan I 2012, pada Kamis (7/6).
Laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD 2011 itu mencakup PAD Pemprov NTB yang terdiri dari pajak daerah, dan retribusi daerah, serta hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Pajak daerah berupa Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), PBBKB.
Wartiah mengatakan, komisi terkait di DPRD NTB dan SKPD (satuan kerja perangkat daerah) Pemprov NTB perlu menelusuri nilai PBBKB yang layak diberikan Pertamina kepada NTB.
Nilai PBBKB yang selama ini disalurkan Pertamina kepada NTB, disanksikan kesesuaiannya karena tidak disertai lampiran data pengguna bahan bakar minyak (BBM) sebagai dasar penghitungan nilai pajak tersebut.
"Makanya perlu ditelusuri nilai PBBKB yang seharusnya diterima NTB dari Pertamina," ujar politisi yang menjabat Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) NTB itu.
Menurut dia, temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan NTB, dalam pengelolaan PBBKB di tahun anggaran 2010, juga dapat dijadikan dasar untuk menelusuri kesesuaian nilai pajak itu.
BPK menemukan pengelolaan PBBKB pada Dispenda Provinsi NTB belum memadai karena Pemprov NTB tidak dapat mengetahui secara pasti jumlah penerimaan pendapatan PBBKB yang seharusnya, dan data pendapatan PBBKB Pemprov NTB tidak dapat ditelusuri kebenarannya.
Selama ini nilai PBBKB yang diterima NTB melalui Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) ditentukan oleh pihak Pertamina, sehingga Dispenda hanya menyalurkan dana yang ada sesuai peruntukkan baik untuk provinsi maupun kabupaten/kota.
Dispenda NTB pun tidak mengetahui nilai PBBKB yang diterima setiap tahun anggaran dari Pertamina, yang kemudian dinilai oleh BPK sebagai sesuatu yang tidak sesuai aturan dan data pendapatan PBBKB itu dianggap tidak dapat ditelusuri kebenarannya.
"Sebenarnya, itu masalah lama yang kembali dipersoalkan BPK, yang ternyata akar masalahnya ada di Pertamina, karena tidak memberitahukan penghitungan nilai PBBKB yang dijatahkan untuk NTB," ujarnya.
Karena itu, Komisi II DPRD NTB dan Dispenda NTB dapat segera menemui pejabat Pertamina Unit Pemasaran Wilayah V Surabaya dan Kantor Pusat Pertamina di Jakarta, guna menelusuri kejelasan nilai PBBKB itu.
Sebelum ke Surabaya dan Jakarta, sebaiknya menemui Kepala Terminal BBM Ampenan (Lombok), Badas (Sumbawa) dan Bima, terkait upaya transparansi pengelolaan nilai PBBKB.
"Karena itu kewenangan Pertamina dalam penentuan nilai PBBKB itu, maka Pertamina-lah yang harus mengklarifikasinya. Setiap tahun pertamina mengucurkan Rp130-an miliar untuk NTB tetapi berbagai pihak di NTB tidak mengetahui asal-usul nilai pajak itu," ujarnya. (*)