Mataram (ANTARA) - Pada Agustus 2022, masyarakat dikejutkan dengan isu kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Berdasarkan beberapa informasi awalnya diberitakan BBM akan resmi naik pada hari Kamis, 1 September 2022 yang tentu saja membuat heboh di semua kalangan masyarakat.
Hal ini kemudian menyebabkan antrean yang Panjang di berbagai SPBU, mulai dari kendaraan roda dua maupun roda empat yang turut memenuhi SPBU pada Rabu, 31 Agustus 2022. Hal tersebut guna mengantisipasi naiknya harga BBM pada 1 September 2022.
Namun seperti yang diketahui, Kenaikan harga BBM bersubsidi resmi diumumkan pada Sabtu, 3 September 2022 oleh Presiden Joko Widodo. Lewat pengumuman tersebut, harga pertalite naik dari harga Rp7.650,00 menjadi Rp10.000 per liter. Kemudian, solar juga ikut naik dari sebelumnya Rp5.150,00 menjadi Rp6.800,00 per liter. Hal serupa juga terjadi pada pertamax, dari sebelumnya Rp12.500,00 menjadi Rp14.500,00 per liter. Perubahan ini berlaku sejak Sabtu, 3 September pada pukul 14.30 WIB yang menimbulkan pro-kontra di masyarakat.
Perubahan terhadap harga BBM ini bukan tanpa alasan. Salah satu alasan pemerintah adalah karena sekitar 70 persen subsidi BBM dinikmati kelompok masyarakat mampu, disebut pengamat ekonomi sebagai upaya yang tidak tepat dan salah sasaran.
Selain itu, dikutip dari kompasiana.com, berdasarkan penuturan dari Menteri keuangan Indonesia, Ibu Sri Mulyani Indrawati, ada beberapa alasan yang menjadi sebab BBM naik salah satunya yaitu anggaran subsidi dan kompensasi energi 2022 telah meningkat tiga kali lipat dari Rp152,5 triliun menjadi Rp502,4 triliun. Terdiri dari subsidi untuk BBM dan LPG dari Rp77,5 triliun menjadi Rp149,4 triliun, listrik dari Rp56,5 triliun menjadi Rp59,6 triliun, Kompensasi BBM dari Rp18,5 triliun menjadi Rp252,5 triliun serta kompensasi listrik naik dari Rp0 menjadi Rp41 triliun sehingga total subsidi dan kompensasi untuk BBM, LPG, listrik itu naik mencapai Rp502,4 triliun.
Namun hal tersebut ditentang oleh Kamarussamad, Anggota Komisi XI DPR RI, pemerintah tidak perlu menaikkan harga BBM dengan alasan tersebut karena menurut Kamarussamad ada 3 alasan untuk tidak menaikkan harga BBM.
Pertama, harga minyak dunia sudah turun. Dikutip dari situs Oliprice.com harga minyak mentah dunia saat ini berada di angka 94,68 Dollar AS per barel. Kedua, penerimaan negara meningkat bahkan surplus pada semester 1-2022. Ketiga, daya beli masyarakat sudah mulai membaik.
Terlepas dari pernyataan Kamrussamad, hal yang serupa juga dilakukan oleh masyarakat terhadap pemerintah. Pemerintah menuai banyak protes terhadap Kenaikan BBM bersubsidi dari berbagai kalangan masyarakat. Aksi unjuk rasa pun digelar di sejumlah titik karena hal tersebut dirasa menyulitkan masyarakat dan banyak memberikan dampak negatif baik dari segi ekonominya maupun dampak psikologis di masyarakat.
Dari segi ekonomi, kenaikan harga BBM jelas akan mendorong kenaikan harga biaya produksi yang pada saat ini sudah terlihat pada bahan pangan yang harganya melambung tinggi, mendorong inflasi (cost push inflation) yang pada gilirannya tentu akan memberikan pengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, penurunan upah riil dan konsumsi rumah tangga. Padahal diketahui secara bersama konsumsi rumah tangga memiliki pengaruh yang tinggi terhadap Produk Domestik Bruto (Sekitar 50%) dan merupakan penarik utama bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Secara sektoral, sektor-sektor yang banyak menggunakan BBM pasti akan mengalami kontraksi yang paling tinggi terutama sektor angkutan darat,angkutan laut, angkutan kereta api, jasa kurir dan pengiriman. Hal ini tentu saja sektor-sektor tersebut untuk dapat bertahan akan menaikkan harga dan ini juga sudah terlihat dari kenaikan ongkos pada angkutan umum.
Kenaikan harga pada sektor transportasi lambat laun pada gilirannya akan memberikan pengaruh terhadap sektor perekonomian lainnya melalui dampak multiplier. Dan tentu saja kenaikan harga-harga barang yang terjadi secara bersamaan atau serentak akan mendorong kenaikan inflansi di Indonesia.
Dampak negatif akan lebih dahsyat lagi ketika efek psikologis dirasakan, yaitu jika dampak psikologis diperhitungkan dari sisi masyarakat dan pemerintah. Dampak psikologis dari sisi masyarakat terjadi apabila masyarakat secara bersama-sama mempunyai ekspektasi bahwa kenaikan harga BBM akan diikuti oleh kenaikan harga di sektor-sektor lainnya. Lalu pertanyaannya, apakah inflasi karena dampak psikologis dapat terjadi?
Kenaikan harga BBM juga dapat menimbulkan efek psikologis di masyarakat di mana produsen (termasuk pedagang) menaikkan harga melebihi dari kenaikan harga biaya produksi atau distribusi yang mereka keluarkan. Jadi ketika produsen menaikkan harga, mereka tidak menghitung berapa besar kontribusi BBM terhadap produk yang dikeluarkan untuk memproduksi barang atau jasa tersebut. Contoh, ketika harga BBM naik sebesar Rp500 per liter, maka sopir angkutan umum akan menaikkan ongkos sebesar Rp500 per penumpang, pedagang makanan akan menaikkan harga Rp500 per porsi, begitu juga dengan pedagang buah atau sayur akan menaikkan harga Rp 500 per kilogram per ikat.
Padahal kontribusi BBM per penumpang atau kontribusi BBM terhadap biaya makan per porsi atau sayuran per ikat tidaklah sebesar tersebut. Kondisi tersebut diperparah dengan adanya pihak yang memanfaatkan momentum kenaikan harga BBM dengan menaikkan semua harga komoditi. Padahal kenaikan biaya produksi yang dikeluarkan tidak sebesar kenaikan harga yang dilakukan.
Jika hal tersebut dilakukan oleh produsen dan pedagang secara serentak di seluruh Indonesia, maka inflasi yang akan terjadi lebih besar daripada dampak ekonomi yang seharusnya. Kenaikan harga secara serentak dan melebihi dari Cost push inflation tersebut dapat menyebabkan inflasi yang tingga yang pada gilirannya bisa memicu keresahan di semua lapisan masyarakat, mulai dari produsen, pedagang hingga konsumen.
Dari sisi pemerintah, adanya kenaikan harga BBM yang menimbulkan keresahan tersebut akan berdampak pada kredibilitas pemerintah di mata masyarakat. Apalagi menjelang tahun politik yang di mana isu kenaikan harga BBM akan dijadikan kubu oposisi untuk menurunkan popularitas pemerintah.
Sebagai penutup, dampak kenaikan harga BBM terhadap ekonomi dan psikologis harus diwaspadai oleh pemerintah. Di sinilah perlunya peran pemerintah untuk menenangkan masyarakat bahwa kenaikan harga BBM tidak perlu ditanggapi dengan kepanikan. Pemerintah harus bisa meyakinkan masyarakat bahwa dana subsidi BBM akan dikompensasikan untuk membantu masyarakat yang terkena dampak terutama dari golongan masyarakat menengah ke bawah.
Dana subsidi juga harus dialokasikan ke sektor-sektor lain yang memberikan manfaat langsung kepada masyarakat. Misalnya, untuk pembangunan irigasi, subsidi harga pertanian, pembangunan jalan, Pelabuhan, sarana Pendidikan, Kesehatan dan lain-lain. Subsidi bioenergi juga dapat menjadi salah satu alternatif penyaluran dana kompensasi BBM sehingga ketergantungan masyarakat terhadap bahan bakar fosil bisa dikurangi.
Terakhir, yang tidak kalah pentingnya adalah keseriusan pemerintah dalam memerangi praktik-praktik ekonomi biaya tinggi di Indonesia wajib dilakukan. Kita tahu adanya praktik pungli, korupsi, dan aksi para pemburu rente akan menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa melebihi harga produsennya. Penghematan pos-pos anggaran yang memang tidak terlalu mendesak juga perlu dilakukan.
Susmawati (*)
Unit Kegiatan Mahasiswa Penalaran dan Riset Mahasiswa (UKM Prima)
Universitas Mataram