NTB TINGKATKAN KINERJA PENDAMPING PROGRAM KELUARGA HARAPAN

id

     Mataram, 27/11 (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) meningkatkan kinerja pendamping dan operator Program Keluarga Harapan (PKH) agar upaya peningkatan derajat perempuan dan pencegalan anak putus sekolah terealisasi sesuai harapan.

     "Kinerja para pendampingi dan operator PKH harus terus ditingkatkan, sehingga hari ini mereka dikumpulkan untuk mendapat arahan terkait upaya peningkatan kinerja itu," kata Kepala Dinas Sosial Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi Provinsi NTB Bachrudin, pada pertemuan pimpinan Pemerintah Provinsi NTB dengan para pendamping dan operator PKH Se-NTB, di Mataram, Selasa.

     Bachrudin mengatakan, tugas pendamping dan operator PKH antara lain pengurangan angka putus sekolah, pengurangan risiko balita gizi buruk, dan pencekalan terhadap kemungkinan terjadinya kematian ibu melahirkan dan bayi dari kalangan rumah tangga sangat miskin.

     Karena itu, pendamping dan operator harus menemukan dan mengenali berbagai hal yang menyebabkan sasaran PKH tidak secara rutin memanfaatkan fasilitas jaminan kesehatan, dan perhatian terhadap anak-anak sekolah.

     "Temu kenali ibu yang tidak memeriksakan kesehatan dan anaknya ke pustu atau puskesmas terdekat, karena itu kewajiban sasaran PKH," ujarnya di hadapan lebih dari 300 orang pendamping dan operator PKH dari berbagai kabupaten/kota di NTB itu.

     Bachrudin mengungkapkan bahwa indikator kinerja pendamping dan operator PKH antara lain kemampuan penyelesaian masalah anak putus sekolah jenjang SD hingga SMTP, dan tamatan SD yang tidak melanjutkan ke SMTP.

     Pendamping/operator juga wajib mencatat dan melakukan rekapitulasi tingkat kehadiran anak-anak di sekolah, tingkat prestasi akademik anak-anak dalam program PKH, melalui sistem aplikasi komputer.

     "Jadi, tolok ukur keberhasilan para pendamping/operator PKH yakni tingkat pencekalan putus sekolah bagi pelajar SD dan SMTP, serta perkecil risiko kematian ibu melahirkan dan bayinya," ujarnya.

     Bachrudin mengakui, beban kerja pendamping/operator PKH di wilayah NTB lebih berat dari daerah lainnya, karena seorang pendamping/operator menangani 200 hingga 300 peserta PKH.

     Daerah lain di Indonesia, beban kerjanya lebih ringan karena jumlah pendamping/operator diperbanyak, selain yang dibiayai APBN di pos anggaran Kementerian Sosial, juga bersumber dari dana APBN provinsi.

     "Insya Allah, kami akan coba upayakan dana APBD agar dapat mengurangi beban kerja pendamping/operator yang jumlahnya masih sedikit itu," ujarnya.

     Sejauh ini, pendamping/operator PKH yang dibiayai APBN terikat kontrak dengan Kementerian Sosial, dan untuk wilayah NTB berjumlah 564 orang.

     Rinciannya, 55 orang di Kabupaten Bima, 33 orang di Dompu, 97 orang di Lombok Timur, 92 orang di Lombok Tengah, 75 orang di Lombok Barat, 41 orang di Lombok Utara, dan 45 orang di Kabupaten Sumbawa.

     "Mereka diberi honor berkisar antara Rp1,5 juta hingga Rp1,75 juta/bulan/orang, tergantung kondisi daerah yang menjadi wilayah penugasan. Nanti kami upayakan dari APBD NTB untuk tambahan pendamping/operator," ujarnya.

     Kementerian Sosial mulai meluncurkan PKH sejak 2007, dan masih berlanjut hingga kini, yang diawali dengan 5.000 kepala keluarga (KK) sasaran PKH yang mendiami kawasan rawan bencana seperti di Kabupaten Dompu dan Bima.

     Sasaran PKH mendapat bantuan langsung tunai (BLT) bersyarat yang diberikan kepada keluarga fakir miskin/rumah tangga sangat miskin.

     PKH merupakan bagian dari program percepatan penanggulangan kemiskinan melalui penyaluran bantuan tunai bersyarat atau "conditional cash transfer" (CCT).

     Program pengentasan kemiskinan itu berada dalam pengawasan Direktorat Jaminan Kesejahteraan Sosial Ditjen Bantuan dan Jaminan Sosial (Banjamsos) Kementerian  Sosial.

     Penerima bantuan tunai bersyarat itu merupakan rumah tangga sangat miskin (RTSM) yang anggota keluarganya  terdiri atas anak usia 0-15 tahun dan/atau ibu hamil/menyusui dan telah ditetapkan sebagai peserta PKH serta wajib mengikuti ketentuan yang diatur dalam program tersebut.

     Nilai bantuan tunai bersyarat itu bervariasi tergantung kondisi keluarga dan diarahkan untuk peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan. Bantuan harus diterima oleh ibu atau wanita dewasa yang mengurus anak pada rumah tangga bersangkutan seperti nenek, tante/bibi atau kakak perempuan.

     Kepesertaan PKH tidak menutup keikutsertaan RTSM penerima pada program lain seperti bantuan operasional sekolah (BOS), asuransi kesehatan keluarga miskin (Askeskin ) dan beras untuk keluarga miskin (raskin).

     Dalam skenario bantuan PKH, rata-rata bantuan setiap RTSM mencapai Rp1,39 juta/tahun, terdiri atas bantuan tetap sebesar Rp200 ribu/tahun, bantuan untuk RTSM yang memiliki anak usia di bawah enam tahun Rp800 ribu/tahun, ibu hamil/menyusui Rp800 ribu/tahun, anak usia SD/MI sebesar Rp400 ribu/tahun dan anak usia SMP/MTs Rp800 ribu/tahun.

     Dengan demikian, bantuan tunai bersyarat itu minimal Rp600 ribu/tahun (bantuan tetap dan memiliki anak usia SD/MI) bagi setiap RTSM dan maksimal Rp2,2 juta/tahun untuk  RTSM yang memiliki ibu hamil/menyusui, anak usia SD/MI dan usia SMP/MTs, selain bantuan tetap sebesar Rp200 ribu/tahun. (*)