Mataram, 9/1 (ANTARA) - Puluhan tahun silam sabut kelapa menjadi limbah yang cukup merepotkan petani, karena pada setiap musim panen kulit bagian luar buah kelapa itu menumpuk, tidak dimanfaatkan.
Kalau dibiarkan terlalu lama akan menjadi tempat bersarangnya ulat atau ular.
Kalaupun dimanfaatkan, "kambut" (sabut kelapa) itu sekedar untuk membuat api unggun di pagi hari dan memanggang singkong sambil menghangatkan badan ketika musim dingin tiba. Itupun hanya sedikit, sehingga biasanya petani membakar tumpukan sabut kelapa agar kebun kelapa tidak terlihat kotor.
Sebagai salah satu sentra perkebunan kelapa di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Kabupaten Lombok Utara menghasilkan sabut kelapa terbesar di Pulau Lombok. Produk sampingan buah kelapa itu menjadi limbah yang cukup merepotkan petani.
Namun sejak beberapa tahun ini sabut kelapa itu menjadi komoditas yang bernilai ekonomis tinggi. Para perajin bata merah atau genteng membeli sabut kelapa untuk bahan bakar tungku pembakaran mata merah atau genteng.
Produk sampingan dari kelapa itu juga dijadikan bahan baku pembuatan keset atau tali. Namun penyerapan sabut kelapa untuk bahan bakar tungku pembakaran bata merah dan genteng itu juga relatif sedikit.
Sejak lima tahun terakhir permintaan sabut kelapa itu meningkat drastis menyusul beroperasinya dua pabrik pengolahan sabut kelapa di Desa Sigar Penjalin, Kecamatan Pemenang dan Jambanim, Desa Medana, Kecamatan Tanjung, Kabupaten Lombok Utara.
Pabrik pengolahan sabut kelapa di Desa Sigar Penjalin dioperasikan PT Multi Megah milik seorang pengusaha dari Jakarta, sementara yang berlokasi di Dusun Jambianom, Desa Medana adalah PT Kaisun.
Produk yang dihasilkan dari komoditas perkebunan itu, antara lain berupa serat sabut kelapa atau "coco fiber" untuk bahan baku industri bernilai ekonomi tinggi, seperti spring bed, matras, sofa, bantal, jok mobil, karpet dan tali.
Sedangkan serbuk sabut kelapa atau "coco peat" lebih banyak digunakan sebagai media tanam pengganti tanah dan pupuk organik
H Abdurrahman Sewet, seorang pengusaha kelapa di Dusun Telok Dalem, Desa Medana mengatakan, sejak beberapa tahun terakhir sabut kelapa cukup laris terutama sejak beroperasinya dua pabrik pengolahan sabut kelapa.
Ia mengaku menjual satu truk sabut kelapa seharga Rp200.000 hingga Rp250.000. Kalau muatan truk lebih banyak harganya Rp250.000 per truk, sementara kalau muatan normal harganya Rp200.000.
"Perajin bata merah dan genteng biasanya memilih sabut kelapa kering dan mereka meminta agar muatan truk banyak. Saya menjual dengan harga Ro250.000, sementara untuk pabrik biasanya memilih sabut kelapa yang belum kering dan masih berwarna hijau," katanya.
Selain menjual sabut kelapa sendiri Abdurrahman juga membeli dari petani lain dengan harga Rp100.000 per truk, kemudian dijual lagi dengan harga Rp200.000 hingga Rp250.000 per truk.
Pengusaha kelapa sarjana lulusan Fakultas Peternakan, Universitas Mataram (Unram) ini mengaku bisa menjual puluhan truk per hari baik untuk pabrik pengolahan sabut kelapa maupun bahan bakar tunggu pembakaran genteng dan bata merah.
"Sekarang ini sabut kelapa tidak lagi menjadi limbah yang merepotkan petani, tetapi barang yang bernilai ekonomis tinggi. Bahkan sabut kelapa yang telah diolah menjadi serat dan serbuk itu dijual ke berbagai negara," kata pengusaha kelapa yang cukup sukses itu.
Kepala Bidang Perdagangan Luar Negeri, Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi NTB Hj Baiq Noviana Indiari mengatakan, pengiriman hasil olahan sabut kelapa tersebut akan dilakukan oleh PT Kaisun selaku eksportir yang sudah menjalin kemitraan dengan pengusaha China.
Ke China
"Informasi yang kami peroleh dari PT Kaisun, pengiriman perdana sabut kelapa ke China akan dilakukan mulai Januari 2013. Sekarang investor lokal itu sedang menyiapkan operasional mesin pengolah sabut kelapa," katanya.
Investor lokal yang melirik potensi sabut kelapa di Pulau Lombok tersebut, mendatangkan dua unit mesin pengolah sabut kelapa dari China. Perusahaan itu akan menyerap sabut kelapa dari Kabupaten Lombok Utara dan Kabupaten Lombok Timur.
Dua kabupaten itu merupakan sentra produksi kelapa terbesar di NTB. Namun belum bisa dipastikan berapa volume serabut kelapa yang akan dikirim oleh PT Kaisun dan berapa harga pembelian di tingkat petani.
"Kami belum bisa memastikan berapa besar permintaan China dan seberapa besar kesanggupan PT Kaisun memenuhi permintaan. Rencananya nanti kami akan koordinasi lagi sebelum mereka mengirimkan produk perdana," ujarnya.
Menurut dia, potensi sabut kelapa yang melimpah belum dimanfaatkan secara maksimal oleh para petani menjadi produk bernilai ekonomi. Hal itu disebabkan pengetahuan petani yang masih relatif kurang.
Dengan adanya peluang pasar sabut kelapa di berbagai negara itu, maka komoditas perkebunan itu bisa memberikan tambahan pendapatan bagi para petani kelapa yang selama ini hanya menjual dalam bentuk kelapa butiran.
"Hampir semua turunan kelapa memiliki nilai ekonomi, tidak hanya isinya. Daun kelapa, batok kelapa juga bernilai ekonomi tinggi. Tinggal bagaimana petani memanfaatkan peluang itu," ujarnya.
Secara nasional sebenarnya pemasukan yang bisa diraih hanya dari sabut kelapa itu sangat besar terutama jika produk olahan kelapa di kirim ke luar negeri.
Rp13 triliun
Asosiasi Industri Sabut Kelapa Indonesia (AISKI) memperkirakan, Indonesia kehilangan potensi pendapatan dari sabut kelapa mencapai Rp13 triliun per tahun.
Angka ini diperoleh dari perhitungan jumlah produksi buah kelapa Indonesia yang mencapai 15 miliar butir per tahun, dan baru dapat diolah sekitar 480 juta butir atau 3,2 persen per tahun.
Setiap butir sabut kelapa rata-rata menghasilkan serat sabut kelapa atau dalam perdagangan internasional disebut coco fiber sebanyak 0,15 kilogram dan serbuk sabut kelapa atau coco peat sebanyak 0,39 kilogram.
Harga penjualan "coco fiber" di pasar dalam negeri berkisar Rp2.000- Rp2.500 per kilogram, dan "coco peat" berkisar Rp1.000-Rp1.500 per kilogram.
Demikian diungkapkan Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan AISKI Ady Indra Pawennari, usai melakukan pertemuan dengan beberapa perusahaan pengirim "coco fiber" dan "coco peat" asal China, Singapura, dan Malaysia belum lama ini.
{jpg*5} "Ini fakta yang sangat memprihatinkan. Kita kehilangan potensi pendapatan sekitar Rp13 triliun per tahun dari sabut kelapa yang dibakar dan dibuang oleh masyarakat. Semua ini terjadi karena ketidakberdayaan dan kurangnya pengetahuan mereka, akan manfaat sabut kelapa. Karena itu, pemerintah harus bergerak dan AISKI siap diajak kerjasama," ujarnya.
Menurut Ady, sabut kelapa pada sebagian masyarakat pesisir Indonesia adalah sampah yang harus dimusnahkan, dibuang dan dibakar pada saat musim kemarau. Kendati demikian di tangan orang-orang kreatif, sabut kelapa yang tidak berguna itu dapat diolah menjadi bahan industri yang bernilai ekonomi tinggi.
Berdasarkan catatan AISKI, Indonesia walaupun merupakan negara penghasil buah kelapa terbesar di dunia, namun belum banyak berperan dalam pangsa pasar ekspor raw material sabut kelapa untuk kebutuhan dunia. Indonesia hanya mampu memasok sabut kelapa sekitar 10 persen dari kebutuhan dunia. Sementara Srilanka dan India memasok di atas 40 persen. (*)